Reinterpretasi Manusia Sebagai Khalifah di Bumi

Kata khalifah menurut Hans Wer yaitu deputy (wakil) dan successor (penerus). Sedangkan makna khalifah secara fungsional adalah manusia sebagai wakil dan penerus yang diberi tanggung jawab oleh Allah. Ini artinya, manusia bukan bertindak sebagai penguasa, melainkan wakil Tuhan yang diberi tugas dan wewenang untuk memelihara dan memakmurkan bumi.

Pertanyaan yang muncul adalah siapa yang berhak menjadi khalifah? Apakah hanya berlaku bagi Nabi Adam? Persoalan ini sebenaranya sudah diinformasikan di dalam Al-Qur’an secara eksplisit. Ada tiga hal yang sering dibicarakan, yaitu manusia sebagai khalifah, alam raya yang ditunjuk sebagai objek tugas, dan Allah sebagai Pemberi Penugasan.

Pertama, manusia sebagai khalifah. Dalam surat Al-Baqarah [2]: 30 Allah menjelaskan secara tegas, bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Ayat ini menginformasikan bahwa wakil Tuhan itu adalah manusia secara keseluruhan. Tidak hanya berlaku satu gender, etnik, agama, ras bahkan primordial lainnya. Tetapi, kata ini berlaku universal. Thabathaba’ī misalnya, memberikan sedikit jawaban yang menarik. Bahwa makna khalifah dalam ayat ini tidak terikat dengan politis individual. Kebanyakan ulama tafsir mengartikannya hanya Nabi Adam, atau laki-laki saja. Tetapi, term khalifah berlaku semua komunitas spesies manusia. Laki dan perempuan, tua dan muda. Sehingga mereka semua berhak menyandang status khalifah.

Kedua, Alam sebagai objek tugas. Masih di ayat yang sama, innī jā’ilun fī al-ard khalīfah.  Bahwa manusia diberikan amanah oleh Allah untuk memelihara bumi (ard). Amanah ini merupakan bentuk sikap ekologis. Maksudnya, manusia diangkat sebagai khalifah tidak mementingkan hak individu (antroposentrisme) tetapi juga memikirkan kelestarian lingkungan alam (ekosentrisme).

Melestarikan alam merupakan amanah yang diberikan Allah sebagai perwakilan-Nya. Bila ditemukan kasuistik kerusakan lingkungan dan eksploitasi tanpa rasa tanggung jawab adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah, dan ini suatu kelalaian terhadap tugas kekhalifahan itu sendiri.

Melestarikan alam juga menjadi instrumen dalam membangun tatanan masyarakat yang religius. Keyakinan terhadap pencipta harus dimulai dari pengenalan terhadap alam semesta. Itulah sebabnya, merusak alam berarti melakukan pengingkaran terhadap Tuhan. Pembangkangan ini dikenal juga dengan kufur ekologis.

Baca Juga:  Metode Kesahihan Hadis Ala Sufi

Ketiga, menyakini Allah sebagai Pemberi Tugas. Tahap ini merupakan bangunan ketauhidan seseorang. Ini juga bagian dari kerangka ontologis. Bahwa Allah, manusia dan alam terikat dengan satu ontologis yaitu tauhid. Dalam surat Al-Ankabūt [29]: 61 dijelaskan, “Siapakah Pencipta lingkungan (alam semesta)? Jawabannya adalah Allah”. Redaksi ini merupakan informasi inti dalam ajaran Islam. Allah adalah satu-satunya Tuhan yang menciptakan dan menundukkan (taskhir) seluruh alam termasuk lingkungan.

Dalam tradisi sufistik ini dikenal dengan istilah wahdatul wujud yang dipopulerkan oleh Ibn ‘Arabi. Konsep ini diartikan dengan segala sesuatu itu adalah manifestasi Allah, atau bahwa Allah adalah segala sesuatu itu. Artinya Allah adalah alam ini atau alam ini adalah Allah. Melalui konsep tersebut, tujuan penciptaan alam ini adalah agar Allah melihat Diri-Nya dalam satu rupa di mana setiap yang wujud ini hasil manifestasi (ber-tajalli) dari sifat dan nama-Nya.

Manusia bahkan semua yang ada di alam ini merupakan manifestasi dari-Nya. Alam tidak bisa dipisahkan dari kerangka ontologi ini. Dengan melihat secara tauhid, lingkungan tidak bisa diabaikan. Sebab, merupakan wujud manifestasi-Nya. Perbedan alam dengan manusia adalah ia merupakan manifestasi yang lebih tinggi sehingga ia diberikan mandat dan jabatan sebagai khalifah di bumi ini. Cerminan Tuhan yang ada pada diri manusialah yang menjadikan kesempurnaan untuk bisa menjalani amanah.[]

 

Sumber Bacaan

Muhammad Husain al-Ṭabāṭabā’ī, Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, Beirut: Mu’assasah al-‘Alamī li Maṭbu’āh, 1997

Said Aqil Siroj, Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawwuf Falsafi, Jakarta: Yayasan Said Aqil Siraj, 2021

0 Shares:
You May Also Like