…The Silent Flute. Ya, nama film yang saya tonton itu adalah The Silent Flute. Sebuah film yang dibintangi oleh beberapa bintang film senior masa itu, termasuk David Carradine, dan Elli Wallach, serta Christopher Lee. Hanya deretan nama bintang-bintang besar itulah yang membuat kami akhirnya memutuskan untuk memilih film ini.
Film ini juga beredar dengan judul The Circle of Iron. Seperti disinggung sebelumnya, cerita dibuat berdasar penuturan Bruce Lee berdasar sebuah buku Budhisme Zen. Sekenarionya sendiri dibuat oleh James Coburn—seorang aktor terkenal pada masa itu—dan Stirling Silliphant. Film dibuka dengan suatu sayembara kungfu untuk mencari seorang juara yang memiliki kemampuan bela diri yang paling mumpuni. Pemenangnya berhak mendapatkan kesempatan melawan Zetan, seorang penyihir, dan mendapatkan sebuah kitab kebijaksanaan yang berada dalam penguasaannya.
Tapi, cerita berkembang sedemikian rupa, sehingga salah seorang pendekar yang ikut bertanding, dan tidak menang—karena bertanding dengan tidak hormat akibat keberangasannya (diperankan oleh Jeff Cooper)—justru akhirnya yang mendapatkan jalan untuk memburu kitab tersebut. Dalam perjalanan Cord Sang Pencari berkenalan dengan seorang bijak—peniup seruling buta (diperankan oleh David Carradine)—yang membimbingnya dalam pencarian tersebut. Sejak awal awal si orang bijak sudah mempersyaratkan agar Cord tidak bertanya tentang apa saja yang dikerjakannya. Tapi, karena nyelenehnya perkataan-perkataan Si Orang Bijak—terutama apa-apa yang dikerjakannya—maka Cord pun tak puas dan terus mempersoalkan tindakan-tindakannya sehingga harus berpisah dengannya.
Apa saja tindakan yang dilakukan oleh Si Orang Bjak? Pertama, dia melubangi perahu-perahu milik para nelayan kecil, yang tanpa diperlakukan demikian pun, mereka sudah hidup susah. Kedua, dia membunuh seorang anak di bawah umur yang baru ditemuinya. Ketiga, dia begitu saja memaksakan diri memperbaiki sebuah bangunan, di tengah perang yang sedang berkecamuk. Rings a bell?
Tak ada pembaca Kitab Suci Al-Qur’an dan lainnya—sesungguhnya juga beberapa buku spiritual lainnya—yang gagal melihat persamaan kisah perkataan dan tindakan Sang Orang Bijak dengan apa yang dilakukan Khidhr—yang juga disifati sebagai orang bijak dalam Al-Qur’an—dalam interaksinya dengan Nabi Musa as. ketika yang disebut pertama membimbing yang disebut belakangan dalam mencari apa yang oleh Al-Qur’an disebut sebagai, “pertemuan dua samudera” (majma’ al-barayn).
Dalam berbagai kitab lain obyek pencarian ini disebut sebagai ‘ayn al-hayat (mata air kehidupan) atau the fountain of youth (air mancur kemudaan). Dalam The Epic of Gilgamesh—sebuah buku dari peradaban Messopotamia yang ditulis 2000 tahun sebelum Masehi yang juga mengandung kisah yang mirip-mirip dengan ini—ia disebut sebagai “Mulut Sungai-sungai”. Sedang dalam Legenda Dewa Ruci—yang konon merupakan karya Sunan Kalijaga—yang di dalamnya dikisahkan proses berguru Bima kepada Dewa Ruci—ia disebut mata air Tirta Prawitra.
Maka, saya pun terpesona sepanjang film. Membayangkan bagaimana sebuah buku Budhisme Zen bisa memiliki cerita yang semirip itu dengan apa yang diungkapkan oleh sebuah Kitab Suci seperti Al-Qur’an? Tapi, seperti sudah saya singgung di atas, ada perbedaan tentang benda atau obyek apa yang dicari. Dalam The Silent Flute ia adalah sebuah kitab kebijaksanaan. Sementara dalam kisah-kisah lain yang seturut dengannya, ia adalah air kehidupan. Meski, sebetulnya kesemuanya pada akhirnya juga terkait dengan kebijaksanaan. Al-Qur’an, misalnya menyebut bahwa yang dimiliki oleh Si Orang Bijak—yang biasa digelari Khidhr itu—dan tak dimiliki Musa, adalah “ilmu yang didapat langsung dari Tuhan” (‘ilm al-ladunniy).
Tapi kisah film ini belum selesai. Ketika Cord akhirnya mendapatkan kitab itu, lalu bersegara membukanya, di luar dugaannya, ternyata kitab kebijaksanaan itu bukanlah kitab yang lazim. Jika kitab-kitab biasanya berisi halaman-halaman yang memuat aksara atau tulisan, maka kitab yang satu ini ternyata berisi…. (Bersambung)