Hijrah (14) : Segala-galanya Allah

Manusia tak mungkin dapat menjalani hidup dengan baik bila tak memiliki tujuan. Seumpama nahkoda, manusia mesti membawa kapal kehidupannya menuju suatu tempat (tujuan). Bayangkan bila sang nahkoda tak tahu tujuan bahkan tak mengerti cara mengemudikan kapalnya. Maka dapat dipastikan kapal tersebut hanya akan terombang-ambing di tengah samudera yang demikian luas. Bahkan sekalipun berhasil berlabuh, ia berlabuh di tempat yang salah.

Dalam hidup, menetapkan tujuan (visi) amatlah penting. Selain membuat hidup lebih terarah, memiliki tujuan juga membuat pikiran menjadi lebih tenang. Sebaliknya, tanpa tujuan, hidup akan berantakan serta pikiran menjadi kacau. Bagaimana tidak, segala aktivitas hanya menjadi aktivitas, ia tak bermakna. Segala yang masuk ke dalam pikiran pun tak ada yang disaring dan dijadikan pegangan hidup sehingga hanya menjadi tumpukan teori yang memusingkan kepala.

Berapa banyak kita saksikan orang menjadi stres karena memikirkan absurditas kehidupan. Kehidupan ini dirasainya sangat membosankan. Hanya mengulang-ulang kegiatan yang sama sepanjang waktu. Lama kelamaan, ia mulai mempertanyakan apa artinya kegiatan ini dan itu, belajar ini dan itu. Rasanya semua yang dilakukan tak berguna. Kesadaran inilah yang oleh Vincen Martin dalam Filsafat Eksistensialis disebut sebagai yang membawa manusia pada rasa jenuh, bosan dan perasaan sangat lelah akan eksistensinya dalam hidup sehari-hari.

Bayangkan, di pagi hari kita terbangun, lalu berangkat bekerja, kemudian makan siang, setelah itu kembali bekerja, pulang, makan malam, lalu istirahat, tidur; besok paginya kembali terbangun, bekerja, makan, pulang, istirahat, tidur. Begitu seterusnya, dari minggu ke minggu, bulan ke bulan, bertahun-tahun di sepanjang hayat. Dan ini—sebagaimana yang diungkapkan Vincen Martin—mengantarkan manusia pada puncak kemuakan. 

Dalam pada itu, manusia menjadi sadar betapa ia tak mengerti kenapa ia hadir di dunia ini? Mengapa ia hidup? Dari mana kehidupan berasal? Hendak ke mana dibawa?

Menjawab itu, ada yang mengatakan bahwa hidup ini merupakan the terrible joke (lelucon yang mengerikan). Bagaimana tidak, kita terlahir tanpa kita minta, lalu dipaksa untuk menjalani kehidupan yang benar-benar menyiksa dan penuh penderitaan baik secara fisik maupun mental. Lucunya, (dengan sedikit pengecualian) tak jarang hidup berakhir justru di saat kita merasa telah benar-benar siap menjalaninya. Siapapun pasti merasa hal itu agak menyeramkan. Dan dengan sedikit kesal kita bertanya, untuk itukah aku terlahir? Hah? Are you kidding me, universe?!

Sebagian lain malah lebih pesimis. Nietszhe dan Camus misalnya, memandang dunia ini sebagai yang tak bertujuan dan tak bermakna. Kita lahir, lalu disekolahkan oleh orangtua, kemudian bekerja, lalu menikah, mempunyai anak, mendapat cucu, pensiun dari pekerjaan, sakit-sakitan, mati. Apa-apa yang kita perjuangkan serta yang kita peroleh dalam hidup, pada dasarnya, nihil. Semuanya akan hilang menguap begitu kita menghembuskan nafas terakhir. Sampai masanya nanti, nothing really matters.

Jika ujung-ujungnya kita bakalan mati, buat apa kita memegang kuat norma-norma, etika, moral bahkan agama? hidup hanya sekali, you are only life once (YOLO), kenapa tidak dinikmati semau hati? Kenapa harus terkekang oleh suatu aturan dan standar tertentu? Entah itu aturan agama ataupun undang-undang, kenapa kita harus dikekang olehnya dalam hidup yang begitu singkat ini?

Baca Juga:  4 Kebiasaan Sederhana yang Bisa Membawa Keberuntungan Menurut Al-Qur'an

Kesadaran ini, banyak membuat orang menjadi kehilangan orientasi hidup. Kehidupan yang dijalani pun rasanya begitu hambar dan tak bermakna. Hidupnya pun menjadi tak tertolong, sehingga ia tak mampu berkontribusi positif dalam masyarakat. Ia mulai menyakiti dirinya sendiri, lalu mulai merusak apapun yang ada di sekitarnya.

Lubang di Hati

Hampir semua manusia yang hidup dalam peradaban modern merasakan ini, perasaan kurang dan kosong dalam hatinya. Seakan ada sesuatu yang tak lengkap dalam diri, sebuah lubang di hati yang menganga. Menebarkan aroma kehampaan yang pekat.

Ia menuntun kita untuk mencarinya. Ya, kita senantiasa mencari bagian yang hilang itu. Rasanya jika bagian itu kita temukan, maka hidup akan berjalan lebih baik. Lubang di hati pun akan terisi. Semuanya akan terasa penuh dan cukup.

Namun, sayangnya tak ada satupun manusia yang mengetahui dengan pasti apa yang dicarinya. Kita sedang mencari sesuatu yang tak kita mengerti. Mencari semut hitam di dalam ruangan yang gelap dan mata kita buta. Mungkinkah kita temukan?

Disadari atau tidak, berbagai tujuan dan cita-cita yang kita tetapkan dalam hidup sesungguhnya tak lain merupakan ikhtiar untuk menemukan bagian yang hilang itu. Kita berkata “Aku harus menjadi kaya. Dengan begitu aku akan blablabla”, “Aku harus menjadi lebih populer.”, “Aku harus menjadi lebih cantik.”, “Aku harus menjadi lebih dan lebih lagi dalam semua hal.”

Lalu, apa yang terjadi begitu semua tujuan itu tercapai?

Ketika tujuan itu tergenggam, kita pun menyadari bahwa bukan itu yang kita cari. Lubang hati masih menganga dan jiwa masih tak penuh. Rasanya masih kurang. “Sepertinya aku harus membeli mobil”, “sepertinya aku harus membeli rumah”, “aku harus mengumpulkan harta yang banyak”, “Aku akan menjelajahi dunia”. Lagi-lagi, begitu semuanya tergenggam, hati yang kosong itu masih belum terisi, maka kerakusan baru akan muncul. “Sepertinya, aku harus menguasai tempat ini”, “Aku akan menaklukkan negeri ini”, “Aku akan menguasai dunia!!”. Begitulah seterusnya, tak ada hasil.

Baca Juga:  HIKMAH MEMILIKI RASA TAKUT (KHAWF) KEPADA ALLAH

Itulah yang terjadi ketika seseorang mencari kepenuhan hidup dari sesuatu di luar dirinya. Takkan pernah terpuaskan. Satu kepuasan mengantarkan kita untuk mencari kepuasan yang lain. Kita menjadi begitu haus dan rakus. Dan ketika rasa candu itu meronta ingin dipuaskan, kita tak segan lagi menyakiti orang lain dan alam. Inilah akar segala kejahatan, korupsi, penjajahan dan peperangan di dunia ini. Semuanya terjadi karena orang begitu menuruti hasratnya untuk mendapat lebih dan lebih lagi.

Tiada tuhan Selain Allah

Hati yang sakit akan cenderung menyakiti. Orang-orang yang jiwanya tak pernah merasa puas, akan rela mengorbankan apapun demi sensasi kenikmatan yang palsu. Orang melakukan korupsi demi mencari kenikmatan untuk dirinya sendiri. Mereka tak sadar bahwa tindakannya itu telah menyakiti jutaan manusia.

Satu bangsa merasa lebih baik dari bangsa lain. Penjajahan pun terjadi. Peperangan membara di mana-mana. Manusia membuat kerusakan terus menerus. Alam dihancurkan demi memperkaya diri. Dan bila itu semua berakhir, hatinya masih saja kosong. Tak ada yang ditemukan. Tidak kearifan, tidak pula kebijaksanaan.

Kenapa itu semua terjadi? Jawaban sederhananya karena kita merasa terpisah satu sama lain. Bangsa satu merasa lebih superior dari yang lain, golongan yang satu merasa lebih benar dari yang lain, manusia merasa lebih baik dari makhluk lain. Hasilnya, kekacauan tak berujung. Eksploitasi alam dan manusia bak mesin penghancur yang mengerikan. Itulah jalan hidup para nahkoda yang salah melabuhkan kapal kehidupannya. Ia terlena oleh tujuan-tujuan semu yang menipu.

Itulah kenapa para Nabi selalu dan selalu menekankan nilai-nilai tauhid. Bahwa kita adalah satu dalam keragaman. Bahwa semua hal di dunia ini, pada dasarnya saling terhubung. Menyakiti satu, artinya menyakiti seluruh. Merusak satu, artinya merusak seluruh. Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan kita juga. Derita mereka adalah derita kita juga karena kita adalah satu. Satu yang beragam.

Baca Juga:  Memahami Agama dan Sains Perspektif Ian G. Barbour

Maka, tugas kita adalah menghancurkan seluruh berhala-berhala yang menghalangi pandangan kita dari tauhid. Uang, kekuasaan dan berbagai perhiasan dunia telah menghambat pelayaran kapal kita. Kita melaju kencang untuk mengejar bayangan palsu.

Lebih dari itu, kesombongan diri mungkin adalah penghalang terbesar kita. ia bagai kabut yang mengaburkan pandangan. Ia menyebabkan kita merasa berada di jalan yang benar, merasa tinggi hati, merasa lebih berhak dari yang lain, merasa lebih mulia sehingga dengan itu kita merasionalisasi berbagai kejahatan yang kita lakukan pada orang lain. Kesombongan adalah berhala paling besar dalam diri manusia. Wajar jika Maulana Rumi mengatakan, “Aku adalah induk segala berhala”. Manusia telah menuhankan dirinya sendiri.

Padahal, semuanya hanya semu. Uang datang dan pergi, kekuasaan silih berganti, hari ini kita menaklukkan suatu negeri, suatu saat kita yang ditaklukkan negeri lain. Alangkah piciknya kita bila melabuhkan kapal kehidupan kita pada tujuan-tujuan materi yang tak dibawa mati. Semua itu hanya berhala (tuhan-tuhan palsu). Dan karena menyembah berhala itulah manusia menderita dan saling menyakiti.

Menghancurkan berhala, artinya melihat dunia ini apa adanya. Kita akan melihat bahwa kita semua hidup dalam satu sistem raksasa yang saling terhubung. Tidak ada yang terpisah. Kepakan sayap kupu-kupu di Selatan, menyebabkan badai topan di Utara. Lebih jauh, kita akan menyadari bahwa setiap materi pastilah hancur. Yang hidup pastilah mati. Dunia ini tidak abadi. Melihat itu, kita akan bertanya siapakah rupanya yang merancang sistem alam yang demikian dahsyat ini? Siapakah yang abadi itu?

Dialah Allah yang merajai alam semesta. Dialah Tuhan satu-satunya. Dialah yang asli, sedang kita dan semua materi ini hanya kepalsuan yang segera sirna. Dialah yang ada, sedangkan kita tiada. Kita hidup di dalam-Nya dan Dia nyata di dalam kita. Dialah sesungguhnya yang kita cari-cari, yang kita butuhkan untuk mengisi lubang di hati. Iman kepada-Nyalah yang kita butuhkan agar penuh jiwa kita. Maka sungguh, bukan uang dan tanah, bukan jabatan dan kekuasaan, bukan penjajahan dan penaklukkan, bukan. Yang kita butuhkan tak lain ada di hati kita, di kedalaman jiwa kita. Di sana ruh yang suci bersemayam. Ke sanalah kita hendaknya berlayar. Segalanya harus hijrah menuju Dia. Tuhan yang sebenar-benarnya. Dialah yang patut kita sembah dan sungguh, tiada Tuhan selain-Nya.

0 Shares:
You May Also Like