Gerakan Averroisme di Barat

Sekitar enam tahun yang lalu, tepatnya tahun 2014, Mizan Pustaka menerbitkan buku berjudul, Dunia Tanpa Islam, terjemahan dari A World Without Islam karya Graham E. Fuller. Dalam buku itu hampir sebagian besar, Fuller menarasikan pembelaannya atas tuduhan bahwa Islam sebagai biang kerok dari kelahiran terorisme di dunia.

Mantan wakil ketua Badan Sentral Intelijen atau CAI Amerika serikat ini menyatakan kalau bukan karena Islam, niscaya dunia (Eropa-Amerika Serikat) ini miskin peradaban, kebudayaan, dan intelektual. Bahkan, jika Islam tidak ada pun, Barat akan tetap berada dalam konflik dan perang khususnya perang antara Gereja Barat dan Timur. Barat tidak boleh membebankan semua dosa konflik antara Barat dan Timur yang dilakukannya hanya kepada Islam sebagai benturan peradaban.

Secara tak sengaja mungkin Fuller hendak mengatakan pada masyarakat dunia bahwa seharusnya dunia Barat Eropa-Amerika berterima kasih kepada dunia Islam dalam sebagai aspek, termasuk dalam ilmu pengetahuan yang saat ini menjadi kiblatnya. Dengan demikian, apa jadinya ilmu pengetahuan dunia Barat tanpa saintis Muslim, sebut saja misalnya tanpa Ibnu Rusyd. Di kalangan intelektual Barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Averroes dan tokoh intelektual Muslim pembawa rasionalitas di tengah cengkeraman hegemoni Gereja.

Di dunia Islam, Ibnu Rusyd dikenal sebagai intelektual, ulama fikih, filsuf dan saintis, serta dikenal sebagai intelektual pembela filsafat dengan karyanya, Tahafut al-Tahafut: Kerancuan Kitab Tahafut, setelah serangan al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah: Kerancuan Para Filsuf. Ilmu pengetahuan modern di dunia Barat, banyak dipengaruh pemikiran Ibnu Rusyd dan dianggap lebih besar daripada pengaruhnya di dunia Islam.

Dan, hampir semua karya-karya Ibnu Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, sekitar pada abad ke-14 masehi. Bahkan, dalam beberapa literatur menyebutkan Pangeran Fraderik II sampai turun tangan sendiri dan memberikan fasilitas khusus untuk menerjemah karya-karya Ibnu Rusyd yang berpusat di kota Toledo dan Palermo. Roger Bacon sampai memerintahkan agar intelektual Barat belajar bahasa Arab untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih autentik.

Baca Juga:  Kapan Kau Merdeka?

Kita simak pengakuan Briffault tentang Roger Bacon “Roger Bacon belajar bahasa Arab dan sains Arab. Roger Bacon yang dianggap penemu metode eksperimen, maupun nama-nama lain yang kemudian dikenal sebagai penemu metode eksperimental sebetulnya tak pantas menyandang sebutan itu. Roger Bacon tak lebih dari ratusan sains dan ilmuan Muslim pada Eropa Kristen”.

Puncak pengaruh Ibnu Ruysd di dunia Barat terjadi sejak sekitar abad ke-14 masehi yang dimulai dengan gerakan averroisme. Gerakan averroisme ini dilakukan oleh para kaum intelektual dan penyair melalui pamflet. Seorang penyair dari kelompok Louis Bavaria German bernama John Landun sekaligus pengikut gerakan averroisme sangat gencar menyuarakan pemikiran rasionalitas Ibnu Rusyd. Melalui pamfletnya John Landun mengumumkan bahwa gerakan averroisme merupakan gerakan paling perfect and most glourius physicist sepanjang sejarah gerakan inteletuaklisme ilmu pengetahuan.

Selain kuatnya pengaruh gerakan averroisme di kalangan intelektual dan pemikir Barat. Gerakan averroisme juga sangat kuat di lingkungan akademisi perguruan tinggi Padua, khususnya pada aliran keilmuan scholastic sebelah Utara di Semananjung utara kota Italia, di mana tempat ini merupakan bentang perkembangan ilmu pengetahuan selama tiga abad lamanya. Bahkan intelektual Barat bernama Duns Scots sampai menganggap gerakan averroisme sebagai guru intelektual yang tiada terhingga dalam bidang ilmu pengetahuan. Tak hanya itu, Ernest Barker dalam tulisannya, The Legacy of Islam menyatakan suka maupun tidak suka, adalah maha gurunya ilmu pengetahuan Barat modern, Ibnu Rusyd telah menembus sekat-sekat ilmu pengetahuan sampai ke Universitas Paris

Bagi sebagian besar intelektual Barat, gerakan averroisme ibarat lilin di tengah gelap gulitanya ruangan, ibarat sebuah roti di tengah kelaparan, ibarat setetes air di tengah gurun sahara. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd disamakan dengan para pemikiran seperti Aristoteles dan Ibnu Sina atau Avicenna. Maka tak mengherankan jika Philip K. Hitti mengatakan bahwa adanya gerakan averroisme mengakibatkan masyarakat Barat Eropa dan sebagian umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok. Kelompok yang menolak gerakan averroisme seperti, tokoh-tokoh Yahudi beraliran tradisional, tokoh-tokoh gereja, dan para ulama Muslim beraliran Jabariyah.

Baca Juga:  Stop Tajassus! Belajar dari Kisah Anjing dan Kucing

Kelompok berikutnya adalah kelompok yang sangat mendukung adanya gerakan averroisme seperti, Siger van Brabant yang menyatakan setiap manusia memiliki kebebasan untuk menggunakan akalnya. Kelompok selanjutnya, datang dari kelompok moderat yang dipelopori oleh para filsuf seperti Thomas Aquimas yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan bersifat indrawi, dan ilmu pengetahuan bisa didapat dengan alat-alat inderawi.

Dengan demikian, pada dasarnya gerakan ilmu pengetahuan berupa gerakan averroisme ini secara tidak langsung membawa gerakan ganda dalam tubuh bangsa Eropa yaitu, kebenaran yang dibawa oleh agama melalui pemikiran Ibnu Rusyd dan kebenaran yang dibawa oleh rasionalitas filsafat dari pemikiran Ibnu Rusyd pula. Namun, dalam konteks Barat agak berbeda dengan dunia Timur Islam. Dunia Barat mengambil rasionalitas filsafat Ibnu Rusyd dan membuang agama, hingga pada akhirnya berujung pada sekularisme murni. Sementara dalam dunia pemikiran Ibnu Rusyd diambil keduanya sehingga melahirkan keselarasan antara agama dan filsafat atau antara wahyu dan akal.

Kenyataan inilah yang menyebabkan peradaban ilmu pengetahaun Barat modern tak bisa lepas dari peran saintis pemikir Muslim. Para intelektual Barat modern menimba ilmu pengetahuan dari para pemikir Muslim, kemudian memberi sentuhan sendiri. Gustave Lebon sangat gamblang mengakui akan hal ini, katanya, para pemikir Muslim merupakan kiblat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan beradaban Barat selam kurang lebih enam abad lamanya, mulai dari logika, hingga bentuk toleransi terharap ras, suku dan kaum minoritas.

Desmond Stewart dalam karyanya, Early Islam menyatakan manusia modern sangat tergantung pada obat-obatan, kemahiran dokter, hitungan komputer, dan ramalan-ramalan perencanaan ekonomi lebih banyak berhutang kepada para intelektual Islam abad pertengahan melebihi yang selama ini disangka. Para ahli kimia, dokter-dokter, ahli ilmu bintang, ahli metematika, ahli ilmu bumi, dan ahli Muslim lainnya antara abad ke-9 dan ke-14, bukan saja menghidupkan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan Yunani, melainkan memperluas jangkaunnya, meletakkan dan memperkuat dasar-dasar tempat tumpuan bagi terbitnya ilmu pengetahuan modern.

Baca Juga:  Ateis yang Tulus Bukanlah Ateis

Realitas lain yang sebenarnya menunjukkan bahwa sejak abad pertengahan, apa yang kita kemudian disebut sebagai abad-abad kegelapan atau dark age sebenarnya salah satu di antara masa yang paling terang bagi dunia Islam, dan masa paling kegelap dalam sejarah kemanusiaan dan ilmu pengetahuan Barat.

Pada akhirnya, mengandaikan ilmu pengetahuan Barat modern tanpa pertemuan dengan perabadan ilum pengetahuan Muslim, terutama adanya gerakan averroisme begitu tampak dalam kegelapan. Akan tetapi, sebuah keniscayaan bila ilmu pengetahuan Barat modern tak akan bertemu dengan peradaban ilmu pengetahun Muslim, karena hal tersebut merupakan dialektika peradaban.

0 Shares:
You May Also Like