Memimpin Dengan Cinta: Belajar dari Rumi, 8 Abad Setelah Kelahirannya
Haidar Bagir
(Dewan Pembina Nuralwala)
Begitulah dalam Matsnawi, Rumi mengisahkan percakapan antara Yusuf ’alaihis-salam dengan salah seorang sahabat masa kanak-kanaknya dahulu di negeri Kanaan. Saat itu, Yusuf telah menjadi tangan kanan Raja Mesir.
Yang digambarkan sang Maulana tak lain adalah apa yang sekarang banyak disebut orang tentang karakter yang mesti dimiliki setiap pemimpin: visioner. Dulu barangkali hanya para sufi seperti Rumi yang berbicara tentang visi (atau ru’yah, vision) seperti ini. Sekarang semua orang, para ahli bisnis dan pengusaha tak terkecuali, tak kurang-kurang berbicara tentang keniscayaan visi, keniscayaan kepemimpinan visioner. Tony Buzan, sang inspirator kenamaan, menunjuk visi sebagai kemampuan berfikir, merencanakan masa depan, dengan (menggunakan) imajinasi dan kebijaksanaan, seraya mengembangkan suatu gambaran dalam pikiran, seperti apa masa depan bisa dan akan tercipta. Visi hidup adalah tambatan, ke arahnya kita menuju. Ia juga cahaya pembimbing kehidupan. Kata Joel Barker, futurolog dan pengarang buku Paradigms, visi adalah “mimpi yang sedang beraksi”.
Ihwal khasiat visi dalam bisnis bacalah, tak usah Stephen Covey, apalagi Gay Hendrick dan Kate Ludman—para pengarang Corporate Mystics itu. Para ilmuwan bisnis pun tak pernah bimbang: pemimpin usaha yang sukses senantiasa memiliki pandangan ke depan, kehendak untuk maju dan bergerak mencapai impian. Sebagian besar kegagalan bisnis, kata mereka, adalah kegagalan menetapkan visi. Para pebisnis ulung memiliki bakat untuk mengajak orang memiliki mimpi-mimpi besar. Mereka bisa berdiri di masa depan dan menggambar peta terinci tentang cara mencapainya. Lantas, di mana lokus visi? Bukan di pikiran, tak pula dalam intuisi. Bahkan para pemikir ireligius, para pelaku bisnis—apalagi para penulis self-help—terkemuka sepakat—hampir seperti kaum sufi—bahwa visi berakar dalam ruh (spirit), suatu ruang lega yang tak mungkin dikungkung dalam kerja otak yang sempit, melainkan terwadahi dalam hati yang tak berbatas. Yang dialami Yusuf, bukan mimpi orang yang tidur. Ia adalah bayangan benderang tentang apa yang akan terjadi. Di sini, seperti kata Rumi tentang para Nabi dan Wali, Yusuf adalah ”bayangan Tuhan”, Sang Pencipta:
Tapi, walayah tampil paling nyata dalam diri Sang Insan Kamil, Muhammad, sallal-Laahu ’alayhi wa alihi sallam. Dengan indah Rumi berkisah tentang tajalliy sempurna Tuhan ini:
“Ketika masih kecil, pernah Nabi hilang di padang pasir. Halimah, pengasuhnya tak dapat menahan rasa sedih. Sementara mengembara di tengah padang mencari si anak hilang, ia mendengar suara mengatakan: ”Jangan gundah. Tak akan kau kehilangan dia. Dunia seluruhnya akan hilang dalam dia.”
Inilah yang mendorong seorang ”murid” Rumi, Iqbal sang pujangga anak benua, menggubah syair-masyhurnya tentang kemitraan Tuhan-manusia:
Tapi, Rumi tak hanya berhenti pada suatu ”daya” yang ”kabur”, betapa pun ia adalah ruh. Dalam lanjutan kisah Yusuf itu, Sang Mawlana mengungkapkan prinsip cinta yang tak terpisahkan dari visi kenabian, dalam kata-kata sang Nabi pujaan Zulaikha:
Bagi Rumi, cinta adalah penggerak segalanya. Segala sesuatu di alam semesta, gerakan manusia menuju Tuhan, bahkan Tuhan kepada alam semesta—prinsip penciptaan sejak pertama kali—adalah cinta (’isyq atau hubb). Semuanya adalah pengasih, yang tak bisa lain kecuali mengejar kerinduan, menuju sang kekasih. Dan tak ada sesuatu, sebesar apa pun, yang dapat menghalangi sang asyik untuk mendekap kembali sang ma’syuk. Tak ada apa pun yang akan diam tenteram, sebelum sampai kepada kekasih. Inilah prinsip gerakan alam semesta, inilah prinsip gerakan di tengah kaum manusia, inilah gerakan manusia menuju Tuhan, bahkan gerakan Tuhan menuju manusia:
Kalau prinsip gerak adalah cinta, maka memimpin akan paling efisien (efisien, makna asalnya adalah penuh gerak) jika dilambari cinta. Menggerakkan orang tak lain adalah menanamkan dan menyemaikan cinta di antara orang-orang. Visi—secara sesungguhnya redundant, saya harus katakan: visi yang sejati—berada dalam jalur ke arah mana cinta menuju. Tanpa cinta orang-orang bergerak melawan sebuah arus dahsyat yang tak terkalahkan. Dengan cinta mereka bagaikan aliran air yang mengalir deras menuju lautan. Sebuah kedahsyatan tak terbendung.
Para pemimpin seperti ini membimbing manusia untuk dapat melihat potensi dirinya. Ia, seperti kata Covey, mengomunikasikan kepada orang-orang nilai dan potensi mereka dengan sedemikian gamblangnya, sehingga mereka dapat melihatnya sendiri. Kata Albert Schweitzer: ’’Dalam hidup setiap orang, suatu waktu, api-batin kita menyulut keluar. Ia lantas menyembur menjadi nyala oleh pertemuan dengan manusia lain. Semua kita musti bersyukur kepada orang-orang yang menyalakan kembali spirit-batin kita.’’
Penaka Tuhan, kata Rumi, manusia seperti ini menggerakkan alam semesta:
”Kami telah tempatkan suatu watak khas dalam setiap pemilik kemampuan, dalam setiap pengrajin dan tukang trampil, apakah itu pandai-emas, pembuat permata, ahli sulap, alkemis; dan dalam setiap pedagang, pokrol, dan ilmuwan—sehingga dia akan terus menggelembung dan menunjukkan keterampilannya.”
”Sang Raja membisikkan kata-kata-tersembunyi ke telinga segala sesuatu—kepada ruh mereka masing-masing.”
”Dia membisikkan kata-kata yang manis dan menghanyutkan kepada mawar dan membuatnya tertawa. Dia menyampaikan makna-tersembunyi kepada awan dan membasahkan matanya.”
”Dia berkata kepada sang mawar: ”Perayaan adalah yang terbaik!.” Dia sabdakan kepada si awan: ”Menangis adalah yang terbaik!” …
Dia berkata kepada cabang pohon: ”Menarilah!”, kepada dedaunan: ”Bertepuklah!”, kepada lelangit: ”Berputarlah mengelilingi mansiun-mansiun bumi!”
Ya. Manusia-manusia seperti Yusuf, para Nabi, adalah preseden para Wali. Para pemimpin. Karena para wali ini sesungguhnya menjalankan fungí kenabian sehabis rangkaian utusan Allah ini disegel oleh kemunculan Muhammad saw. Merekalah para pemimpin sejati. Ketika yang lain membawa kepada kematian ruh, mereka membawa kita ke mata air kehidupan. Mata air yang sama, yang memberi kita kehidupan pada awalnya:
(Tulisan ini telah dimuat di Majalah Madina No. 1, Tahun 1, Januari 2008)
(Nuralwala/DA)