Alam & Autokritik untuk Kita

Thaharah, sebuah kata yang sangat umum di kalangan umat Islam. Secara bahasa bermakna bersuci. Demikian diterjemahkan oleh masyaikh saya, senior saya ketika belajar agama di Ma’had Darul Qur’an wal Hadits (MDQH) NW Pancor—sebuah institusi pendidikan yang didirikan oleh pendiri Nahdlatul Wathan yang fokus pada kajian Islam periode klasik. Kata thaharah biasanya ditemukan di awal-awal kitab fikih. Alasan yang sangat biasa saya dengar akan penempatan di awal ini adalah karena bersuci merupakan hal yang utama dilakukan sebelum menghadapkan diri kepada pemilik alam. Tak hanya ada dalam narasi fikih, seruan bersuci juga ada di terminologi tasawauf. Bagi tasawuf, bersuci tidak boleh hanya sampai dalam aspek ritual kita saja, namun harus dalam praksis kehidupan kita. Di sinilah letak kesempurnaan kemusliman seseroang.

Fikih sendiri menyebut bersuci menjadi syarat sah dari aktivitas penghambaan manusia. Bersuci secara simbolis memiliki tempat yang sangat penting di dalam Islam. Di abad kontemporer, teolog Islam menyebut thaharah adalah hal dasar yang kemudian menjadi fondasi interpretasi dari syariat-syariat Islam yang tertuang di maqashid syariah langsung; yaitu hifzul bi’ah atau menjaga lingkungan. Seperti inilah dijelaskan oleh ulama dalam waktu terakhir. Jadi, tulisan ini akan mengurai soal alam, lingkungan dalam kacamata Islam dan pergumulannya dalam perjalanan peradaban manusia.

Banjir Kalimantan Selatan, adalah akibat dari perbuatan manusia. Disebut oleh Tommy Apriando dalam esainya yang berjudul Emas Hitam dalam Cengkraman Para Haji: Dari Pesta Pora, Kuasa Modal, Hingga Ancaman Meratus. Dia menyebut beberapa haji dalam esai ini. Namun mereka adalah pemilik sekian banyak dari aktivitas tambang di situ. Mungkin Anda pernah menonton berita acara resepsi anak dari salah satu haji ini; tepatnya pada tanggal 11 Februari 2018. Acara ini berlangsung selama 10 hari berturut-turut, banyak artis kenamaan diundang semisal Rhoma Irama, Afgan, Wali Band, Zaskia Gothic, Via Valen, Ayu Ting-Ting dan lain seterusnya. Hanya untuk acara resepsi pernikahan anaknya. Dipanggil Haji Ciut, disebut sebagai raja tambang batu bara di tanah Banua Kalimantan Selatan. M Jefri Raharja, manajer kampanye Walhi Kalimantan Selatan juga menyebut bencana banjir ini adalah bencana ekologi akibat masifnya pembukaan lahan.

Baca Juga:  Terapi dari Kesedihan dan Ketakutan Ala Al-Qur'an

Banjir Kalimantan Selatan adalah hal yang sangat nyata. Banyak orang kemudian meminta presiden Jokowi untuk memanggil pelaku eksploitasi alam itu. Memang sudah saatnya—walau sebenarnya sangat telat jika kita baru menyadarinya—memandang alam bukan semata objek; hubungan manusia dengan alam hanya soal subjek dan objek. Kita tak punya pilihan lain selain menghilangkan pandangan distansi antara manusia dan alam. Kondisi alam di bumi bisa saya katakan sudah parah. Mohon maaf ini hanya asumsi saya, karena data dan pengetahuan saya yang sedikit soal alam. Namun entah saya menyakini itu.

Jika melihat aktivitas orang di sekitar saya yang menebang pohon untuk usaha-usaha mereka, sepertinya menunjukkan bagian dari resonansi akibat dari modernisme dan kapitalisme yang berangkat dari paradigma antroposentris. Aliran inilah yang melakukan distansi alam dan manusia. Epistem aliran ini benar-benar menihilkan total penghormatan orang sekitar saya terhadap alam. Bagaimana tidak, paham animis dahulu sangat banyak dianut, alam dijaga betul—saya tak bermaksud untuk menjadi dan menyerukan animisme, hanya soal menjelaskan akan punahnya pola pikir sakralitas terhadap alam.

Pikiran Rene Descartes dalam konteks ini menjadi momok yang menakutkan bagi kehidupan manusia kini dan di masa yang akan datang. Bayangkan saja setelah manusia menganggap rasio sebagai sesuatu yang bernilai daripada yang lain, selainnya kemudian menjadi sesuatu yang tak lebih bernilai. Terlebih setelah rasio membantu manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memudahkan kehidupan manusia. Rasio makin mengukuhkan keistimewaannya dan betapa lebih bernilainya.

Alam dalam perspektif ini kemudian, menjadi bagian dari yang kurang bernilai. Ia menjadi objek, ia bukan dilihat sebagai satu kesatuan dengan manusia sebagaimana manusia di awal sangat menghormati alam. Saya mengajak kita merefleksikan kembali. Ada banyak filsuf yang mendapatkan inspirasi dari alam. Pertanyaan radikal mereka itu karena alam itu sendiri. Dalam konteks ini alam benar-benar membantu filsuf mengembangkan kebijaksanaannya. Adalah Thales misalnya yang mempertanyakan dari apa alam semesta ini berasal yang kemudian menjadi bagian dari yang membangun definisi filsafat itu sendiri.

Baca Juga:  Falsafah Politik al-Mawardi: Paradigma Simbiotik Agama dan Negara

Tak hanya itu, alam bahkan menjadi instrumren dari banyak manusia dalam mengenal Tuhannya. Sejarah dewa Yunani misalnya, muncul disebabkan oleh interaksi manusia dengan alam saat itu. Saya tak bermaksud membandingkan Tuhan dan dewa, hanya menguraikan alam sebagai penyebab atas penemuan apa yang dianggap kekuatan di luar diri manusia. Harary juga menyebut soal ketergantungan manusia terhadap alam. Manusia pada faktanya yang membutuhkan alam, bukan alam membutuhkan manusia.

Yang pada akhirnya, semua ini adalah otokritik bagi semua kita sebelum apa yang diperkirakan oleh WHO, BMKG soal perubahan iklim nanti tahun 2030; kematian manusia yang mirip genosida. Akan banyak sisi kehidupan manusia akan terdampak, mulai pada pertanian; manusia akan kekurangan nutrisi, suhu panas, berdampak pada pelayanan kesehatan dan lain seterusnya. Sehingga merusak alam sejatinya merusak manusia sendiri. Kita harus berhenti melihat alam tak terintegrasi dari aspek-aspek kehidupan manusia. Ada relasi yang sangat kuat dengan cara politik, ekonomi,  kebudayaan yang manusia praktikkan. Ada hal prinsip yang harus dipertimbangkan dalam semua praktik kehidupan itu; yakni alam!

Islam dalam konsepsinya, menyebut alam dalam banyak ayat. Ia adalah instrumen untuk berpikir mendalam sehingga siapa yang mendalaminya, maka ia akan mengenal Tuhan. Dalam sebuah hadit Nabi terdapat soal seruan untuk memikirkan ciptaan Allah bukan zat-Nya. Islam juga menyebut kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh tangan manusia. Terdapat pesan kecaman terhadap manusia, serta pesan memposisikan alam pada tempatnya. Alam sendiri adalah hal prinsip dalam menjalankan tugas kekhalifahan yang dimaksud Tuhan setelah malaikat tak menyetujui penciptaan manusia karena potensi merusaknya. Namun Tuhan menyatakan, Dia lebih tahu.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Pemuda Profetik

Oleh: Himran Alumni Jurusan Sosiologi Universitas Tadulako Palu Sedikit mencurahkan refleksi pemikiran berkaitan dengan momentum  hari kelahiran sosok…