Istilah moderasi memang baru diperkenalkan atau dibakukan pada era modern, namun esensi dan praktik dari moderasi sudah sejak lama diaplikasikan. Corak moderasi dari masa ke masa tentu saja memiliki perbedaan, sesuai dengan apa yang menjadi “lawan” (baik berupa sebuah pemikiran, ideologi atau aliran, perilaku keagamaan dan sebagainya). Moderasi seolah menjadi antitesis terhadap fenomena keagamaan yang dinamis serta cenderung atau bahkan telah menghegemoni.
Moderasi sudah sejak lama menjadi sebuah counter argument dalam merespon berbagai sikap dan pandangan/pemahaman keagamaan. Kehadiran Islam pada satu sisi merupakan penyeimbang antara peradaban Romawi yang identik dengan hal-hal yang bersifat material dan Persia yang cenderung bernuansa spiritualitas. Islam tidak menghendaki hedonisme dan juga menolak asketisme, karena kedua hal tersebut termasuk tatharruf (berlebih-lebihan/melampaui batas). Prinsip yang tepat adalah khairul umur ausathuha, sebaik-baik perkara adalah yang berada di tengah.
Moderasi dalam konteks melawan ekstrimisme juga terjadi dalam aspek ritual ibadah. Pelaksanaan ibadah haji dalam Islam memiliki spirit moderasi beragama, yakni mengubah ritual yang ekstrim. Ibadah yang dimaksud adalah adanya ritual thawaf telanjang pada masa pra-Islam. Setelah Islam hadir ritual tersebut diganti dengan mengenakan pakain ihram. Secara filosofis thawaf telanjang tersebut memiliki arti menghadap Allah dalam kedaan suci serta menanggalkan keduniawian. Pakaian ihram sebagai tradisi baru yang menggantikan tradisi lama tersebut juga memiliki makna yang kurang lebih sama. Pakaian ihram menjadi simbol kesetaraan seluruh umat manusia di hadapan Allah, warna putih melambangkan kesucian diri (hati dan pikiran) dalam menghadap Allah.
Moderasi dalam ranah akidah misalnya tentang latar belakang kemunculan sekte Asy’ariyah sebagai “penengah” antara paham Jabariyah dan Qadariyah dan juga kontra dengan Muktazilah. Selanjutnya Asy’ariyah juga menjadi penyeimbang dari beberapa aliran kalam yang ekstrim, yang mengatakan bahwa Allah memiliki anggota tubuh dan berjenis kelamin laki-laki. Selain itu, diskursus tentang takdir, kemakhlukan Al-Qur’an, melihat Tuhan, dan sebagainya menjadi tren perdebatan ulama kalam pada masa itu. Belakangan muncul teologi Maturidiyah sebagai bentuk moderasi antara Asy’ariyah dan Muktazilah. Dengan demikian moderasi beragama pada masa itu mengacu pada aspek akidah atau teologi.
Moderasi juga sering dipahami sebagai cara pandang atau sikap keagamaan yang tidak radikal dan juga tidak liberal. Dalam konteks Indonesia, kehadiran Muhammadiyah dan NU misalnya dari aspek tertentu juga bertujuan untuk moderasi beragama. Muhammadiyah menjadi organisasi yang membentengi moderenisasi ala Eropa, seperti individualisme, rasionalisme, materialism, liberalisme hingga sekularisme. NU menjadi tameng aswaja yang berdiri pada masa maraknya Wahabisme yang berkeinginan menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam. Sikap ekstrim Wahabi ini juga getol menyerang Aswaja dan menyeru pada pemurnian Islam (pemurnian versi mereka). Kehadiran dua ormas besar ini sangatlah berpengaruh dalam mengubah cara pandang orang Islam dalam beragama. Sumbangsih kedua ormas ini untuk bangsa sangatlah besar, mulai dari pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan persatuan dalam rangka menyelaraskan antara beragama dan bernegara yang baik.
Kehadiran para pemikir atau intelektual juga tidak terlepas dari merespon sebuah konsep, ideologi, penafsiran yang sudah tidak relevan. Misalnya ada istilah Islam Rasional, Islam Universal, Islam Transformatif, Pribumisasi Islam, Islam Nusantara, Islam Berkemajuan dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut tidak lahir dari ruang hampa, basis epistemologi yang digunakan tentu saja berdasarkan fakta-fakta di lapangan, seperti kejumudan, keterbelakangan atau bahkan penyimpangan. Moderasi tidak sebatas menghantarkan pada paham kegamaan yang moderat, akan tetapi juga menganjurkan untuk beragama yang rasional dalam arti memanfaatkan potensi akal untuk sebuah peradaban yang lebih baik dan maju. Namun, tidak melupakan dimensi spiritualitas yang juga menjadi pilar dalam beragama.
Dalam konteks kekinian dan kedisinian, seiring perubahan zaman, isu-isu yang direspon para agamawan atau cendikiawan menjadi sangat beragam. Mencakup berbagai aspek kehidupan sosial seperti term kerukunan, multicultural atau keragaman, kesetaraan gender, HAM, inovasi pendidikan dan isu-isu kontemporer lainnya. Moderasi beragama atau wasathiyah memiliki padanan makna dengan konsep tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleransi), i’tidal (adil), Konsep tawazun (keseimbangan) antara dimensi basyariah dan dimensi insaniyah, duniawi dan ukhrawi, dan juga tentang hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama makhluk. Konsep tawazun merupakan hal yang sangat fundamental bagi setiap muslim dalam berislam yang benar.
Tasamuh merupakan model beragama yang dipraktikkan oleh Rasulullah, yakni bersikap baik dan ramah kepada siapapun tanpa memandang suku, agama, dan ras. Prinsip keadilan merupakan salah satu core dari ajaran universal Islam yang harus menjadi passion dalam sebuah kebijakan dan perbuatan. Bahkan dalam Al-Qur’an dengan tegas disebutkan bahwa, “Janganlah kebencianmu kepada suatu kaum membuat kamu berlaku tidak adil”. Moderasi beragama dalam hal ini merupakan sebuah rumusan ideal bagi masyarakat multicultural agar senantiasa hidup berdampingan dengan rukun dan damai.
Moderasi beragama merupakan “jihad” yang dinamis dan realistis. Agama yang multivocal, (dapat ditafsirkan sebagai pro-kekerasan atau pro-perdamaian) sangat dipengaruhi oleh “kepentingan”. Oleh sebab itu, produk pemikiran atau perilaku keagamaan bukanlah sesuatu yang sakral, terlebih jika bertentangan dengan akal sehat dan nilai-nilai kemanusiaan. Moderasi merupakan upaya untuk mengawal teks agama agar tidak terjadi penyelewengan penafsiran. Otoritas paham kegamaan tidak boleh melanggar rambu-rambu moderasi beragama. Evolusi moderasi beragama bersifat temporer, berbeda corak, beragam bentuk namun tetap berasas pada semangat “revolusioner” sebagai asas tunggal moderasi bergama. Wallahu A’lamu bi as-Shawab.