Keutamaan Musyawarah dalam Perspektif Cak Nur

Kata musyawarah menjadi kosa kata penting dalam bernegara, karena para pendiri bangsa ketika merumuskan prinsip-prinsip dalam bernegara, mereka mempunyai kesadaran bahwa musyawarah memang tidak bisa dilepaskan dalam suatu kehidupan politik, yang dicirikan dengan upaya untuk mewujudkan keadilan sosial. Musyawarah begitu penting, sebagai usaha ataupun sarana untuk menjawab realitas dinamika sosial, ekonomi dan sebagainya. Sehingga keputusan yang menyangkut kehidupan masyarakat atau pun publik, tidak didasarkan pada kesewenang-wenangan, melainkan berdasarkan pilihan terbaik atau moderat dari berbagai argumentasi atau pun ide dari berbagai pihak.

Dalam asas kenegaraan di Indonesia, kata musyawarah termasuk ke dalam sila Pancasila, yakni sila ke-4. Dengan demikian, kata musyawarah menjadi kata yang penting, dan termasuk fundamen dalam dalil bernegara kita. Akan tetapi, musyawarah bukan hanya penting dalam bernegara saja, melainkan penting juga dari perspektif keagamaan, dan hal inilah yang berusaha ditunjukkan oleh Nurcholish Madjid atau yang biasa dipanggil Cak Nur.

Dalam buku Pintu-pintu Menuju Tuhan (1999), Cak Nur mengemukakan bahwa dalam sistem ajaran agama, prinsip musyawarah adalah salah satu asas kemasyarakatan yang sedemikian pentingnya, bahkan salah satu surat dalam Al-Qur’an disebut sebagai surat Syura (Musyawarah), sehingga dalam pandangan Cak Nur, hal itu menunjukkan  bahwa musyawarah merupakan salah satu tema pokok dan sentral ajaran Al-Qur’an.

Prinsip musyawarah sendiri tidaklah berdiri sendiri, ia terkait juga dengan prinsip-prinsip yang lain, yang dikukuhkan oleh Al-Qur’an dan hadis bahwa manusia adalah makhluk fitrah yang suci dan bersih. Karena kesucian awalnya tersebut, maka manusia adalah makhluk yang hanif, yang digambarkan secara alami memihak pada apa yang benar dan baik. Itulah sebabnya manusia akan merasa tentram pada kebenaran dan kebaikan. Dan ketika manusia memihak kepada kepalsuan dan kejahatan, yang artinya tidak sejalan dengan fitrahnya tersebut, manusia akan merasakan kegelisahan dan ketidaktentraman.

Baca Juga:  BAGAI DAUN-DAUN KERING DITERBANGKAN ANGIN DI MAKKAH DAN MADINAH (5)

Dalam pemahaman Cak Nur, karena manusia itu fithri dan hanif, maka dia selalu mempunyai potensi untuk benar dan baik, dan sebenarnya justru kebenaran dan kebaikan itulah potensi asali manusia. Hal inilah  yang menjadi dasar hak seseorang untuk didengar pendapatnya. Kemudian hak itu terefleksikan dalam adanya kewajiban orang lain untuk mendengar. “Didengar” dan “mendengar” adalah dasar mekanisme musyawarah dan perkataan Arab “musyawarah” memang mengandung makna mutuality, yakni hubungan timbal balik, dalam hal ini hubungan saling memberi isyarat tentang apa yang baik dan benar.

Hal yang juga ditegaskan oleh Cak Nur, yakni bahwa meskipun di satu sisi manusia adalah fithri dan hanif, dan dalam konteks ini dipahami dengan memiliki potensi untuk baik dan benar, akan tetapi di sisi yang lain, manusia pun bersifat lemah dan terbatas, yang juga ditegaskan oleh kitab suci. Hal inilah yang dapat ditafsirkan bahwa manusia tidak mungkin “pasti” dan “selamanya” benar. Ia hanya potensial baik dan benar, maka untuk membuat potensial baik dan benar itu menjadi aktual, kita perlu menyertakan orang lain, yang di antaranya adalah mau mendengarkan pendapat-pendapat dari orang lain, dan hal itu bisa dilakukan dengan mekanisme musyawarah.

Terlebih lagi, musyawarah diperlukan dalam perkara yang menyangkut kepentingan orang banyak atau masyarakat. Maka Cak Nur pun mengutip adagium dalam Islam, ra’s al-hikmah al-masyurah, yang artinya “pangkal kebijaksanaan adalah musyawarah”, dan hal ini jelas berkesesuaian dengan rumusan Pancasila. 

Dalam hemat saya, pandangan Cak Nur tersebut, merupakan upaya Cak Nur untuk membuat titik temu antara semangat keislaman dan keindonesiaan. Hal itu, tentu saja berkaitan dengan upaya Cak Nur dalam menafsirkan ajaran Islam agar sesuai dengan rumusan-rumusan yang sudah menjadi konsensus dalam kehidupan bernegara, dalam hal ini Pancasila. Malahan, dapat juga dikatakan, bukan hanya keislaman dan keindonesiaan, juga kemodernan. Mengapa? Pandangan di atas yang mengharuskan adanya sikap yang terbuka, adanya hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak asasi, demokrasi dan semacamnya, yang merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai kemodernan.

Baca Juga:  Anak Abnormal: Rasionalitas & Keimanan

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Syirik

Oleh: Faqry Fakhry Muhib di Jalan Menuju Mahbub “Allah mengampuni semua dosa kecuali syirik” (QS. an-Nisa [4]: 48),…