Menyoal Tren Gaya Hidup Masa Kini: Minimalist Lifestyle ala Jepang atau Zuhud ala Sufi?

Dewasa ini sedang tren gaya hidup sederhana ala Jepang yang dikenal dengan minimalist lifestyle atau gaya hidup minimalis. Gaya hidup yang semakin banyak diminati dan diterapkan oleh masyarakat masa kini ini mengedepankan kualitas dalam hidup, yang pada dasarnya dipengaruhi oleh estetika Buddhisme Zen dengan konsep less is more atau dengan sedikit akan memperoleh lebih banyak, yang menekankan kesederhanaan dalam hidup untuk memperoleh ketenangan pikiran, pencerahan batin dan kebahagiaan.

Minimalist lifestyle identik dengan kehidupan masyarakat Jepang yang telah menerapkan gaya hidup ini sejak lama. Istilah “minimalis” sendiri diciptakan oleh seniman Barat pada tahun 1950-an sebagai tanggapan atas kapitalisasi dunia seni yang terlalu berlebihan. Minimalist lifestyle berbicara bukan hanya tentang seni mengatur tata ruang tapi, lebih dari itu.

Minimalist lifestyle semakin diminati oleh dunia setelah beberapa buku tentangnya bermunculan, salah satu yang populer berjudul The Life-Changing magic of Tyding Up yang ditulis oleh Marie Kondo—seorang minimalis asal Jepang yang mengajarkan tata cara hidup minimalis kental dengan filosofi Zen dalam persoalan melepaskan kepemilikan. Kondo berprinsip, “Jika suatu barang memberikan kebahagiaan bagi pemiliknya, pertahankan. Kalau tidak, relakanlah untuk dipindahtangankan kepada orang lain”. Hal ini dilakukan sebagai jalan untuk meningkatkan fungsi hidup manusia setelah lepas dari benda-benda yang memenuhi pikirannya.

Satu lagi buku yang populer membahas minimalist lifestyle yaitu buku karya Fumio Sasaki yang diberi judul Bokutachini, Mou Mono Wa Hitsuyou Nai atau versi bahasa Inggris berjudul Goodbye Things: Living on Minimalism. Sama seperti Kondo, Sasaki juga berpendapat bahwa hidup minimalis dapat mendatangkan kebahagiaan bagi pengikutnya, selain itu, berdasarkan pengalaman Sasaki, hidup minimalis dapat mengurangi kecemasan dan kekhawatiran, yang mana kecemasan dan kekhawatiran itu datang dari rasa tidak puas, dan datang dari tuntutan hidup masa kini yang mengakui eksistensi manusia hanya dari benda dan kekayaan apa yang dimiliki.

Baca Juga:  Dakwah Perlu Manfaatkan Fasilitas Teknologi

Dalam bukunya, Sasaki menjelaskan makna minimalis, kiat-kiat menjadi seorang minimalis bahkan memaparkan perubahan-perubahan yang ia peroleh setelah menjalani kehidupan minimalis. Lebih daripada rumah yang tertata rapi, dirinya merasakan kehidupan yang lebih bermakna, ia lebih memiliki waktu luang yang banyak, karena tidak perlu memikirkan cara merawat barang miliknya yang hanya dapat membebani pikiran, berhenti membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain, dan berhenti berpikir bahwa uang dan barang-barang mewah dapat memberi jaminan kebahagiaan karena pengakuan yang diberikan oleh orang lain, hanya dengan barang yang dimiliknya saat ini ia sudah cukup puas dan bahagia.

Di Indonesia bahkan di berbagai belahan dunia saat ini minimalist lifestyle sedang menggandrungi masyarakat. Terdapat beberapa komunitas, baik dari usia muda hingga tua memiliki minat yang sama pada gaya hidup ini, yang sangat memengaruhi mereka mulai dari konsep tata ruang, pandangan hidup, pakaian dan prinsip minimalis lainnya, sosok Mark Zuckeberg dan Steve Job juga merupakan pengikut gaya hidup minimalis. Menyimpulkan dari pendapat Kondo, hidup minimalis berarti hidup dengan barang-barang yang paling pokok yang diperlukan dan dilansir dari Japana Home, menjalankan minimalist lifestyle berarti membuang sesuatu yang memperlambat ataupun tidak memberikan kegembiraan termasuk di antaranya kebiasaan, makanan, dan barang-barang.

Sebagai umat Islam tentu, bukanlah hal yang asing ketika berbicara tentang hidup minimalis atau hidup sederhana, sebab Nabi Muhammad saw. sendiri jauh ribuan tahun yang lalu sudah menerapkan konsep ini. Dalam dunia sufi, hidup sederhana disebut dengan zuhud. Zuhud sendiri merupakan salah satu latihan yang ditempuh sebagai jalan menuju kedekatan kepada Allah. Menurut Abdullah bin Mubarak dalam Risalah Qusyairiyah karya Al-Qusyairi, zuhud adalah percaya kepada Allah yang disertai cinta terhadap kefakiran. Sedangkan menurut Imam Junaid, zuhud yaitu melepasakan tangan dari harta benda dan melepaskan hati dari kesenangan hawa nafsu. Dasar utama dari zuhud adalah kecintaan kepada Allah dan keyakinan akan adanya kehidupan hakiki setelah di dunia. Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa zuhud harus disertai dengan kesadaran bahwa akhirat lebih baik daripada dunia. Hal ini juga terdapat dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 77 yang artinya:

Baca Juga:  Pergulatan Kaum Sufi dalam Menyingkap Makna Batin Al-Qur'an

“Katakanlah Muhammad saw., kesenangan dunia adalah sebentar dan akhirat lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa”.

Zuhud sendiri tidak serta merta dimaknai dengan benar-benar meninggalkan dunia, tapi memanfaatkan keduniaan dengan seperlunya, sebatas bertahan hidup, memiliki tempat tinggal, memenuhi kebutuhan untuk makan dan pakaian yang tidak berlebih-lebihan, ataupun bila memiliki kecukupan harta, harta tersebut digunakan untuk kepentingan di jalan Allah, salah satunya seperti bersedekah. Orang yang zuhud tidak memenuhi hatinya dengan kecintaan dunia.

Lantas, apakah ketika seseorang menganut gaya hidup minimalis ala Jepang dirinya bisa dikatakan zuhud? Bila ditinjau dari dampak yang diperoleh bagi pengikutnya antara minimalist lifestyle dan zuhud memiliki kesamaan, yaitu berupa ketenanangan hati dan perasaan bahagia dalam hidup, merasa puas terhadap apa yang telah dimiliki dan kesempatan besar untuk berbagi. Namun, apakah hakikat keduanya sama? Bila ditarik dari penjelasan Sasaki sendiri dalam bukunya, yang menjadi latar belakang ia ketika memulai menjadi seorang minimalis adalah kenyataan hidup yang dialaminya, berupa kehidupan tidak terarah, gaya hidup toxic, kehilangan kebahagiaan hidup, selalu membanding-bandingkan diri dengan orang lain dan selalu merasa tidak puas dengan apa yang dipunya, hal ini menerangkan bahwa minimalist lifestyle sendiri pada dasarnya terwujud dari pengalaman hidup, sedangkan zuhud berasal dari akidah atau keyakinan yang berupa kecintaan pada Sang Pencipta dengan tujuan yang lebih komplit, bukan hanya untuk mendapatkan ketenangan dan hal positif lainnya yang berdampak pada kehidupan dunia, namun lebih dari itu, yaitu untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat kelak. Sebagaimana derajat zuhud yang paling tinggi menurut Imam Al-Ghazali ialah melepaskan diri kepada selain Allah demi meraih rida-Nya dengan mengenal-Nya dan mengetahui ketinggian kedudukan-Nya. Tujuan zuhud sendiri tertuju pada dua hal, habbum minannas dan hablum minallah.

0 Shares:
You May Also Like