Apa itu Filsafat Harmonisasi?

Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat memiliki keistimewaan dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lainnya. Keistimewaan yang dimiliki filsafat disebabkan dari aspek objek kajian dan metode penelitiannya. Ketika disiplin ilmu yang lainnya mengkaji realitas-realitas partikular seperti alam, manusia, hewan dan semacamnya, maka filsafat lebih menitipberatkan pada mengkaji realitas universal yang biasa dikenal sebutan nama “wujud sebagaimana wujud”. Ketika disiplin ilmu lain menggunakan instrumen indra, pengalaman seperti yang dilakukan para saintis sebagai pisau analisis, filsafat justru menjadikan akal sebagai pisau bedah realitas. Jadi, filsafat adalah disiplin ilmu yang berobjekkan realitas sebagaimana realitas. Berfilsafat yaitu berusaha menyingkap hakikat dan hukum-hukum realitas sebagaimana realitas. Lantas, instumen seperti apa yang digunakan untuk menyingkap hakikat dan hukum-hukum realitas sebagaimana realitas? Maka penyingkapan tersebut dilakukan dengan mediasi akal. Dengan demikian, filsafat sebagai ilmu yang berusaha mengaktualkan akal manusia.

Dari ranah objek kajian, filsafat memiliki objek kajian yang lebih universal dibandingkan objek kajian disiplin ilmu yang lain. Sebab, objek kajian filsafat lebih kepada realitas yang hadir sifatnya universal dan meliputi semua realitas partikular. Adapun dari ranah metode penelitian, filsafat menggunakan metode yang lebih meyakinkan daripada metode yang berlaku dalam disiplin ilmu yang lain. Metode penelitian filsafat lebih berfokus pada prinsip rasional yang bersifat mengkaji sesuatu sampai ke akar-akarnya dari sebuah permasalahan yang biasa disebut radikal, sistematis dan dapat diterima akal sehat manusia.

Berkenaan dengan keutamaannya dikatakan bahwa kemuliaan ilmu ditentukan oleh kemuliaan objek dan tujuannya (syarful ‘Ilmi bisyarafi maudhu’ihi wa ghayatihi). Jadi, ilmu yang paling utama adalah ilmu yang mengkaji objek yang paling utama. Keutamaan ilmu ditinjau dari keutamaan objeknya, kemuliaan tujuannya dan yang terpenting dilihat dari kesahihan argumentasinya. Sebab, yang dikaji dalam filsafat adalah Tuhan sebagai pencipta segala sesuatu serta sifat dan perbuatan-Nya.

Baca Juga:  Syaikh Ahmad Sirhindi: Pembaru Kajian Tasawuf di India

Allamaha Thabathabai dalam magnum opusnya Bidayah al-Hikmah disebutkan bahwa filsafat adalah ilmu yang mengkaji wujud sebagaimana wujud dengan tujuan mengenal wujud secara universal, mengetahui yang mana wujud hakiki dan mana wujud non hakiki, serta mengenal sebab dari segala sebab. Lebih khusunya lagi, filsafat yaitu mengenal sebab primer yang kepadanya berujung segala sebab, mengenal nama-nama-Nya serta sifat-sifat-Nya—sifat jamaliah dan jalaliyah.

Bahasa sederhananya, filsafat sebagai ilmu yang mengkaji wujud secara universal dan berujung pada wujud Tuhan. Semua kajian ini dilakukan dengan instrumen akal. Akal yang mengedepankan argumentasi rasional dan menjauhkan diri dari taklid buta. Maka filsafat adalah perjalananan akal menuju Tuhan. Bahkan dalam aspek agama sekalipun, tidak ada agama bagi orang yang tak berakal dan agama hanya dianut bagi orang-orang yang berakal.

Ketika mencoba menekuni sebuah disiplin ilmu yang teristimewa seperti filsafat merupakan sebuah nilai tersendiri. Ibaratnya, orang-orang yang berislam. Islam adalah sebuah tatanan nilai, tetapi seseorang belum bernilai dengan berislam. Lantas, bagaimana seseorang dapat bernilai ketika berislam? Untuk bernilai, seseorang mesti menginternalisasikan dan mewujudkan nilai-nilai Islam dalam dirinya. Maka, umat muslim yang mengaku berislam, tetapi kosong dari dari nilai-nilai Islam, tak ubahnya seperti kera yang bermahkota emas. Begitu pun dengan para pengkaji filsafat mesti memberikan nilai pada dirinya ketika ia berusaha mengkaji sesuatu yang bernilai.

Filsafat sebagaimana halnya dengan disiplin ilmu yang lain memiliki tujuan yang tetap yaitu mengnal realitas sebagaimana realitas adanya. Adapun dari sisi pengkaji filsafat, filsafat boleh jadi memiliki tujuan yang beragam. Para filsuf seperti Socrates, tujuan filsafat adalah mengenalkan manusia pada model kematian yang indah. Baginya, kehidupan dunia ini sebuah penyakit dan penawarnya adalah kematian. Maka manusia mesti mencari model kematian yang indah yaitu dalam bahasa agamanya khusnul khatimah. Sedangkan Mulla Sadra beranggapan bahwa tujuan filsafat adalah memberikan kesempurnaan jiwa. Dan kesempurnaan jiwa hanya mungkin dicapai ketika manusia berhasil membentuk dirinya menjadi manusia semesta. Yang biasa disebut sebagai membentuk diri menjadi alam internal yang serupa dengan alam eksternal (Alamun ‘aqliyun mudhahiyun li’alamil khariji).

Baca Juga:  Membedah Kritik Herbert Marcuse atas Masyarakat Modern

Adapun dalam filsafat harmonisasi, tujuan filsafat adalah mengenalkan pada manusia tata cara bertindak harmonis terhadap realitas. Mengapa mesti filsafat harmonisasi? Sebab, harmonsasi lebih menekankan bagaimana memperlakkan realitas sesuai dengan falsafah wujud realitas. Misalnya falsafah wujud manusia adalah menghamba dan falsafah wujud Tuhan adalah wujud yang disembah, maka status hamba hanya menghambakan diri kepada Allah swt. Selaras dengan tujuan penciptaan manusia yang diungkapkan dalam teks suci Al-Qur’an bahwa Tuhan menciptakan jin dan manusia untuk menyembah-Nya(QS. Az-Zariyat ayat 56). Ketika Tuhan menetapkan ibadah sebagai falsafah penciptaan manusia, artinya jangan sampai ada satu gerak-gerik pun yang tidak mendatangkan kesempurnaan jiwa dan jangan sampai ada satu tarikan nafas pun yang tidak mendekatkan diri pada Tuhan. Selama kita maknai ibadah yaitu segala hal yang dapat mendatangkan kesempurnaan bagi jiwa. Dalam bahasa teologisnya, segala tindakan yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Bahkan Nabi Muhammad saw. sebagai rahmat dan kasih sayang bagi alam semesta untuk mengajak manusia berjalan menuju Tuhan. Lantas, dengan jalan apa yang mesti ditempuh? Tentunya dengan menempuh jalan lurus. Dan jalan yang lurus itu biasanya disebut dengan sebutan jalan harmonisasi.

Dan yang paling penting mengapa mesti filsafat harmonisasi bukan filsafat eksploitasi? Karena berpulang pada kedalaman fitrah manusia yang paling fundamental yaitu fitrah kesempurnaan. Bahkan toleransi sekalipun sebagai bagian dari harmonisasi. Karena toleransi memiliki relasi harmonis terhadap sesama manusia dalam keberagaman. Walhasil, ketika kita menekuni filsafat harmonisasi, maka segala entitas adalah saudara kita. Sebab, setiap entitas memiliki dimensi persamaan dengan kita. Atas dasar inilah, tidak ada alasan untuk mengekploitasi sesama saudara. Ungkapan dari pintu ilmu Nabi Muhammad saw. yaitu Ali Bin Abi Thalib pernah berkata bahwa, “Ketika kita tidak bersaudara dalam seiman, maka kita tetap bersaudara dalam kemanusiaan”.

Walhasil, ketika kita yakin dan percaya tujuan diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman bagi umat manusia(hudan linnas wa bayyinatin minal huda wal furqan), maka filsafat sebagai petunjuk bagi orang-orang berilmu (hudan lil ‘alimin).

Baca Juga:  Menguak Makna Batin Kisah Nabi Saleh

Sumber Bacaan

Alfit Sair, Filsafat Harmonisasi: Dari Pengetahuan Rasional Menuju Tindakan Rasional. Makassar: Lyeum Press, 2020.

Alfit Sair, Metafisika: Syarah Bidayah Al-Hikmah Allamah Thabathabai: Diskursus Eksistensi, Non Eksistensi, Wujud Eksternal, dan Wujud Mental. Makassar: Lyeum Press, 2021.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Ayo Bertasawuf

Oleh: Darmawan Ketua Program Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf Apa itu tasawuf? Apakah tasawuf merupakan bagian dari…