Iman Perlu Bagi Kebahagiaan, Iman Perlu Bagi Pengetahuan yang Lebih Tinggi

Manusia modern, betapa pun punya banyak sahabat, jalan-jalan ke sana kemari—ke pusat-pusat keramaian—sibuk bekerja nyaris 24/7 atau main sosmed seharian, sebetulnya makin merasa kesepian dan terpecah-pecah hidupnya.

Sepi, karena pada akhirnya hidup harus dijalani sendirian, kebahagiaan harus dicari di dalam hati. Terpecah-pecah akibat disorientasi yang diciptakan oleh luberan informasi (information spill over), serta perpecahan dan permusuhan sepanjang garis-garis politik identitas dan gejala kebingungan karena fenomena pasca-kebenaran bersama seluruh ekses pendahuluan maupun ikutannya. Belum lagi oleh serangan cukup mematikan kepada institusi keluarga, suatu institusi yang seharusnya bisa menjadi safe haven, suatu oasis penuh kedamaian—bagi setiap anggotanya serta tuntutan yang terus mengintimidasi untuk membangun citra/gengsi personal—dari kata persona yang bisa bermakna “topeng” yang tiba-tiba menjadi ukuran kesuksesan hidup.

Maka, manusia memang sudah ditakdirkan harus punya jangkar yang dipercayainya ‘tak bisa goyah. Maka, jangkar itu, meski selalu bisa diperoleh dari kebijaksanaan orang-orang besar, atau dari sebuah gagasan besar yang bersifat rasional/intelektual, akan lebih kukuh dan tahan serbuan keraguan sekuat apa pun jika ia berakar dari keimanan. Keimanan kepada suatu Kekuatan Transenden yang sekaligus Kekuatan Kebaikan. Itulah Tuhan. Dan kepada Sahabat Tuhan, para Nabi dan Orang-orang Suci, yang menjadi pengejawantahan-Nya.

Persis inilah yang dinubuatkan William James ketika dalam bukunya yang berjudul The Principles of Psychology, dia katakan: “Meski peradaban akan menyeret manusia ke arah lain, manusia hanya bisa tenteram atau bahagia jika dia bersahabat dengan Sahabat Agung (The Great Socious)-nya.”

Bukan hanya itu fungsi iman. Pertama, meski tidak rasional dalam makna sempitnya, iman—kepada Allah (yang Paling Gaib) dan Hari Akhir (Akhir yang gaib)—adalah keyakinan yang direnungkan tentang adanya batas-batas pengetahuan kita, (bahkan, bahwa yang bisa kita ketahui sendiri amat sedikit). Yang tanpa itu banyak hal, bahkan puncak ilmu pengetahuan atau ilmu sejati, ‘tak akan pernah bisa kita ketahui. Iman adalah kunci pembuka semua pengetahuan.

Baca Juga:  Abu Bakr Al-Razi (1): Akal dan Kenabian, Kritik terhadap Agama-Agama Wahyu

“Itulah (hakikat) Al-Qur’an (wadah semua ilmu sejati) yang tak ada keraguan tentangnya, petunjuk bagi orang-orang yang senantiasa sadar (takwa). Yakni orang-orang yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang senantiasa mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-Baqarah [2]: 2-4).

Ya, seperti juga ilmu pengetahuan (sains) dibangun di atas kebenaran primer (primary truth) yang diterima begitu saja secara, katakanlah, intuitif—kalau tidak bawaan (innate)—maka metode empiris pun dibangun di atas aksioma tentang realitas keberadaan benda-benda empiris di luar kesadaran kita juga ‘tak bisa dibuktikan (secara rasional). Tapi, hanya di atas apa yang kita sebut sebagai “kebenaran primer” itulah sains bisa dibangun. Dan, kalau pun tak bisa sepenuhnya diverifikasi secara korespondensi, bisa diverifikasi secara koherensi—yakni setelah kita menerima kebenaran-kebenaran primer dan aksioma-aksioma itu. Selebihnya, jalan verifikasi secara pragmatis mengambil alih. Yakni, kenyataan bahwa pada akhirnya suatu teori saintifik melahirkan kegunaan pragmatis bagi kehidupan umat manusia menjadikannya terverifikasi. Karena, kalau tidak benar, mestinya teori itu ‘tak akan menghasilkan manfaat.

Alhasil, ilmu pengetahuan (sains) pun sesungguhnya mulai dari keimanan. Dan keimanan itulah yang menjadi fondasi perkembangan ilmu pengetahuan sampai pada tingkat kecanggihan seperti yang telah dicapainya sekarang ini. Dengan cara yang sama, imanlah yang memungkinkan ilmu keagamaan yang bersifat metafisis mengembangkan teori-teori psikologis dan spiritual yang, seperti juga sains, belakangan—melalui jalan verifikasi koheren dan pragmatis—ternyata bisa diterima dan bermakna.

Baca Juga:  Memperbanyak Berdoa/Zikir/Wirid/Hizib atau Amal Saleh?

Sebagai catatan akhir, seperti juga sains, kebenaran keagamaan sebagai sejenis persepsi—semetafisis apa pun—juga bisa dibuktikan secara empiris melalui adanya sifat intersubyektif dari pengalamannya. Bahwa sejumlah cukup pengalaman spiritual manusia—melewati zaman, vidaya, agama, gender, dsb—terbukti memiliki kesamaan/pola yang berulang. Persis sebagaimana persepsi orang terhadap pengalaman empiris. Hal ini, dengan beberapa perbedaan, kiranya mengharuskan kita untuk terbuka menerima kemungkinan kebenaran teori-teori keagamaan atau spiritual/mistikal. WalLaah a’lam.

0 Shares:
You May Also Like