Apa Benar Filsafat itu Rumit dan Menyesatkan?

M. Khusnun Niam

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni IAIN Pekalongan

Entah sejak kapan, filsafat dikonstruk sedemikian rupa. Dari ilmu yang rumit hingga disesatkan oleh minoritas kalangan agama. Lazimnya, kerumitan menjadi alasan beberapa dari minoritas yang menemukan kesukaran dalam belajar filsafat, dan penyesatan atas filsafat umumnya berdasar pada sifat dari filsafat yang mengakar dan dijadikan alat untuk menelanjangi suatu perkara; dari sosial humanis hingga metafisika. Tentu, ini merupakan objek yang dikaji oleh filsafat itu sendiri. Akibatnya, tidak sedikit yang terpengaruh oleh anggapan atas filsafat dan berdampak pada ketidakmauan belajar hingga mengucilkan filsafat dalam dirinya sebagai ilmu yang tidak berguna dan berbahaya.

Tidak hanya sebatas itu, lebih ekstremnya paradigma atas filsafat dianggap membingungkan bagi yang mempelajarinya. Sebab, filsafat dianggap membahas sesuatu dalam ruangan ‘awang-awang’ (bayang-bayang). Pun Boleh jadi yang menjadi alasan masyarakat menganggap sulit filsafat ialah karena mereka tidak (mau) mengerti, juga tidak (mau) mempelajari filsafat. Akhirnya, segala ungkapan atas filsafat dianggap suatu yang sakral-mengejutkan dengan beberapa alasan. Dari segi filsafat itu sebagai ilmu hingga segi filsafat sebagai metode.

Kata ‘filsafat’ jika dilontarkan kepada kalangan yang tidak (mau) belajar filsafat sebab sulit dan menyesatkan; akan mendapat respon diacuhkan hingga dianggap sesat. Jika filsafat telah dikonstruk rumit dan sesat, maka yang mempelajarinya (secara tidak langsung) juga mendapat judge menyesatkan. Alhasil, dirinya mendapat label sedemikian rupa yang dampaknya cukup besar. Berbeda ketika kata ‘filsafat’ disembunyikan dan diganti dengan bahasa ‘mikir serius/mikir kritis’, boleh jadi anggapan rumit dan menyesatkan itu runtuh dan tidak dipakai. Entah, sebab apa dan sejak kapan, kata ‘filsafat’ dikhususkan oleh sebagian kalangan sebagai ilmu yang demikian. Sehingga, menjadi problem tersendiri dalam dunia riil.

Tidak dipungkiri, konstruk sosial atas filsafat memberikan gambaran bagaimana kondisi pikiran di lapangan. Artinya, mau tidak mau, eksistensi dikotomi terhadap ilmu hingga kini masih ‘ada’ bukan sebatas ‘ada’, melainkan ‘sengaja’ dinormalkan dengan berbagai alasan. Akhirnya, tidak sedikit berpengaruh membentuk generasi baru sebagai manusia sosial penerus generasi sepuh yang memiliki pandangan ‘sama’ dengan mereka, bahwa ‘filsafat’ rumit; jangan belajar filsafat nanti gila hingga sesat.

Kemungkinan hal di atas menjadi gambaran bagaimana kondisi masyarakat atas suatu ilmu, khususnya filsafat. Berbagai sudut pandangan begitu bijak dilontarkan, berbeda ketika membincang filsafat. Sebab, umumnya terdapat ruangan besar yang dikhususkan untuk memposisikan filsafat. Baik dari filsafat sebagai produk yang boleh jadi sesat-menyesatkan, filsafat sebagai metode yang menjadi alat bagi sebagian ‘intelektual’ untuk membedah suatu perkara, dan filsafat sebagai ilmu hasil pemikiran yang teruji pada zamannya. Bahkan, boleh jadi 3 hal tersebut disesatkan hanya sebatas  adanya doktrin sesat dan menyesatkan, tanpa logika logis.

Pembahasan sesat dan menyesatkan tidak dapat dilepas dari eksistensi agama. Sebab, kesesatan itu sendiri ialah sebuah ucapan, tindakan dan konsep keyakinan yang menyimpang dari kaidah aturan suatu agama, mengkhusus pada konsep ketuhanan dalam nalar. Ada beberapa perkara yang penting untuk dicerahkan; dari segi pelaku hingga objek yang dipelajari pelaku dalam beragama. Pun dalam filsafat, ada beberapa produk pemikiran yang berbeda antar satu pemikir dengan pemikir lainnya. Tentu, dengan berbagai macam argumen logis hasil dialektika. Maka, penting untuk mengetahui jarak agama dan filsafat itu sendiri.

Dalam agama, filsafat cenderung dijadikan metode untuk ber-dzikrullah. Sebab, mengingat Allah bagi manusia beragama tidak dapat terhindarkan dari pemfungsian nalar. Manusia idealnya mengetahui konsep-konsep ketuhanan yang ditetapkan dalam pemahamannya melalui pemikiran. Proses penetapan konsep ketuhanan tersebut dapat diuji melalui dialektika atas kelogisannya. Maka, filsafat sebagai alat sangatlah dianjurkan dalam agama, dengan visi membentuk individu yang logis dalam beragama tidak sebatas doktrin tanpa penalaran.

Namun, perlu diketahui bahwa dalam perkembangan filsafat terdapat beberapa produk hasil pemikiran manusia yang tidak sesuai dengan agama, khususnya dalam konsep ketuhanan. Filsafat yang hadir sebagai produk, tentu berbeda dengan filsafat sebagai ilmu dan metode.  Sehingga, ada beberapa hal yang perlu dipahami oleh ‘oknum’ sebelum mengatakan bahwa ‘filsafat’ sesat-menyesatkan. Di antaranya ialah mereka harus mau belajar filsafat dan mendalaminya. Tidak hanya itu, mereka juga harus  menguji kesesatan filsafat itu dengan logika berpikir mereka. Adapun permisalannya sebagai berikut:

Bagaimana si Zaid bisa melontarkan pemahaman bahwa filsafat itu sesat, jika dirinya tidak memahami filsafat? Logikanya begini; apakah mungkin seseorang dapat mengatakan bahwa tahlilan itu sesat jika ia tidak paham isi dan subtansi dari implementasi tahlilan? Atau bagaimana mungkin orang tidak paham seluruh pelajaran matematika kemudian menilai hasil ulangan yang berisi rumus matematika? Tentu, ada problem besar yang dilanggengkan hingga kini yang sangat tidak logis dan tidak berdasar. Bagaimana tidak, seharusnya jika dapat mengatakan filsafat itu sesat, maka perlu ada kelogisan berpikirnya. Boleh jadi, filsafat yang si Zaid pelajari bukan filsafat sebagai ilmu dan metode, atau juga yang dipelajari ialah filsafat sebagai produk pemikiran yang menyimpang kaidah tauhid. Maka, penting untuk diluruskan hal ini.

Jikalaupun ada filsafat dari produk pemikiran yang keliru dari kaidah logis konsep ketuhanan yang ditemukan dalam pemahaman, maka tidak lantas dibenarkan jika melabeli secara general bahwa filsafat itu sesat. Tentunya, sangat tidak bijak dan fatal jika hal ini diterapkan. Sebab, ada kesalahan berpikir yang dinormalkan bahkan boleh jadi dilanggengkan dan hal tersebut perlu dibongkar.

Dari hal di atas, maka penting untuk dipahami bahwa penyesatan filsafat merupakan kekeliruan yang dinormalkan dan dilanggengkan. Sebab, antara agama dan filsafat memiliki tujuan yang sama yakni kebijaksanaan. Jika filsafat disisihkan sedemikian rupa, maka hal tersebut sangatlah tidak etis. Pun dalam agama, jika ada penyesatan tanpa pengkonsepan berpikir, maka hal tersebut juga tidak logis. Sehingga, perlu dilogiskan kembali cara berpikir untuk mengaktualisasikan kebijaksanaan tersebut, termasuk membedah sisi kesesatan filsafat tanpa melabeli filsafat itu secara general guna menemukan sisi positifnya dan sisi negatifnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like
Read More

Pemuda Profetik

Oleh: Himran Alumni Jurusan Sosiologi Universitas Tadulako Palu Sedikit mencurahkan refleksi pemikiran berkaitan dengan momentum  hari kelahiran sosok…
Read More

MASALAH EPISTEMOLOGI ILMU

Dalam pembangunan kualitas masyarakat ada dua faktor yang berperan penting. Pertama adalah faktor material. Contohnya undang-undang, lembaga negara…