WAHAI HABAIB, JANGAN MENGANDALKAN NASAB. SAMA SEPERTI YANG LAIN, AMALMULAH YANG AKAN MENENTUKAN KESELAMATANMU!

Imam Ali Zainal Abidin pernah disaksikan oleh salah seorang pengikutnya, bernama Thawus al-Yamani sedang mengerjakan shalat dan tawaf di Masjid al-Haram semalam suntuk, sejak waktu Isya sampai waktu fajar. Terdengar pula suara tangisnya di sela-sela doa-doa yang diucapkannya dengan beriba-iba. Sehingga, Thawus mendekatinya dan berkata kepadanya:

“Putra Rasulullah! Mengapa Anda begitu cemas dan takut? Sesungguhnya orang-orang seperti saya inilah yang harus melakukan seperti yang Anda lakukan. Bukankah kami ini orang-orang yang selalu berbuat dosa? Sedangkan ayahmu adalah Husain bin Ali, ibumu Fatimah al-Zahra dan datukmu Muhammad Saw?”

Mendengar itu, Ali Zainal Abidin menoleh ke arahnya dan berkata: “Tidak, tidak, wahai Thawus. Jangan sebut-sebut ayahku, ibuku, dan datukku. Sungguh Allah Swt. telah mencipta surga bagi siapa saja yang taat kepada-Nya dan berbuat kebajikan, meskipun ia seorang budak hitam dari negeri Habsyi. Dan ia mencipta neraka bagi siapa yang bermaksiat kepada-Nya, meskipun ia seorang pemuka Quraisy. Tidakkah kau dengar firman Allah:

“… Apabila sangkakala telah ditiup, tiada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tiada pula mereka saling bertanya…”(QS Al-Mu’minun [23]: 101).

Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “Barang siapa yang tertinggal di belakang karena buruk lakunya takkan dapat menyusul karena nasabnya.” Dalam riwayat lain: “Barang siapa terluput darinya kemuliaan dirinya, takkan berguna baginya kemuliaan leluhurnya.”

Demikian pula al-Habib Abdullah al-Haddad berkata: “Sungguh mengherankan betapa seseorang dapat terkelabui oleh nasab mulia semata-mata yang tidak diikutinya dengan nilai-nilai luhur?! Betapa ia mengandalkan itu sedangkan Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada putrinya tercinta: “Wahai Fatimah, perbanyaklah amal baikmu, sungguh aku takkan cukup sebagai pembelamu di hadapan Allah Swt.”

Baca Juga:  Konsep Hijab dan Wacananya dalam Pandangan Husain Thabathaba‘i: Hijab antara Syariat atau Budaya? (Bagian 1)

Suatu hari di waktu-waktu terakhir hidupnya, Imam Shadiq As. memanggil semua anggota keluarganya dan mewasiatkan: “Untuk saat ketika-kalian menghadap Allah kelak, tetaplah melakukan amal-amal (salehmu). Jangan bayangkan hubungan kekeluargaanmu denganku akan ada manfaatnya” (Dicuplik dari Wasiat Imam Khomeini kepada Sayid Ahmad Khomeini, putranya).

0 Shares:
You May Also Like