Buat yang mungkin tak mengikuti, sejarah pendudukan dan penindasan Zionisme atas bangsa Palestina—apa pun agamanya—persoalan ini mungkin dianggap soal konflik sporadis biasa. Padahal, ini adalah suatu problem lama dan mendasar. Bahkan sudah berusia lebih dari 70 tahunan lamanya. Yakni, sejak tahun 40-an, ketika para aktivis Zionisme dalam Diaspora memutuskan—dengan berbagai dalih—termasuk belakangan didukung oleh alasan-alasan pseudosaintifik lain bahwa tanah Palestina adalah tanah orang Yahudi dan tanah pilihan mereka untuk membangun negara Israel.
Dalam konteks ini, saya sampaikan sambil lalu saja di sini bahwa, Mizan sudah menerbitkan buku-buku tentang pendudukan Palestina oleh Israel sejak tahun 80-an. Jadi 30 tahunan lalu. Seingat saya, ada karya Riza Sihbudi (LIPI), buku Noam Chomsky (The Fateful Triangle?), juga dua buku karya seorang anggota Parlemen AS pembela Palestina. Paul Findley. Jangan lupa juga dua jilid komik Palestina karya Joe Sacho. Sebelum itu, malah ada karya Maryam Jameelah tentang penderitaan bangsa Palestina yang tinggal di Gaza (Di tepian Jalur Gaza). Saya juga pernah menulis soal Palestina saat sedang kuliah di Harvard pada awal tahun 90-an.
Di tahun 80-an juga Penerbit Pustaka Salman—yang saya juga sempat aktif di dalamnya—sudah menerbitkan The Myth of Israel karya Roger Garaudy, seorang filsuf Prancis, yang membongkar mitos klaim Zionis atas tanah Palestina. Jadi tak seperti yang dikira sebagian orang, ini bukan cuma urusan penyerangan Aqsha kemarin dan penimpukan atas polisi Israel, melainkan perampasan hak hidup dan kejahatan negara yang sudah berlangsung lama.
Sejak itulah, dengan mengklaim tanah Palestina sebagai tanah yang dijanjikan kepada mereka atas (apa yang mereka pahami sebagai) ajaran Kitab Suci, dan dukungan tanpa reserve Eropa (khususnya Inggris) serta (belakangan) AS, mulailah muncul upaya-upaya sistematis untuk merampas tanah dan mengusir bangsa Palestina dari tanah mereka. Dengan berdiri dan makin kuatnya negara Israel, perampasan tanah itu pun makin menjadi-jadi. Lebih sering disertai kekerasan dan pembunuhan. Hingga sekarang, tanah yang dihuni bangsa Palestina—menurut studi—sudah menyusut hingga tinggal kurang dari 30 persen tanah awal mereka. Dengan kata lain, 70 persennya telah dirampas pendudukan Israel. Sudah begitu pun, kehidupan mereka di tanah-tanah sisa itu amatlah memprihatinkan. Gaza malah telah menjadi “penjara terbesar” di dunia selama puluhan tahun.
Bukan itu saja. Israel makin cetho welo-welo telah menjadi negara apartheid. Kita bisa membaca banyak pernyataan tokoh-tokoh dunia tentang ini. Baik saya ambil dua saja contoh. Jimmy Carter, mantan presiden AS, menyindir tentang soal ini dalam sebuah buku yang dia tulis khusus dengan judul Palestine: Peace, Not Apartheid. Sementara itu, banyak tokoh lain bersuara lebih lantang. Personel Pink Floyd, Roger Waters pun menyatakan dengan lugas: “Israel adalah negara aparheid“. Juga Desmond Tutu, dll. Presiden Joko Widodo pun bersuara keras soal upaya perampasan tanah warga di Sheikh Jarrah yang berujung pada penyerangan jamaah tarawih di Masjid al-Aqsha, dan berbuntut perang roket dan rudal, beberapa waktu lalu. Dalam Twitternya, Jokowi mewakili pemerintah Indonesia menyatakan:
“Pengusiran paksa warga Palestina dari Sheikh Jarrah, Jerusalem Timur dan penggunaan kekerasan terhadap warga sipil Palestina tak dapat dibiarkan. Kami mendesak DK PBB bertindak atas pelanggaran-pelangaran yang terus dibuat Israel. Kami mengutuk aksi tersebut. Indonesia akan terus mendukung rakyat Palestina.”
Bukan cuma warga Muslim, bahkan juga pengikut Kristen di sana tak luput dari aksi paksa polisi Israel. Masalahnya adalah, saya duga karena tak suka pada Islam “keras” seraya menganggap bahwa ini hanya urusan mereka, sebagian orang di negeri ini justru membela Israel dan menyalahkan gerakan perlawanan Palestina. Sudah tentu tangan-tangan intelijen dan PR Israel bekerja keras di belakang layar. Di antaranya ada juga yang membela perampasan tanah Palestina oleh Zionis dengan mengulang argumentasi bahwa itu adalah hak orang-orang Yahudi yang disebut di Kitab Suci. Apakah tidak berbahaya jika kehidupan modern diatur dengan pemahaman literal dan sepihak atas Kitab Suci? Kalau pun betul, siapakah yang bisa menyatakan bahwa itu janji yang berlaku sampai kiamat? Lalu bolehkah Muslim membunuhi non-Muslim karena menafsirkan secara literal juga ayat: “Bunuhlah (orang kafir) di mana pun kamu temui mereka?“
Sungguh berbahaya sekali. Jika begini, jadinya kita seperti membenarkan keyakinan Muslim radikal-jihadis untuk menggunakan pemaksaan dan kekerasan—bahkan pembunuhan—dalam agama.
Kalau pun mau, mari kita asumsikan saja bahwa kita menerima argumentasi dari tafsir literal kitab suci ini. Maka, apakah kemudian penduduk yang sudah tinggal di tanah Palestina selama berabad-abad itu boleh diusir begitu saja?
Mengaitkan pembelaan kepada Palestina dengan agenda Islam “keras” di dalam negeri juga adalah sesuatu yang tak selalu benar. Bukan saja saya (HB) berada di seberang Islam “keras”, saya kadang justru korban mereka. Difitnah, diancam, juga acara diskusi buku saya mau dibubarkan, dsb.
Lalu juga, kenapa—kata mereka—kita ini tidak mengurus masalah-masalah yang di dalam negeri saja? Dengan mudah kita jawab, masalah-masalah di dalam negeri jelas harus diurus, tapi penindasan di luar negeri tak lantas biasa kita abaikan begitu saja. Karena, bukankah ini amanat UUD kita juga?
Akhirnya, saya tegaskan di sini, saya bukan orang yang suka perang dan kekerasan. Sebagai murid studi (pemikiran) Islam, saya pun punya keyakinan bahwa Islam pada dasarnya membenci perang. Inilah kenyataannya yang dikatakan Al-Qur’an. Al-Qur’an menyatakan: “Diwajibkan atasmu berperang. Meski kamu membencinya”. Ya, dalam kondisi-kondisi sangat khusus, perang diperbolehkan. Yakni untuk pertahanan diri atau melawan penindasan. Demikianlah Allah firmankan lagi:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, ‘Tuhan kami ialah Allah.’ Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa” (QS. Al-Hajj [39]: 40).
Itu pun dengan sebuah catatan tegas: Perang pun tak boleh dilancarkan karena kebencian, melainkan harus berlandaskan cinta. Yakni, demi membela kemanusiaan. Maka, prinsipnya, perang dalam Islam adalah last resort. Makin cepat berhenti dan berdamai pun, makin baik. Bahkan, demikian agama memerintahkan, selalu prioritaskanlah perundingan demi kembali kepada perdamaian.
Tapi, sekali lagi, yang sekarang terjadi bukanlah perang, apalagi perang yang seimbang. Melainkan penindasan dan penjagalan oleh suatu negara modern yang disokong oleh negara-negara adidaya. Sementara, korbannya hanya berusaha untuk tidak diam dalam pameran ketidakadilan paling besar dalam sejarah dunia ini.
Semoga keadilan dan perdamaian kembali ke tanah Palestina. Karena, kalau tidak, semua kita akan merasakan kobaran apinya. Cepat atau lambat…