Dan (Ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya Azar, “Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai Tuhan?”….” QS. Al-An’am [6]:74
Al-Qur’an telah menerangkan ketakwaan dan kesetiaan Nabi Ibrahim as. dalam surat Al-Baqarah [2]:125, berbunyi; ‘…Dan telah Kami perintahkan Ibrahim dan Ismail, “Bersihkan rumah-Ku (Ka’bah) untuk orang-orang yang tawaf, orang yang iktikaf, dan orang yang rukuk, dan orang yang sujud”. Secara tekstual, kita memahami ketakwaan dan ketundukan Ibrahim as. dan keluarganya untuk melaksanakan berbagai perintah Ilahi dalam menekankan peribadahan dan penyembahan umat manusia kepada-Nya di sepanjang zaman. Dalam ayat lainnya, surah Ash-Shaffat ayat 102, Allah swt. menguji Ibrahim as. untuk menyembelih putra tercintanya, Ismail as. Dengan sukarela keduanya pun melaksanakan perintah Ilahi sebagai bentuk ketakwaan dan ketundukan mereka kepada Sang Pencipta langit dan bumi.
Dari penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa Ibrahim as. merupakan salah satu makhluk Ilahi yang tunduk dan patuh atas berbagai perintah yang ditujukan kepadanya. Namun, berbagai asumsi hadir di tengah masyarakat yang menjelaskan Ibrahim as. sebagai penyembah matahari, bintang, dan bulan sebelum menjadi seorang utusan Ilahi, sebagaimana dikutip melalui QS. Al-An’am [67]:76-78.
Kata “Hadza Rabbi” dalam sturktur QS. Al-An’am [67]:76-78 menjadi alasan kuat hadirnya asumsi penisbatan Ibrahim sebagai individu yang kafir atau tidak menyakini keberadaan Allah swt. Mayoritas masyarakat memahami redaksi “Hadza Rabbi” sebagai sebuah pernyataan yang diucapkan oleh Ibrahim as. kepada masyarakat. Akan tetapi, menjadi catatan penting bahwa “Hadza Rabbi” dalam pemaknaan QS. Al-An’am [67]:76-78 bukan bermakna pernyataan atau ikhbar, melainkan pertanyaan atau istifham yang diberikan Ibrahim kepada para penyembah matahari, bintang, dan bulan. Allamah Thabathabai dalam Tafsir-e Mizan menjelaskan kata “Hadza Rabbi” merupakan pertanyaan yang dilontarkan Ibrahim as. untuk membuktikan Tuhan atau pemilik semesta hanyalah Allah swt. dan tidak ada yang patut disembah selain-Nya.
Tentu menjadi pertanyaan dalam benak kita bahwa apakah bisa kalimat tanya menjadi dasar penolakan dan pembuktian ragam argumentasi. Dalam wacana logika barat, kita mengenal istilah Open Question Argument, sebuah metode argumentasi yang pertama kali diperkenal oleh G.E. Moore dalam magnum opusnya berjudul Principia Ethica bahwa kalimat tanya juga dapat mengatasi berbagai kerancuan proposisi argumentasi dan sekaligus menjadi metode pembuktian terhadap argumentasi yang dibangun dalam sebuah proposisi, disebut Open Question Argument atau argumentasi pertanyaan terbuka. G.E Moore mencontohkan argumentasi Open Question Argument, seperti “Saya tahu memberi uang kepada para pengemis adalah upaya membahagiakan mereka, tapi apakah itu baik bagi mereka?” Pertanyaan inilah yang nanti akan membangun sebuah proposisi baru dalam ruang argumentasi untuk menolak dan menerima suatu permasalahan yang didiskusikan. Berbeda jika kita memberikan sebuah pertanyaan “Saya tahu bahwa Ahmad adalah seorang vegetarian, tapi apakah dia makan daging?” Dalam wacana Open Question Argument, G.E Moore menjelaskan contoh kedua sebagai kalimat tanya tertutup (Close Question Argument) yang mengindikasikan kemustahilan seorang vegetarian makan daging, sebab penisbatan vegetarian hanya kepada mereka yang tidak memakan daging.
Lantas, bagaimana dengan kata “Hadza Rabbi” dalam tinjauan Open Question Argument. Dalam tulisan ini, penulis mencoba menggunakan QS. Al-An’am [67]:76 sebagai contoh untuk membuktikan konsep tauhid dalam ketakwaan dan kepatuhan Ibrahim as. yang berbunyi, “Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku”. Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata,“Aku tidak suka kepada yang terbenam”. Jika memahami kata “Hadza Rabbi” (Inilah Tuhanku), maka kita mengetahui sebagai Open Question Argument bukan Close Question Argument. Sebab mengindikasikan adanya sebuah jawaban untuk menolak dan membenarkan suatu argumentasi,“Aku tidak suka kepada yang terbenam”. Allamah Thabathabai menjelaskan bahwa Ibrahim as. menolak kebenaran bintang sebagai eksistensi atau sebab utama atau wajib al-wujud, sehingga dia (Ibrahim as.) mempertanyakan sebagai sikap penolakan dan membenarkan bahwa eksistensi utama tidak pernah adam atau memiliki ketiadaan (terbenam).
Allamah Thabathabai mempertegas urgensi perjalanan Ibrahim as. dalam QS. Al-An’am [67]:76-78 meliputi 3 aspek; Amr-e Mahsusī, Amr-e Ma’qulat, dan Amr-e Ilahī.
Amr-e Mahsusī menjelaskan bahwa secara fitrah, manusia adalah makluk yang taat dan menyembah sesuatu, sebagai kebergantungan dan kebetuhan eksistensi mereka. Akan tetapi, mayoritas manusia salah dalam menyembah dan menyakini keberadaan Tuhan. Akibatnya, sebagian dari mereka menyembah bintang, matahari, dan bulan. Amr-e Ma’qulat, para nabi diutus untuk membimbing dan menyadarkan berbagai kerancuan perspektif manusia. Para nabi dan rasul diberikan kecerdasaan dan pengetahuan untuk membimbing dan memperkenalkan eksistensi-Nya di tengah masyarakat, sebagaimana Nabi Ibrahim as. mempertanyakan bintang, matahari, dan bulan sebagai maujud utama, akan tetapi mengalami ketiadaan. Amr-e Ilahī diberikan kepada para nabi dan rasul untuk membuktikan bahwa mereka adalah manusia pilihan-Nya yang diutus untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju alam terang-benerang. Seperti Nabi Ibrahim dibakar oleh Namrud. Kemudian Allah swt. menghendaki mukjizat baginya untuk tidak dapat dibakar. Tentu, Amr-e Ilahī untuk menyadarkan manusia dari berbagai penolakannya terhadap dakwa Ibrahim as.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa QS. Al-An’am [67]:76-78 menjelaskan ketakwaan dan kepatuhan Ibrahim as. sebagai salah satu utusan Ilahi untuk mengajarkan dan memperkenal keberadaan Allah swt. dengan menghadapkan berbagai pertanyaan kepada mereka yang menyekutukan keberadaan-Nya, tanpa melihat Ibrahim as. sebagai salah satu dari penyembah bulan, bintang, dan matahari.