Belajar Hidup dari Kierkegaard: Sang Filsuf Eksistensialis

Soren Aabye Kierkegaard adalah seorang filsuf Denmark, ia dikategorikan sebagai filsuf eksistensialisme. Berdasarkan catatan Fuad Hassan dalam buku Berkenalan dengan Eksistensialisme (2005), Kierkegaard dilahirkan pada 5 Mei 1813 dan meninggal pada 11 November 1855. Kierkegaard sendiri merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara. Untuk memahami pemikiran Kierkegaard, penting juga untuk menuliskan kehidupan keluarga Kierkegaard, karena kehidupan keluarganya itulah yang turut membentuk pandangan-pandangan Kierkegaard.

Ayah Kierkegaard, yakni Michael Pederson Kierkegaard, mempunyai keinginan kuat untuk menyekolahkan Kierkegaard dalam bidang teologi. Kierkegaard sendiri sedari kecil sudah biasa diajak diskusi seputar masalah-masalah agama. Keinginan dan didikan ayahnya tersebut, tidak bisa dilepaskan karena pengalaman traumatis dari ayah Kierkegaard sendiri.

Peristiwa pertama, yakni pada saat ayah Kierkegaard masih kanak-kanak, ia hidup dalam kemelaratan yang begitu pahit. Pada suatu hari, ayah Kierkegaard mengembala domba di padang tandus di Jutland. Sambil meratapi kekesalan, kesepian dan sebagainya, ia pun melemparkan amarah kepada Tuhan.

Peristiwa kedua, yakni menyangkut perkawinanannya yang kedua dengan Anne Lund, seorang perempuan yang kemudian melahirkan 7 orang anak, salah satunya adalah Kierkegaard itu sendiri. Anne Lund sendiri melahirkan anak pertama dalam usia pernikahan 5 bulan, tentu saja hal tersebut terjadi karena ayah Kierkegaard sebelumnya melakukan penyelewengan.

Dua peristiwa itulah yang sangat disesali oleh ayah Kierkegaard dan membuatnya tak memaafkan dirinya sendiri. Barangkali, itulah yang menyebabkan ayah Kierkegaard menginginkan agar Kierkegaard lebih mengenal agama, dengan harapan agar Kierkegaard mempunyai kehidupan yang lebih baik.

Ayah Kierkegaard sendiri kemudian menceritakan dua peristiwa tersebut pada Kierkegaard. Jelas saja, apa yang diceritakan oleh ayahnya tersebut, membuat batin Kierkegaard ikut terguncang. Kierkegaard pun menyebut peristiwa yang menimpa ayahnya tersebut, yang juga menghadirkan penyesalah sepanjang hidup bagi ayahnya, merupakan “gempa yang dahsyat” juga bagi dirinya.

Baca Juga:  Muara Agama Esoterik: Menjadi Pribadi Transendental

Selain itu, hal lain yang membuat hidup Kierkegaard penuh dengan kemalangan dan membawanya teramat melankolia (depresi), yakni bagaimana ia menyaksikan serentetan kematian anggota keluarganya. Dua kakanya, seorang laki-laki dan perempuan meninggal saat ia masih kanak-kanak, kemudian (1832-1834) menyusul kematian kakak-kakaknya yang lain beserta ibunya juga. Singkat cerita, dalam waktu dua tahun, Kierkegaard menyaksikan orang-orang yang dikasihinya dimakamkan secara berturut-turut.

Kierkegaard pun berusaha melupakan dengan keras kemalangan-kemalangan yang menimpanya. Singkat cerita, pada 1837 Kierkegaard pun meninggalkan rumah, dan untuk usaha melupakan kemalangannya tersebut, Kierkegaard pun banyak menenggak minumal beralkohol. Pada masa-masa krisis ini, Kierkegaard meninggalkan agama, karena baginya Tuhan telah runtuh bersamaan dengan gugurnya ayahnya sebagai lambang pujaan jiwanya. Dengan kalimat lain, nampak jelas bagaimana kekecewaan Kierkegaard pada ayahnya yang selama ini menjadi idolanya.

Pada 1838, Kierkegaard pun kembali mengalami peristiwa yang menyedihkan. Guru besar yang amat dikaguminya, yaitu Paul Martin Moller meninggal dunia. Setelah peristiwa meningalnya guru besar yang amat dikaguminya ini,  Kierkegaard pun kembali berikhtiar untuk menemukan kembali hubungannya dengan Tuhan.

Dengan demikian, selain ayahnya, orang lain yang turut berpengaruh dalam membentuk kepribadian dan pemikiran Kierkegaard, yaitu Moller. Selain dua nama itu, nama lainnya yang turut memengaruhi pandangan Kierkegaard, yakni Regina, perempuan pujaan hatinya. Kierkegaard sendiri memutuskan untuk meninggalkan Regina, karena ia khawatir kebahagiaan Regina akan terganggu, ketika Regina bersama lelaki yang penuh kemurungan seperti dirinya. Kierkegaard pun tidak tahu bagaimana harus jujur kepada Regina, bahwa sebelumnya ia sudah banyak merasakan “pergaulan malam”.

Regina pun yang sebelumnya berjanji tidak akan menikah, di kemudian hari menjalin hubungan bersama pria lain, dan terang saja hal itu membawa kepiluan yang semakin dalam bagi seorang Kierkegaard yang saat itu diam-diam masih mendambakan Regina.

Baca Juga:  ONTO-EPISTEMOLOGI OBJEK SAINS: Acuan Ibn Sina dan Karl Popper (Bagian Satu)

Menghayati Kehidupan: Cara Kierkegaard Menjadi Individu yang Autentik

Kemalangan-kemalangan Kierkegaard dan segala pengalaman hidupnya, membuatnya berkesimpulan bahwa kehidupan selayaknya dapat dihayati secara sungguh-sungguh. Dan untuk menghayati kehidupan yang sungguh-sungguh, tentu diperlukan sebuah subjektivitas. Menelusuri pengalaman individual merupakan hal yang penting dalam pandangan Kierkegaard, Dalam catatannya yang kemudian dibukukan The Essential Kierkegaard (2000), Kierkegaard menulis “in human life, this confusion lends itself to studying the depth of the individual”.

Menurut Jean Paul Sartre dalam bukunya Eksistensialisme dan Humanisme (2002), Kiekegaard memahami kebenaran sebagai subjektivitas, karena dalam ranah subjektif, dalam hubungan dengan diri sendiri dan dalam hubungan dengan subjektivitas orang lain, orang menyadari eksistensi Tuhan dan hubungannya dengan yang agung itu. Bagi Kierkegaard sendiri, membutuhkan Tuhan adalah kesempurnaan tertinggi manusia. Dalam catatannya, Kierkegaard (2000) menulis “to need God is a human being’s highest perfection”.

Lebih lanjut, Sartre (2002) menjelaskan bahwa Kierkegaard sendiri mendasarkan posisinya pada manusia individu di sini dan kini, manusia dengan hasrat dan kegelisahannya. Kierkegaard banyak mendiskusikan soal dilema kehidupan individu yang autentik. Dengan demikian, bagi Kierkegaard, realitas eksistensi setiap orang, berasal dari kedalaman jiwanya sendiri-sendiri. Kebanyakan argumen Kierkegaard didasarkan pada pengalaman personal.

Sebab itu, menghayati kehidupan dengan sagala tantangannya, dengan segala kegelisahan-kegelisahannya, dan dengan segala pengalaman-pengalamannya, merupakan cara Kierkegaard untuk menjadi individu yang autentik. Sebagai catatan penting, Sartre (2002) pun menjelaskan bahwa Kierkegaard berpendapat manusia merupakan makhluk dengan hasrat menuju kebahagiaan. Dalam tulisan-tulisannya, Kierkegaard menggali tiga penyelesaian hasrat manusia, yakni hasrat estetik, etik dan religius.

Terlepas dari kesetujuan ataupun ketidaksetujuan kita pada pandangan-pandangan Kierkegaard, saya rasa hal yang sangat menarik, yakni bagaimana Kierkegaard menjadikan kepahitan-kepahitan dalam hidupnya justru menjadi inspirasi utamanya dalam berkarya dan membentuk cara pandangnya, yang bahkan di kemudian hari mengantarnya menjadi salah satu pemikir besar yang diakui, terutama dalam wacana eksistensialisme. Meskipun tentu saja, semasa hidupnya, Kierkegaard belum menikmati puncak reputasinya, karena memang bisa dikatakan ia meninggal dalam usia yang masih terbilang muda.

Baca Juga:  Kausalitas dalam Interaksi Saintis dan Teolog Islam

Pemikir sekelas Sartre pun mengakui pengaruh dan kehebatan seorang Kierkegaard. Sartre (2002) menulis, “Orang hebat ini, yang semua pemikir eksistensialis mengakui pengaruhnya, menjalani hidupnya dengan cara yang amat sulit dicari tandingannya”. Sartre pun berkali-kali menyebut Kierkegaard sebagai seorang filsuf besar.

0 Shares:
You May Also Like