Waktu itu tahun 1978. Dua tahun sejak saya pertama kali masuk ITB dan tinggal di Bandung. Umur saya 21 tahun. Saat itu saya sudah mulai menulis di koran lokal Jawa Barat: Pikiran Rakyat. Saya menulis—tulisan saya diterbitkan—beberapa kali di koran ini. Biasanya di suatu halaman yang diperuntukkan bagi tulisan-tulisan karya mahasiswa. Setiap Senin, kalau tak salah. Jika dimuat, honornya seingat saya tujuh ribu lima ratus rupiah. Tak pernah saya lupa betapa suka citanya saya—sebagai mahasiswa yang masih hijau pada waktu itu—setiap tahu bahwa tulisan saya dimuat di koran top Jabar tersebut. Saya tak ingat berapa kali tulisan saya dimuat di koran ini. Dan itu masih beberapa tahun sebelum sejak pertama kali tulisan saya dimuat di Harian Kompas, juga di Majalah Tempo, dan lain-lain.
Senin itu adalah salah satu hari saat saya mendapati tulisan saya dimuat. Maka, selesai kuliah, saya pun mengajak beberapa—mungkin 3 – 4 orang—teman dekat saya untuk makan-makan dan nonton bioskop, dengan membelanjakan uang honor tulisan saya itu. Saya ingat siang/sore itu saya dan beberapa teman sudah nongkrong di ruang tamu Koran Pikiran Rakyat di jalan Asia Afrika. Menagih honor. Di zaman itu, penulis menerima honor dalam bentuk uang kontan. (Ketika sudah mulai menulis di Kompas, uang honor dikirim melalui kartu wesel). Saya ingat, bahkan ketika sudah menjadi pemimpin perusahaan Harian Republika, sekitar 15 tahun setelah itu, beberapa penulis—khususnya mahasiswa—masih mengambil honor tulisannya dengan datang langsung ke kantor dan menerimanya dalam bentuk uang kontan.
Begitu menerima honor itu, saya dan teman-teman langsung saja mencari tempat makan untuk mengisi perut. Saya sudah lupa di mana dan apa menu makan saya saat itu. Tapi, hampir pasti di sekitar alun-alun Bandung, karena memang sudah kami rencanakan sejak awal bahwa setelah itu kami akan nonton bioskop bersama, untuk menghabiskan uang honor tulisan tersebut. Maka segera saja kami sudah beredar di alun-alun tempat 4 gedung bioskop Bandung berdiri tegak. Kami pun celingak-celinguk mencari film yang menarik perhatian kami. Sial! Tak satu pun dari 4 film yang diputar saat itu memenuhi selera nonton kami. Tak pula satu pun pernah kami dengar sebagai film yang baik. Tapi bagaimana lagi, uang di tangan harus habis sebelum pulang. Lagi pula, bukankah memang untuk nonton film kami meninggalkan rumah? Setelah menimbang-nimbang, akhirnya kami putuskan untuk menonton sebuah film-film Hollywood juga, sih—yang kami duga paling memberi kemungkinan lumayan bagus. Maka, meski lebih banyak untuk tujuan ngariung (kumpul-kumpul), kami pun masuk ke gedung bioskop dan menunggu film diputar.
Pett! Lampu bisokop padam. Dan hanya beberapa menit sejak teaser film mulai diputar, saya sudah dikejutkan oleh informasi tentang buku yang dijadikan dasar oleh pencerita kisah—dan nama si pencerita kisah asal Cina yang luar biasa pada waktu itu—yang, pada gilirannya, menjadi dasar penulisan skenario film tersebut. Dan makin jauh film diputar, makin terpana saya mengikuti ceritanya. Alhasil, ketika film selesai diputar, saya merasa seperti baru mendapatkan pencerahan spiritual luar biasa. Dan bukan itu saja. Plot inti kisah yang ditulis berdasar sebuah buku dalam agama Budhisme Zen tersebut ternyata sama—hingga detil-detilnya dengan salah satu kisah paling penting dan paling mistikal yang ada dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Betapa anehnya? Betapa kebetulannya?
Dan kisah ini nantinya saya bawa terus di dalam kehidupan saya, hingga lebih dari 40 tahun setelahnya. Judul film tersebut adalah…. (Bersambung)