Wasiat Sufistik Imam Khomeini

Oleh: Mahdi Ruhani

Mahasiswa Aqidah Filsafat STFI Sadra

Sebagai seorang pemimpin revolusi Iran, ketika itu Ruhullah Khomeini sangat ditakuti oleh pemerintah otoriter Syah Reza Pahlevi. Bahkan mungkin dikenal sebagai seorang yang sangat mengerikan bagi sekutu Syah—Amerika Serikat dan Inggris. Tentu ini, berlawanan dengan deksripsi dari musuh-musuhnya, Khomeini dikenal oleh sebagian masyarakat sebagai seorang sufi sejati.

Berbekal catatan dokumentasi dari orang-orang yang pernah bertemu sosok Khomeini, dapat kita mengerti bahwa ia adalah sosok yang sangat berkharisma dan sederhana—tanpa melihat dan membandingkan dengan tokoh pemimpin lainnya—. Pria yang akrab disapa dengan gelar Rahbar atau Imam Khomeini ini terlihat menjauhkan dirinya dari segala bentuk kemewahan yang lumrah bagi seorang pemimpin.

Di samping kharismanya yang mempesona, kesuksesan revolusi yang digaungkan oleh Khomeini, dapat dipastikan tak lepas dari karakternya sebagai orang yang sangat berhati-hati dalam menentukan pilihan. Sikap kehati-hatian bagi orang sepertinya adalah sebuah kewajiban di dalam menapaki kehidupan dunia. Dengan informasi tersebut, maka tak heran ketika kita mengetahui adanya sebuah wasiat yang ditinggalkan olehnya, sebagai bentuk kewaspadaan terhadap kehidupan anak-anaknya dan generasi yang akan datang.

Pengalaman hidup, dan rasa cinta kepada anaknya, Ahmad, telah mendorongnya untuk menulis sebuah wasiat penting kepadanya. Wasiat yang dalam redaksi Indonesia oleh Yamani disebut bernuansa sufistik. Jika kita baca, selalu menekankan kepada ‘kekurangan’ yang begitu besar dari sang Ayah. Padahal sudah kita saksikan sendiri bagaimana peran dan posisi penting Khomeini pada revolusi Islam Iran, ini menunjukkan kontinuitasnya untuk berhati-hati dari jurang kesombongan.

Wasiat ini dimulai dengan basmalah dan hamdalah serta diiringi salam dan shalawat kepada Nabi Muhammad saw. dan keluarganya, yang kemudian dilanjutkan dengan kesaksian ayah atas seluruh kebenaran yang disampaikan dalam Islam, dan penyesalannya karena umurnya yang dipenuhi kecongkakan menyebabkan hidupnya seolah sia-sia. Tidak memiliki bekal amal di akhirat kecuali sebuah harapan pada maghirah Ilahi.

Berikut wasiat sang Imam kepada putranya yaitu Ahmad. Wasiat-wasiat tersebut mengandung pesan untuk selalu mendekatkan diri pada Allah swt. dan utusan-Nya yang suci.

Baca Juga:  Mengukuhkan Nilai Kemanusiaan: Respon terhadap Terorisme

Sebagai seorang pesuluk sejati, Imam menyampaikan pesan pertama kepada anaknya untuk menyadari eksistensi seorang manusia yang merupakan faqir bidzat. Manusia adalah makhluk yang senantiasa akrab dengan kelemahan dan kekurangan sehingga tak pernah sedikit pun lepas pada kebutuhannya dengan yang lain. Manusia merupakan bagian rantai eksistensial yang berujung pada sebuah eksistensi murni dan mandiri.

Seluruh alam semesta yang hadir setelah wujud murni Allah merupakan penampakan-Nya. Mengetahui kenyataan alam secara hakiki akan mengantarkan manusia kepada penciptanya. Akan tetapi, menurut Imam manusia memiliki penutup diri berupa kecintaan kepada dunia yang membatasi mereka dalam memahami Allah.

Karenanya, Imam mengatakan di pesan berikutnya, “Anakku, jika kau bukan seorang pengembara di dunia rohani, setidaknya berupayalah untuk tak menyangkal maqam-maqam kerohanian dan irfani..” Imam mengajak anaknya untuk menerima bahwa ada maqam yang nyata mengarah kepada ma’rifatullah, dan maqam tersebu adalah pelepasan hijab egoisitas-diri.

Imam melanjutkan, bahwa pengenalan kepada Allah bertujuan untuk mengantarkan kita kepada wushul atau ‘penyatuan’ kepada Allah swt. yang dijelaskan lengkap oleh Mulla Shadra dalam buku ‘Empat Perjalanan’. Bahkan alasan diturunkannya Alquran adalah sebagai sebuah pedoman yang mengandung perkara ‘irfani bagi manusia untuk melancong kepada Allah swt.

Akan tetapi, Imam juga memisahkan antara Alquran dengan penafsirannya. Imam secara tak langsung menyampaikan kepada putranya guna berhati-hati ketika memahami Alquran, “Alquran telah jatuh dalam pengabaian dan disalahtafsirkan oleh sahabat-sahabat yang jahil (daripada) arah yang sebenarnya (ditujunya).” Imam tidak ingin anaknya justru terjerembab kepada subjektifitas yang menyimpang.

Pesan Imam mengenai Alquran mengindikasikan secara tidak langsung agar senantiasa kita mengikuti para utusan Allah yang telah mencapai maqam memahami ma’rifatullah, yang telah memahami Alquran secara inheren. Imam menulis di wasiatnya, “Para Nabi dan para wali yang paling ikhlas alaihim salam, tak pernah menggunakan basaha dan argumen filosofis, tetapi mengimbau kepada jiwa dan hati orang-orang, serta menyampaikan kesimpulan-kesimpulan dari argumen-argumen seperti itu ke dalam hati orang-orang. Mereka membimbing umat dari dalam hati dan jiwa mereka.”

Baca Juga:  Laku Syukur, Memikat Cinta Tuhan Yang Maha Syakur

Hal tersebut menegaskan bahwa yang terpenting adalah pemaknaan kepada hati setiap orang tentang makna ma’rifatullah, sesuatu yang menjadi tujuan bagi setiap pesuluk bahkan seharusnya manusia. Sementara posisi filsafat, ilmu ‘irfan teoritis, dan akademis lainnya hanya sebuah diskusi untuk mencapai keimanan di hati, jika tidak, maka ilmu-ilmu itu akan menjadi penutup bagi tujuan  manusia.

Membanggakan ilmu-ilmu yang dimilikinya dan merasa lebih baik dari orang lain, merupakan penutup besar yang diperingatkan oleh Imam kepada putranya. Imam mengatakan, “Kaum filosof membuktikan Kemaha-hadiran Allah dengan argumen rasional. Akan tetapi, selama apa yang telah dibuktikan tak mencapai hati (akal) itu tidak memiliki keyakinan kepadanya (yang kita buktikan). Oleh karena itu, orang seperti ini gagal dalam menaati adab (dalam) kehadiran Allah”.

Terakhir, Imam menyampaikan beberapa di ujung paragrafnya dengan anjuran kepada anaknya supaya mengamalkan seluruh perbuatan sebagai seorang pencari kerelaan Allah, “Di antara perkara penting yang perlu aku sampaikan dalam wasiat ini adalah bantulah para hamba Allah, terutama orang fakir miskin, baktikanlah seluruh yang kau miliki untuk melayani kaum tertindas dan melawan kaum penindas. Amal seperti ini adalah bekal terbaik bagi perjalanan (akhirat) dan merupakan pelayanan terbaik bagi Allah dan Islam.”

Imam pun menambahkan di wasiat itu kerelaan Ahmad untuk mengurusi ibunya yang memiliki hak tak terhitung atasnya. Dan agar ia menjaga seluruh anggota keluarganya dalam bingkai keharmonisan cinta kepada Allah.

Wasiat-wasiat Imam kepada anaknya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan disusun ulang oleh Yamani (penerjemah) dan diterbitkan oleh Mizan dengan judul lengkap ‘Wasiat Sufi Ayatullah Khomeini’ di awal tahun 2000.

0 Shares:
You May Also Like