Menembus Batas Realitas

Di sela kesibukan kerja yang hampir dirasa tiada pernah habis, saya memikirkan kembali pertanyaan yang bergelayut di dalam pikiran selama ini. Barangkali pertanyaan yang mengganggu dan menghabiskan banyak waktu para Filsuf di masa sangat lampau hingga manusia di abad menghadapai postmodernisme ini.

Di abad di mana begitu banyak berserakan informasi dan ilmu di internet yang bisa diakses di mana saja dan kapan saja. Namun tidak jarang, kita seringkali terdistraksi, sehingga menghabiskan waktu, tenaga, biaya, bahkan perhatian pribadi kepada hal-hal yang sifatnya tidak esensial.

Hal itu bukan tanpa sebab, karena memang kita yang kurang mawas diri dan berkontemplasi menghadapi kelimpahan informasi, naasnya di tengah era disrupsi seperti saat ini. Sehingga pula sering moralitas kita diuji di depan kekayaan, reputasi, dan pangkat jabatan. Kita sengaja dibuat untuk terpisahkan (dikotomi) dari apa yang memang manusia itu butuhkan, kini yang terjadi justru berjuta tawaran dan permintaan untuk memenuhi keinginan-keinginan yang tak terhabiskan.

Di zaman ini, uang menciptakan hampir semua hal, dari mengobrak-abrik moral sehingga tidak lagi diketahui mana yang seharusnya dilakukan dan yang tidak, menciptakan budaya persaingan yang tidak sehat, tikung-menikung sudah biasa, berbohong tanpa alasan yang jelas ada di mana saja, dan bahkan akhirnya aksi ketidakpedulian ada sejak di dalam diri pribadi dan berseliweran di luar diri. Sehari-hari pemandangan demikian tersaksikan bersama. Membawa pada alienasi yang diidap oleh masyarakat modern pada dirinya sendiri oleh sistem politik, sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya.

Jatuhnya badan moralitas kita yang agung dan kembali nihilnya aplikasi norma di dalam hidup sehari-hari, kemudian menciptakan kegelisahan, insekuritas dan kegagapan jiwa manusia menghadapi realitas fakta yang dihadapinya; sebab moral di jiwa itu telah lama hilang. Fenomena kemudian yang nampak justru lawan dari moral, kita biasa dalam hidup mengerjakan tindakan-tindakan melawan moralitas yang diyakini. Seperti berbohong, mencuri atau korupsi, menggibah, bercerita sombong pada jiwa kita sendiri dan kepada orang lain, dan di satu sisi kita yang berusaha memasukkan nilai-nilai moral itu di dalam dada namun pada sisi yang lain realitas dengan keras di depan mata menghalangi kita berbuat yang seharusnya. Demikian selanjutnya kita terambivalensi, masuk ke dalam perangkap sistem yang ada.

Pertanyaannya adalah apakah moralitas di dalam jiwa kita itu sebenarnya berasal dari ketiadaan atau berasal dari apa yang kita sebut sebagai ada itu sendiri? Menjadi kemudian pertanyaan ini akan membawa kita pada pertanyaan yang lebih mendasar di luar dari konteks moral yang disinggung tadi di awal, yaitu apakah ketiadaan itu benar-benar ada?

Siapa yang bisa menjamin bahwa apa yang kita katakan hari ini tiada namun sebenarnya bisa jadi benar-benar ada di suatu masa mendatang? Inilah pertanyaan mendasar setiap Filsuf dan orang-orang yang berpikir.

Saat menulis di paragraf awal tadi pun saya kembali mempertanyakan, apakah benar ada sesuatu yang bahkan sebetulnya di dunia eksternal saja tidak ada?

Memikirkan tentang realitas yang ada di sekitar akan membawa kita ke dalam kontemplasi yang lebih dalam. Perenungan yang mendalam didapat karena kita ingin memahami dan mencari hubungan fenomena-fenomena yang terjadi di alam dengan fenomena lain yang ada di dalam jiwa manusia itu sendiri.

Catatan kritis saya, dan ini mesti betul-betul disadari. Semua yang ada di alam eksistensi kita sekarang ini sebab adanya rasa keingintahuan yang besar dari setiap filsuf sehingga menginspirasi ilmuwan hingga menemukan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, bahkan seni yang begitu luas. Bersyukur kita kepada mereka yang berusaha.

Para filsuf itu berangkat dari yang namanya perenungan dan proses kerja pemikiran yang mendalam, sejak pada masanya hingga melahirkan apa yang disebut sebagai teori.

Teori itu awalnya hanya sekadar kerangka konseptual, bangunan abstrak yang ada di pikiran tapi saat ditemukan objeknya di dunia nyata maka baru disebut “ada”. Kata “ada” menurut kebiasaan ditujukan kepada apa yang bisa kita pikirkan, dan apa yang nampak secara empiris saja.

Baca Juga:  Makna Esensial Hijrah

Hal-hal yang tidak ada (yang tidak bisa diinderawi terutama) atau ketiadaan itu sendiri tidak mungkin kita pikirkan. Filsafat ini banyak dianut para Filsuf sejak Parmenides, Bertrand Russel, kemudian berlanjut hingga seorang filsuf bernama W.F.O. Quine.

Mereka adalah para filsuf yang mengilhami para pengikutnya untuk hanya percaya kepada apa yang ada saja tapi menolak mempercayai hal-hal yang abstrak dan tiada bentuk konkretnya di dunia nyata.

Namun, kemudian datanglah seorang Filsuf asal Austria bernama Alexius Meinong yang mencoba merumuskan hal-hal yang ada disebut sebagai eksistensi, mungkin ada atau setengah ada dikelompokkan sebagai subsistensi, dan hal-hal yang bahkan sebenarnya tidak ada, ia istilahkan sebagai absistensi.

Meinong membagi keberadaan dan ketiadaan yang sebenarnya bisa saja ada dan membuka ruang ontologis bagi pemikiran yang lebih berkeadilan dan luas dibanding filsuf pada umumnya.

Sejalan dengan teori objek Meinong di atas, seharusnya apa yang kita sebut “teori” sebagai entitas yang berawal dari ranah konseptual mestinya mengakomodasi apa yang disebut dengan “ada”. Sebab, hal-hal yang ada di dunia realitas adalah sejak awal karena hasil dari kerja realitas akal yang abstrak, yang kemudian melahirkan teori.

Meinong sebelum kedatangannya dengan klasifikasi yang ia buat mengenai filsafat ada dan ketiadaan. Jauh sejak abad-abad lampau, telah ada istilah yang sama dari para pemikir Muslim yaitu dengan istilah mumkin wujud (eksistensi dan subsistensi). Eksistensi merupakan apa-apa yang ada di dunia nyata sehari-hari seperti misalnya kursi, meja, pensil, dan sebagainya secara konkret.

Subsistensi adalah ranah yang setengah ada, atau hal abstrak yang ada hanya di pikiran namun tak ada bentuk konkretnya, contoh rumus-rumus atau angka-angka matematika yang hanya ada di ruang konseptual kita tapi tidak ada di dunia nyata. Sepuluh jari tangan kita, tidak memiliki hubungan langsung dengan angka sepuluh yang kita ciptakan di dalam pikiran.

Mustahil wujud (absistensi) yaitu apa-apa saja yang mustahil ada, misal pensil yang kedua sisinya tidak memiliki pangkal ujungnya, atau segitiga berbentuk bulat, atau piramid berbentuk bola, dan lain-lain.

Namun, ada satu eksistensi yang berbeda dari jenis teori objek yang disebut Meinong  yaitu Niscaya wujud. Niscaya wujud diandaikan adalah entitas yang menjadi sebab bagi segala akibat di alam ini.

Dalam klasifikasi Meinong tadi, Niscaya wujud tidak bisa diletakkan di level eksistensi, subsistensi, dan atau apalagi absistensi. Itu karena Niscaya wujud meliputi ketiga klasifikasi yang dibuat Meinong.

Seperti jika kita andaikan pada segelas teh manis; air sebagai eksistensi, teh sebagai subsistensi, dan gula diwakili sebagai absistensi. Jika tanpa air, teh dan gula tidak bisa larut, jika tanpa teh maka air dan gula tidak bisa menjadi berwarna sebagaimana teh manis yang kita kenal, kemudian jika tanpa gula maka tiada pernah ada rasa manis. Niscaya wujud tercampur hingga tiada bisa dibedakan lagi dan tiada tempat ia tak hadir di dalamnya.

Konsep Meinong ini sebenarnya sudah dipikirkan jauh lebih awal oleh para filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Suhrawardi, Mulla Sadra, dan pemikir Muslim lainnya.

Apakah ada yang disebut ketiadaan dan ada itu sendiri? Apa bukti bahwa ada sesuatu di luar eksistensi? Jawabannya ialah, visi.

Visi artinya gambaran masa depan atau bahkan hal-hal abstrak yang tidak (belum saatnya) ada bentuknya secara konkret. Visi merupakan contoh nyata bahwa Mumkin wujud itu ada meski dia di awal masih setengah ada atau hanya ada di dalam pikiran (akan ada).

Orang zaman dahulu (yang tidak memiliki visi) mengatakan bahwa tidak akan pernah mungkin ada besi yang bisa terbang. Tapi di masa modern sekarang, ada pesawat sebagai eksistensinya yang berhasil menjadi wujud konkretnya.

Baca Juga:  Legislasi Hukum Islam: Ushul Fiqh Sebagai Metodenya (2)

Dulu, orang yang tidak memiliki visi mengatakan bahwa mustahil ada orang bisa berbicara kepada orang lain yang berjarak ribuan mil tanpa harus satu-satunya mesti mengunjungi langsung kerabatnya yang jauh. Tapi, sekarang berkat jasa dan integritas manusia yang mempunyai visi seperti misalnya Alexander Graham Bell, untuk menyebut salah satu dari banyak manusia visioner sebagai contoh, sehingga mampu menciptakan eksistensi. Salah satu manusia visioner yang berhasil meng-eksistensi-kan (menemukan) telepon, sehingga menciptakan eksistensi yang benar-benar baru.

Semua peradaban yang kita lihat dan nikmati sampai detik Anda membaca tulisan saya ini, itu berkat orang yang punya visi, yaitu mereka yang memiliki pemikiran dan level eksistensi yang jarang mau dimiliki oleh orang-orang pada umumnya, di mana mereka mempercayai dan memiliki harapan yang sangat kokoh terhadap sesuatu. Yaitu manusia yang memiliki daya pikir dan daya keyakinan amat kuat kepada apa yang tak harus dilihat oleh mata kasar saja. Mereka melihat masa depan dengan seluruh daya akal, hati, indra, dan semua yang mungkin bahkan kepada hal-hal yang dianggap mustahil.

Orang yang barangkali berteori tertentu kemudian dianggap absurd atau bahkan dianggap gila, tapi suatu waktu bisa jadi di masa depan, teori orang yang kita anggap gila tadi akan menjadi eksistensi atau menjadi fakta-kenyataan.

Kemudian kita akan membahas niscaya wujud yang dimaksud seperti yang disinggung di awal. Sebelum itu, biasanya akan datang sanggahan dengan berkata mana mungkin setiap eksistensi membutuhkan sebab? Sedangkan menurut akal dan kaidah rasional, pengecualian tidak diperbolehkan. Mana mungkin niscaya wujud itu eksis tanpa ada penyebabnya sehingga ia dianggap “ada”! Sehingga ini jelas bahwa eksistensi niscaya wujud itu menjadi mustahil ada.

Kaidah kausalitas yang benar bukanlah “setiap eksistensi membutuhkan sebab”. Definisi yang benar mengenai kausalitas adalah “setiap akibat membutuhkan sebab”.

Karena pasti ada sesuatu yang tiada sebab, sehingga menyebabkan akibat-akibat yang beruntun di alam ini. Sejak seperti fenomena yang terjadi dan bekerja di tubuh kita; di mana jantung memompa darah, kemudian dialiri ke seluruh tubuh, syaraf manusia yang menerima kode-kode perintah tertentu dari otak sehingga diterjemahkan menjadi gerakan. Otak mengekspresikan pendapat tertentu yang dikirim ke syaraf-syaraf diafragma hingga ke tenggorokan, ada refleks tubuh menarik udara, otot-otot berkontraksi berirama dengan udara yang dihirup tadi kemudian diubah menjadi suara yang mengeluarkan huruf-huruf, kalimat-kalimat dan hingga opini tertentu tiap kita berbicara.

Contoh rentetan proses tersebut di atas sebagai akibat-akibat karena adanya sebab yang mempengaruhi sehingga menciptakan dua atau lebih hal-hal yang saling berhubungan dan tidak mungkin berdiri sendiri.

Kegiatan-kegiatan pikir, kehendak, bahkan ilmu yang dihasilkan oleh tiap manusia itu adalah akibat. Fenomena kegiatan-kegiatan psikologis kita itu karena adanya aktivitas jiwa. Jiwa sebagai sebab. Tanpa ada jiwa maka tidak akan ada kegiatan berpikir, ilmu, dan atau peradaban yang bahkan telah kita ciptakan hingga saat ini. Kegiatan berpikir bergantung kepada jiwa, ketiadaan jiwa sebagai sebab maka secara otomatis akan membuat akibat-akibat (berpikir, berkehendak, dan sebagainya) akan tiada.

Analogi level ketiadaan dan keberadaan sama seperti cinta. Orang-orang yang tiada punya perasaan suka atau bahkan memutuskan untuk membenci sesuatu atau seseorang maka dikhawatirkan suatu saat dia akan mencintai apa yang dia tolak pada awalnya. Itu sebab karena ada dua fenomena yang saling mengenal dan mempengaruhi satu sama lain. Dulunya tiada mempunyai cinta, kemudian menjadi “ada” pada akhirnya.

Dari ketiadaan, menjadi eksis. Dari tidak mempunyai dorongan faktor-faktor psikologis pada sesuatu atau seseorang menjadi memiliki perasaan atau hasrat dorongan tertentu di dalam selubung jiwa. Padahal perasaan yang awalnya tiada, akhirnya menjadi ada; suasana psikologis ini silih berganti muncul kemudian hilang, sebaliknya. Padahal realitas itu netral, kitalah yang bereaksi kepadanya.

Baca Juga:  Keutamaan Musyawarah dalam Perspektif Cak Nur

Seperti ajaran Stoa, sebuah mazhab yang menekankan bahwa yang menentukan eksistensi atau ketiadaan dari kebahagiaan atau kesengsaraan adalah pribadi seseorang itu sendiri. Sebab realitas yang ada di depan manusia tiada pernah bisa berelasi tanpa kita yang membiarkan masuk ke dalam jiwa. Dengan kata lain, manusia itu sendiri yang menentukannya.

Filsafat kaum Stoa ini menekankan bahwa hal-hal apa saja yang mengganggu tanpa alasan kepada diri sendiri yang berasal dari eksistensi, subsistensi, apalagi yang berasal dari absistensi sebuah objek yang dianggap ada, mesti diatur dan disegarkan kembali dengan upaya menghadirkan pikiran positif agar menetralkannya. Yaitu pikiran positif yang bermakna bahwa pikiran negatif tadi tidak sepenuhnya dihilangkan dari kerja-kerja akal. Karena sebenarnya tiap pikiran-pikiran negatif yang coba kita hilangkan atau tekan dalam diri sebenarnya tidak benar-benar hilang.

Kita hanya harus mengontrol dan memindahkan hal-hal negatif tadi dari realitas eksistensi, kemudian dipindahkan sementara di realitas subsistensi bahkan kita bisa memilih menggesernya ke ranah penyimpanan memori pikiran terjauh yaitu, ke realitas absistensi.

Kembali kepada tentang ada dan ketiadaan yang disinggung sejak awal, maka kita akan merumuskan kejelasannya. Jika ketiadaan itu ada, maka sebenarnya ketiadaan itu bukan tidak ada melainkan ia adalah keberadaan itu sendiri, yaitu sesuatu yang ada. Maka jika ketiadaan itu ada maka ketiadaan itu tidak ada, demikian asumsi pertama.

Kedua, jika ketiadaan itu tidak ada, maka ada hal yang tidak ada. Dan hal tersebut adalah ketiadaan. Artinya, hal-hal yang kita anggap tidak ada karena tidak wujud materinya di kehidupan nyata (eksternal), itu bergantung kepada kerja pikiran sebagai sebab.

Analogi lainnya adalah jika A adalah sebab (sebagai keberadaan) dan B adalah akibat dan sebagai ketiadaan (wilayah subsistensi dan absistensi). Maka kita melihat bahwa A adalah sebab bagi B. Jika A eksis maka B pun eksis (walaupun berbeda realitas bentuknya) dan sebaliknya jika A tidak berwujud maka B tidak pernah mewujud. B merupakan wujud penjelas dan bergantung kepada A.

Kita menyebut tidak ada karena sesuatu itu memang benar-benar belum ada di dunia eksternal. Bukan tidak ada. Sesuatu itu (yang belum ada tadi) agar diterima oleh masyarakat luas dan berlaku universal maka dituntut untuk mampu diwujudkan di dunia eksternal (seperti contoh penemuan telepon oleh Bell telah disinggung), setidaknya sesuatu itu disebut eksis ketika ia bisa dirasakan walaupun tidak bisa disentuh secara inderawi (ragawi).

Di sinilah pembenaran bahwa adanya pengetahuan hudhuri, yaitu pengetahuan yang hadir di dalam diri manusia tertentu yang walaupun tiada mampu tercakapkan namun bisa dirasakan dan sangat potensial pengetahuan hudhuri ini bisa dimiliki oleh manusia lain. Sebab demikian, sebenarnya ketiadaan itu berlevel, yaitu ada yang subsistensi dan bahkan bisa jadi ada yang berasal dari absistensi.

Dan siapa yang bisa menjamin bahwa hal yang dianggap mustahil di masa sekarang akan tetap mustahil juga di masa mendatang?

Padahal makhluk itu sebagai akibat mengalami perubahan seperti yang telah disinggung di tulisan saya yang lalu bahwa telah banyak teriakan para materialisme yang berucap “Yang tetap dan permanen adalah perubahan”, digemakan di sudut-sudut kota dan tertelan dalam perut intelektual penganutnya. Padahal ada yang kurang dipahami bahwa “Yang berubah tidak pernah permanen”.

Jika Aristoteles mengatakan bahwa argumen logis apapun dapat disingkat dalam dua premis (kalimat deklaratif) dan sebuah kesimpulan maka “setiap realitas yang mengalami perubahan, pernah tiada dan baru tercipta, bergantung kepada entitas selain dirinya sendiri, maka niscaya ia adalah akibat”. Ini berlaku juga dengan apa yang kita sebut sebagai ketiadaan atau apa-apa saja yang tidak ada atau belum ada.

Jika asumsi kita ditarik ke kalimat deklaratif yang kedua, yaitu “tiap akibat mesti membutuhkan sebab”. Maka setiap realitas itu membutuhkan Sebab Pertama Yang Esa.

0 Shares:
You May Also Like