Adalah fakta bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad muncul dan berkembang di Timur Tengah. Para Nabi yang kita kenal melalui Al-Qur’an juga rata-rata lahir dan tumbuh di sana. Bahkan Mesir dikenal sebagai negerinya para Nabi. Tuhan menyampaikan firman-Nya (Al-Qur’an) pada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab untuk menyelesaikan beragam persoalan yang saat itu dihadapinya dalam lingkungan masyarakat Arab.
Di kampung-kampung atau di pondok pesantren, orang-orang belajar agama dari kitab-kitab yang berbahasa Arab karya ulama-ulama yang juga adalah orang-orang Timur Tengah atau minimal pernah belajar ke Timur Tengah. Maka, tak heran bila Timur Tengah menjadi semacam menara tinggi (mercusuar) yang menjadi acuan umat Muslim dalam beragama. Sudah barang tentu segala hal yang berbau Timur Tengah memiliki pengaruh yang cukup kuat bagi model keberagamaan Muslim di seluruh dunia. Tak terkecuali di Indonesia.
Meskipun Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Islam bukanlah agama asli bangsa ini. Dalam sejarah, kita akan tahu bahwa dulunya kepercayaan nenek moyang bangsa ini adalah animisme dan dinamisme. Lalu, kemudian baru muncul agama-agama seperti Budha dan Hindu yang kemudian mencapai puncak kejayaannya masing-masing dalam kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit.
Islam mulanya dibawa ke tanah Nusantara ini oleh para pedagang yang berasal dari Timur Tengah. Proses interaksi itu kemudian berlanjut menjadi hubungan yang lebih dekat seperti perkawinan. Seiring hubungan yang makin akrab itu, datanglah para ulama-ulama Timur Tengah menginjakkan kaki di bumi Nusantara membawa misi dakwah Islam yang penuh ramah dan cinta kasih. Cara-cara penyebaran Islam yang demikian halus dan arif membuat ajaran Islam mudah diterima masyarakat setempat dengan senang hati, tanpa paksaan. Dari sinilah Islam sedikit demi sedikit mulai menancapkan pengaruhnya di wilayah Nusantara yang kemudian hari akan menjadi Indonesia.
Dari uraian di atas, kita dapat melihat betapa pengaruh Timur Tengah menjadi sangat sentral bagi perkembangan Islam di Nusantara. Pengaruh tersebut terus bertahan bahkan hingga sekarang. Namun demikian, kita juga mesti menyadari bahwa corak Islam di Timur Tengah juga tidak seragam, mulai dari yang paling lembut, moderat hingga corak keislaman yang paling keras dan kaku seperti yang tampil dalam pemahaman Khawarij di masa awal sejarah Islam.
Corak keberagamaan (Muslim) yang ada tak bisa dilepaskan dari proses politik dan sosial yang terjadi di Timur Tengah. Kemunculan Khawarij yang berkarakter keras misalnya, lahir dari kekecewaan terhadap pergolakan politik antara Muawiyah dengan Ali bin Abi Talib ra. Khawarij kemudian tumbuh menjadi kelompok yang sangat radikal. Puncaknya, perencanaan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh besar saat itu yang di antaranya adalah Ali dan Muawiyah. Maka, terbunuhlah Ali bin Abi Talib ditikam dengan pedang beracun oleh seorang bernama Abdurrahman bin Muljam di tepi Kakbah waktu subuh bulan Ramadan tahun 40 H. Kenyataan bahwa sang pembunuh itu merupakan Muslim taat yang hafal Al-Qur’an semakin menambah miris kejadian dini hari itu.
Pembunuhan Sayidina Ali itu tidak ditujukan oleh Khawarij untuk memusuhi Islam, melainkan lahir dari anggapan mereka bahwa Sayidina Ali sudah tidak lagi Islam alias kafir. Bagi kelompok Khawarij, merekalah satu-satunya kelompok yang menjalankan Islam secara benar. Paradigma takfir dan pola beragama yang keras dan brutal merupakan ciri dari kelompok yang satu ini. Ciri inilah yang benar-benar harus kita waspadai sebab meskipun di zaman modern kita tak lagi menemukan suatu kelompok yang mengaku sebagai Khawarij, akan tetapi pola beragama yang mirip Khawarij masih eksis.
Dalam buku Arus Baru Islam Radikal, M. Imdadun Rahmat menggambarkan bagaimana situasi politik dan sosial di Timur Tengah yang tidak stabil sangat memengaruhi kemunculan kembali kelompok-kelompok Islam Radikal seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan gerakan Dakwah Salafi-Wahabi. Meskipun kelompok-kelompok ini berbeda-beda dalam pola gerakan dan pemikiran, namun mereka disatukan oleh beberapa ciri utama yakni keinginan yang kuat untuk mengembalikan kejayaan Islam, berparadigma takfir, dan sikap kebergamaan yang keras, intoleran, ekslusif dan kaku.
Semenjak kekalahan kehilafahan Islam (Turki Utsmani) dalam perang dunia, wilayah kekuasaan Islam di timur tengah dibagi-bagi menjadi banyak negara bangsa yang menjalankan pemerintahan dengan sistem Barat. Di sinilah kemudian muncul persoalan identitas dan autentisitas bangsa Arab. Sistem Barat itu dianggap sebagai sistem yang bukan ‘sistem kita’, melainkan sistem yang dipaksakan dan terbukti gagal memajukan masyarakat Muslim di Timur Tengah. Maka muncullah tokoh-tokoh pembaharu seperti Sayid Qutb, Hasan al-Banna, Taqiyudin an-Nabhani serta tokoh-tokoh Wahabi yang membawa pemikiran yang dikenal dengan Revivalisme Islam. Sebuah gerakan untuk memurnikan ajaran Islam serta menegakkan kembali kejayaan khilafah Islam di masa lampau.
Revivalisme Islam meyakini bahwa Islam adalah sistem yang menyeluruh. Ia mengatur segala urusan manusia dari bangun tidur hingga tidur lagi; dari persoalan sosial, moral, ekonomi hingga politik. Kenyataan bahwa sekarang dunia Arab (timur tengah) sudah berpecah-pecah menjadi negara bangsa yang menganut sistem politik dan ekonomi ala Barat yang jelas-jelas bukan sistem Islami telah menumbuhkan kesadaran baru bahwa ‘ada yang salah dengan kita’. inilah yang kemudian memunculkan gerakan-gerakan Islam berhaluan keras untuk mengubah keadaan yang melenceng ini kembali seperti semula.
Lalu, apa pengaruhnya gejolak keagamaan dan politik di timur tengah itu bagi kita yang ada di Indonesia? Jelas sangat berpengaruh. Bagaimanapun, Timur Tengah masihlah merupakan mercusuar yang ke sana kita berkiblat dalam memahami Islam. Oleh karenanya, pergolakan apapun yang terjadi di sana tentu sedikit banyak memengaruhi kita (Muslim) yang non-Arab.
Kemunculan beberapa kelompok Islam garis keras di tanah air misalnya, sebagaimana yang diungkapkan Imdadun Rahmat dalam Arus Baru Islam Radikal, disinyalir memiliki keterkaitan dengan berbagai gerakan kelompok Islam radikal yang ada di Timur Tengah. Persentuhan pelajar Indonesia dengan pemikiran-pemikiran dan gerakan Islam radikal di Timur Tengah sangat memengaruhi pola pemikiran para pelajar tersebut, sehingga ketika pulang ke tanah air, pemahaman-pemahaman itulah yang mereka sebarkan. Melalui mereka, mulailah menggeliat paradigma beragama yang cenderung keras di Indonesia.
Bermunculanlah pengajian-pengajian yang isinya dipenuhi ajakan pada kekerasan yang bertameng di balik kata-kata Amar ma’ruf nahi munkar. Kehadiran kelompok garis keras ini semakin meresahkan sebab sikap intoleran dan permusuhan mereka terhadap kelompok atau agama yang berbeda. Mereka akan bersorak sorai gembira saat sedang merendahkan agama atau kelompok lain, namun akan sangat marah bila orang menyinggung keyakinannya apalagi kelompoknya. Mereka juga sangat anti pemerintah, bahkan melaknat sistem yang ada disusul dengan keinginan kuat untuk mendirikan khilafah Islam di bumi Nusantara ini.
Gaya beragama yang serba keras ini jelas tidak sesuai diterapkan di Indonesia atau bahkan di manapun. Sebab hal itu hanya akan menimbulkan permusuhan dan kebencian di tengah masyarakat yang majemuk. Indonesia jelas merupakan bangsa yang memiliki sejarah panjang dalam urusan mengatasi perbedaan. Hal itu dapat kita lihat dalam sikap para founding fathers kita yang terdiri dari berbagai latar belakang yang berbeda mulai dari tokoh nasionalis hingga alim ulama; mulai dari yang berpaham sangat kanan hingga yang kekiri-kirian. Ujung dari pergumulan panjang mereka dalam menentukan landasan negara ini bermuara pada lahirnya Pancasila. Lima dasar yang merangkul semua pihak dari semua agama, ideologi, suku dan ras ke dalam suatu bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Indonesia adalah darul ahd/darul mitsaq yakni negara yang dibangun berdasarkan perjanjian dan kesepakatan bersama (konsensus) semua pihak dari berbagai elemen yang berbeda. Hijrahnya paham-paham radikal hasil pergolakan politik di Timur Tengah ke Indonesia tentu akan menjadi masalah. Pertama, Indonesia memiliki sejarah dan pergolakannya sendiri yang jelas-jelas berbeda dari pergolakan politik di Timur Tengah. Kedua, pemahaman radikal yang menghendaki perubahan mendasar bagi Indonesia berupa keinginan untuk mensyariahkan seluruh tatanan bernegara jelas merupakan bentuk ingkar janji terhadap komitmen awal untuk bersatu di bawah naungan NKRI. Ketiga, corak beragama yang keras dan sepenuhnya law oriented (berorientasi hukum) bukanlah khas Islam yang berkembang di Nusantara di masa awal. Jika kita menyimak sejarah mengenai Wali Songo, kita akan melihat betapa Islam telah disebarkan di Nusantara ini dengan cara yang arif dan bijaksana ala sufi tanpa kekerasan baik dalam pikiran maupun tindakan.
Mengacu pada Timur Tengah dalam memahami Islam tentu bukanlah persoalan, bahkan dianjurkan. Akan tetapi, kesadaran bahwa ada beragam corak beragama yang berkembang di sana juga tak boleh diabaikan. Hal yang mesti kita lakukan sebagaimana kaidah adalah mengambil yang baik dan meninggalkan yang buruk. Mengingat sejarah panjang perkembangan Islam di Nusantara hingga sejarah kemerdekaan Indonesia, tampaknya kehadiran paham-paham radikal yang membawa corak beragama yang keras, kaku dan brutal menjadi tidak relevan, sehingga perlu diwaspadai dan dihindari demi keutuhan dan persatuan bangsa ini.