Filsafat, Keterbukaan dan Toleransi

Filsafat adalah ilmu milik semua orang. Berpikir secara filosofis adalah potensi yang dimiliki oleh setiap manusia tanpa terkecuali. Kemampuan itu, tentu berbeda-beda sesuai pencapaian masing-masing. Sehingga pada dasarnya, setiap manusia mempunyai sebuah daya rasional yang membuatnya mampu memahami sesuatu secara logis.

Seringkali kita temui orang menjadi ngeri mempelajari filsafat karena dianggap terlalu sulit dan membingungkan. Sebagian lain beralasan bahwa filsafat bisa menyesatkan. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa filsafat merupakan ilmu yang tak begitu penting untuk kehidupan. Padahal, jika kita amati persoalan yang dibahas dalam filsafat adalah permasalahan hidup keseharian yang sangat esensial.

Demikian banyak persoalan keseharian yang semakin dibahas, bukannya menemukan jawaban justru malah menjadi semakin ruwet. Mungkin, hal ini terjadi dikarenakan kita tidak menggunakan pendekatan filosofis dalam usaha menyelesaikannya. Semisal permasalahan toleransi beragama yang belum juga menemukan titik temu. Meski diskusi antar pemuka agama semakin gencar diadakan, persoalan yang kita hadapi masih belum beranjak dari masalah seputar mengucapkan selamat natal dan penggunaan istilah non-Muslim.

Jika kita amati secara filosofis, krisis toleransi yang sedang kita hadapi mungkin saja dikarenakan kebiasaan kita yang senang terhadap hal-hal superfisial—yang dangkal-dangkal—dan menolak berpikir mendalam. Tidak bermaksud untuk mensimplifikasi, namun kita bisa lihat contoh nyata di tengah masyarakat di mana pemuka agama yang lebih digemari adalah yang senang menghina dan merendahkan ajaran lain. Ceramah-ceramah yang bermuatan ujaran kebencian dan sikap intoleransi jauh lebih menarik dan banyak meraup masa, ketimbang ceramah yang mengajak kita berpikir dengan rasionalitas.

Kita harus cermat mengamati titik persoalan yang sedang kita hadapi bila memang menginginkan jalan keluar. Di sini, perlu kita tekankan bahwa semua masalah intoleransi dan ketersinggungan kita saat ini bermula dari sikap merasa benar sendiri. Semua pihak memutlakkan bahwa dirinya dan kelompoknyalah yang benar. Sebuah virus yang menggerogoti kerukunan berbangsa kita.

Baca Juga:  IBADAH UNIK UNTUK BERTEMU YANG MAHA UNIK: Puasa menurut Syaikh al-Akbar Ibn al-'Arabi

Dalam filsafat, kebenaran diartikan dengan cara yang berbeda. Memahami kebenaran secara filosofis, kita bisa mengutip pendapat salah satu filsuf besar Muslim, yakni Al-Kindi. Menurutnya, kebenaran bisa datang dari mana saja, dan umat Islam—ataupun seluruh manusia—tak perlu sungkan untuk mengakui dan mengambilnya dari mana pun ia berasal, meski dari bangsa-bangsa terdahulu ataupun dari bangsa asing. Bagi para pencari kebenaran, tidak ada yang lebih berharga kecuali kebenaran itu sendiri. Mengambil kebenaran dari orang lain tidak akan menurunkan derajat seorang pencari kebenaran, itu justru menjadikannya terhormat dan mulia.

Berkaca pada pandangan Al-Kindi tersebut, kitansudah semestinya membuka diri lebih luas lagi terhadap setiap kemungkinan, bahwa semua kelompok (termasuk kelompok agama) bisa saja—atau bahkan pasti—di dalamnya terdapat hikmah (kebenaran). Sepertinya kita patut merenungi perkataan Maulana Rumi dalam salah satu puisi mistiknya, “Lampaui gagasan sempitmu tentang benar dan salah!”, sebuah ungkapan yang penuh dengan makna, sekaligus ajakan pada keluasan yang tidak terbatas. Sebuah dunia yang di dalamnya tidak ada prasangka dan rasa gelisah. Sehingga daripada saling meributkan siapa yang lebih benar, akan lebih baik bila kita bertukar hikmah dan kebenaran.

Lebih jauh lagi, kita akan menemukan gagasan filosofis dari Pythagoras yang kiranya mampu mengatasi krisis kita sekarang, bahwa mencintai kebijaksanaan (filsafat) mengandung pengertian kesadaran bahwa hanya Tuhan yang mempunyai hikmah (kebijaksanaan dan kebenaran) yang sebenarnya, sedangkan manusia harus puas dengan tugasnya di dunia, yaitu mencari hikmah, mencari pengetahuan, mencari kebenaran dan terus mencari. Sebuah pencarian yang tak pernah berujung. Demikianlah seharusnya kita memosisikan diri.

Filsafat sendiri muncul dalam rangka melawan sebuah kaum yang menamai dirinya kaum Sofis (orang-orang bijak). Golongan seperti inilah yang terus menimbulkan suasana intoleransi di mana pun dan kapan pun. Mereka terus melakukan regenerasi dari masa ke masa, mereka berganti jubah, namun isinya kurang lebih sama, yaitu manusia-manusia yang merasa menggenggam kebenaran. Orang-orang seperti ini juga terus memaksakan kebenarannya kepada orang lain, tak peduli apapun dampak yang akan ditimbulkan.

Baca Juga:  Abu Thalib al-Makki: Tujuan Puasa itu Menjauhi Dosa, Bukan Lapar dan Haus!

Tak begitu sulit menemukan kaum sofis, mereka senantiasa hadir dalam setiap masa sepanjang zaman. Mereka tampil dalam banyak rupa. Mereka menjadi pemimpin, ulama, pelajar, petani, pedagang, pebisnis, penyair, sufi, bahkan para filsuf. Namun demikian, mereka tetap sama dalam satu hal, yakni keyakinan bahwa mereka telah mendapatkan kebijaksanaan dan kebenaran.

Padalah, esensi dari filsafat adalah cinta (philos). Rasa cinta itulah yang kemudian mengantarkan seseorang untuk semakin mengenali yang dicintainya. Mencintai kebijaksanaan, berarti mencintai sang pemilik kebijaksanaan, dengan kata lain mencintai Tuhan itu sendiri. Hal ini, akan mendorong seorang pencinta kebijaksanaan (filsuf) untuk mengenali Tuhan Yang Maha Bijaksana itu. Pertanyaannya, akankah proses mengenal Tuhan itu berakhir? Atau apakah seseorang akan mencapai sebuah pengenalan yang sempurna dan utuh tentang Tuhan, sehingga berhak mengatakan “Kamilah pemilik kebijaksanaan?”

Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda “Barangsiapa mengenal dirinya, maka pasti ia mengenal Tuhannya”. Lantas apakah orang yang telah mengenal Tuhan akan berakhir pencariannya? Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa perjalanan mengenal Tuhan adalah perjalanan yang tidak akan pernah berakhir, setelah seseorang mengenal dirinya, maka ia akan mendapatkan pengetahuan tentang Tuhannya, kemudian dengan pengetahuannya tentang Tuhan itu ia pun memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang dirinya sendiri, lantaran itu ia akan mengenal Tuhan lebih jauh dan lebih dalam lagi, kemudian dengan itu dia mengenal dirinya lebih dalam lagi, demikian seterusnya. Selamanya.

Menyadari kebenaran secara filosofis akan membuat hati lebih lapang dan tenang. Dengan demikian, diharapkan kita lebih mampu untuk legowo menerima perbedaan dan tidak lagi memaksakan kebenaran kita pada orang. Sebab, kebenaran hakiki hanyalah milik Allah, sedangkan kita hanya bisa berjuang untuk mendekati kebenaran hakiki itu. Sangat tak wajar bila kita yang sejatinya sama-sama tidak memiliki—bahkan tidak mengetahui—kebenaran yang hakiki,  tetapi malah saling salah-menyalahkan. Daripada itu, ada baiknya kita memulai pencarian kita. Buanglah semua ego dan rasa besar diri dalam hati, karena hal itu hanya akan menjadi beban dalam perjalanan. Bahkan dapat membinasakan. Dengan hati yang lapang, banyak hikmah yang akan kita temukan sepanjang jalan pencarian. Kita akan mampu memungut hikmah yang berceceran di penjuru bumi Allah ini, tak peduli pada siapa pun dan di mana pun itu. Dari sisi inilah, filsafat akan mengantarkan kita menuju masyarakat toleran.

Baca Juga:  Guru Sufi tertentu Menerima Ajaran Tambahan dari Nabi di Luar Al-Qur’an dan Hadis. Benarkah ?

0 Shares:
You May Also Like