Mengulik Nasionalisme dalam Islam (1)

Islam sebagai agama rahmatan lil alamin sangat berperan dalam membentuk kesadaran suatu bangsa untuk mencintai negaranya serta memperoleh kemerdekaannya dari kaum penjajah. Orang yang mencintai bangsa dan negaranya disebut Nasionalis. Islam dan nasionalisme keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Ini pendapat sebagian golongan orang yang pro nasionalisme. Namun, tidak sedikit yang menilai bahwa Islam dan nasionalisme tidak dapat berdampingan sebagai ideologi dan keyakinan.

Kita tahu bahawa secara etimologis, nasionalisme, natie, dan nasional, kesemuanya berasal dari bahasa Latin yaitu natio yang berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran, dari kata nasci yang berarti dilahirkan, jika dapat dihubungkan secara obyektif maka yang paling lazim dikemukakan adalah bahasa, ras, agama, dan peradaban (civilization), wilayah, negara, dan kewarganegaraan.

Dilihat dari perkembangannya, nasionalisme mula-mula muncul menjadi kekuatan penggerak di Eropa Barat dan Amerika Latin pada abad ke-18. Ada yang berpendapat bahwa manifestasi nasionalaisme muncul pertama kali di Inggris pada abad ke-17, ketika terjadi revolusi Puritan. Sebenarnya, perasaan yang mirip dengan nasionalisme itu sudah dimiliki oleh rakyat di berbagai negara tidak terkecuali Indonesia, meskipun hanya sebatas pada individu saja. Perasaan itu muncul ketika ada bahaya yang mengancam atau membahayakan mereka, terutama keluarga, masyarakat, serta bangsa mereka.

Nasionalisme ini makin lama makin kuat peranannya dalam membentuk segi kehidupan, baik yang bersifat umum maupun bersifat pribadi. Sementara munculnya nasionalisme di negara-negara kawasan Asia Tenggara (menurut Bung Karno sebagai nasionalisme Timur) yang banyak dipengaruhi oleh gejala imperalisme yang dikembangkan bangsa Eropa di negara-negara Asia. Sehingga, pada dasarnya munculnya nasionalisme sebagai reaksi mendasar untuk memerangi penjajah sekaligus merebut dan mempertahankan kemerdekaan negaranya.

Dalam perkembangannya, nasionalisme yang muncul di berbagai negara tersebut tidak langsung mengilhami bentuk-bentuk ideologi serta dijadikan falsafah negara. Sehingga cinta tanah air tidak hanya mempunyai makna merebut dan mempertahankan kemerdekaan tapi lebih dari itu, mempunyai banyak implikasi dari istilah itu. Karena nasionalisme dibangun atas kesadaran sejarah, cinta tanah air, dan cita-cita politik, maka nasionalisme menjadi faktor penentu cita-cita setiap negara yaitu bebas dari penjajahan bangsa lain.

Baca Juga:  SPIRITUALITAS DAN ORIENTASI CINTA: Satu-satunya Masa Depan Agama

Syahdan, kebangsaan diartikan sebagai bangsa. Paham kebangsaan pada dasarnya belum dikenal pada masa turunnya Al-Qur’an. Paham ini baru muncul dan berkembang di Eropa sejak abad 18, tetapi paham kebangsaan (nasionalisme) ini dengan pengertiannya yang lumrah dewasa ini baru dikenal pada akhir abad 18 ke dunia Islam oleh Napoleon dalam ekspedisinya ke Mesir. Dalam realitas sejarah, tidak semua ide nasionalisme di Eropa dapat diterima oleh masyarakat Islam, namun juga tidak dijumpai negara dan pemikir Muslim yang secara terang-terangan menentang dan menempatkan posisi yang antagonis terhadap Eropa.

Turki adalah salah satu contoh negara muslim yang secara terbuka menerima konsep nasionalisme dan mengakui akan keunggulan politik Eropa. Terbukti pada tahun 1730-an Turki melakukan pembaharuan dan reorganisasi militer sesuai dengan sistem yang berlaku di Eropa. Kebangkitan nasionalisme Turki mendorong munculnya nasionalisme Arab, walaupun sebagian pemikir Arab mengklaim bahwa nasionalisme Arab muncul sejak kemenangan gerakan Wahabi (Salafi) di Arabia.

Akan tetapi, nasionalisme di Timur Tengah baru muncul pada abad XX. Konsep nasionalisme Arab baru terumuskan agak terperinci setelah perang dunia 1. Dan secara kongkret dapat disimak dari sejarah negara Mesir. Di negara ini ada beberapa tokoh yang menyuarakan gerakan nasionalisme yaitu Mustafa Kamal dan Gamal Abdul Naser.

Sampai pada masa pra-modern, umat Islam tidak mengenal nasionalisme, yang dikenal hanya dua konsep teritorial religius, yaitu wilayah damai (Dar al-Islam) dan wilayah perang (Dar al-Harb). Oleh karena itu, munculnya konsep negara bangsa (nation state) telah melahirkan ketegangan historis dan konseptual. Meskipun demikian, dalam Islam dikenal beberapa terminologi yang mendekati konsep nasionalisme (kebangsaan) , yaitu Ummah, Syub, dan Qawm.

Ummah

Kata “ummah yang kalau diindonesiakan menjadi umat, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai: pertama; para penganut atau pengikut suatu agama, kedua; makhluk manusia. Kata ummah diambil dari kata Amma-yaummu yang berarti menuju dan meneladani.

Baca Juga:  Manuskrip Al-Futuhat al-Makkiyyah

Dari akar yang sama lahir, antara lain kata umm yang berarti ibu dan imam yang artinya pemimpin, karena keduanya menjadi teladan dan harapan anggota masyarakat. Kata umm mengandung pengertian sekelompok manusia yang terhimpun karena didorong oleh ikatan persamaan sifat, kepentingan, cita-cita, agama, wilayah tertentu, dan waktu tertentu.

Makna leksikal ummah mempunyai tiga cakupan arti: suatu golongan manusia, setiap kelompok manusia yang dinisbatkan kepada seorang nabi, dan setiap generasi manusia sebagai satu umat. Senada dengan Ibn Manzur, Imam al-Ragib al-Asfihani dalam Mufradat al-Qur’an mengemukakan makna generik ummah, sebagai setiap jamaah atau perkumpulan manusia yang dipersatukan oleh urusan tertentu, baik faktor pemersatu berupa agama yang sama, waktu yang sama dan atau tempat yang sama.

Sebagian penulis membedakan antara makna religius dan makna sosial dalam term ummah. Pengertian term ummah dalam Al-Qur’an menggunakan makna yang berbeda. Terkadang bermakna masa atau waktu, pola atau metode, atau juga bermakna komunitas agama secara umum. Pada masa kini, term tersebut diartikan dengan komunitas Islam, sebab ia diyakini memiliki kandungan makna religius ketimbang makna sosio-historis.

Ibn Khaldun (1332-1406 M) menganalisis term tersebut dengan pendekatan sosiologis. Dia mengartikulasikan bahwa ummah memiliki kandungan makna yang berhubungan erat dengan konsep group, people (rakyat) atau ras, dengan sedikit dikesampingkan faktor bahasa. Baginya term ummah merupakan sebuah fenomena baru yang memiliki cakupan lebih luas dari dinasti atau negara (dawlah).

Karena itu, jika berbicara tentang masyarakat Islam, maka yang tepat dari term ummah adalah millah. Padanan kata yang tepat dari term ummah adalah wathan sebagai sebuah term yang mengekspresikan hubungan tertentu, antara group yang mendiami wilayah teritorial tertentu pula.

Baca Juga:  SASTRA DAN SUFISME

Tak hanya itu, Quraish Shihab berpendapat bahwa dalam kata ummah terselip makna yang cukup dalam. Ummah mengandung arti gerak dinamis, arah, waktu, jalan yang jelas, serta gaya, dan cara hidup. Untuk hal tersebut membutuhkan waktu untuk mencapainya. Al-Qur’an dalam surat Yusuf [12]: 45 menggunakan kata ummah untuk arti waktu. Sedangkan dalam surat al-Zukhruf [43]: 22 untuk arti jalan, atau gaya dan cara hidup.

Sedangkan pemikir yang lebih komprehensif dalam memaknai kata ummah adalah Ali Syariati. Sebagaimana halnya Quraish Shihab, ummah mengandung arti progresif dan dinamis. Istilah ummah menurut Ali Syariati berasal dari kata ammada artinya bermaksud (qasada) dan berniat keras (azimah).

Arti ini terdiri atas tiga arti yakni gerakan, tujuan, dan ketetapan hati yang sadar. Dan sepanjang kata ammada itu pada mulanya mencakup arti kemajuan, maka tentunya ia memperlihatkan diri sebagai kata yang terdiri atas empat arti, yaitu: usaha, gerakan, kemajuan, dan tujuan.

Atas dasar arti ini, kata ummah menurutnya adalah masyarakat yang hijrah, atau kumpulan orang yang semua individunya sepakat dalam tujuan yang sama, dan masing-masing membantu agar bergerak ke arah tujuan yang diharapkan atas dasar kepemimpinan yang sama. Istilah tersebut mengandung arti tiga konsep yang saling bertautan, yaitu kebersamaan dalam arah tujuan, gerakan menuju arah dan tujuan tersebut, dan keharusan adanya kepemimpinan dan petunjuk kolektif.

0 Shares:
You May Also Like