Al-Qusyairi dalam dunia keislaman merupakan sufi terkemuka abad ke-5 H atau abad ke-11 M. Lahir di Istiwa dekat kota Nisyapur, Iran sekarang, pada 376 H atau 986 H, di mana kota Nisyapur adalah salah satu pusat pengajaran ilmu-ilmu agama pada waktu itu. Nama lengkapnya, Abu al-Qasim Abd al-Karim al-Qusyairi. Sebelum terjun dalam dunia tasawuf, sebagaimana dikenal seperti saat ini, ia terlebih dahulu telah mempelajari ilmu-ilmu lain, seperti fikih, ilmu kalam, ushul fikih, sastra arab, dan ilmu lainnya.
Dalam berbagai literatur modern dan kontemporer, al-Qusyairi dikatakan pernah belajar fikih pada Abu Bakar bin Faurak wafat sekitar 407H/1016 M, dan belajar teologi kalam pada Abu Ishaq al-Isfarayaini wafat sekitar 418 H/1027 M. Dalam masalah fikih, al-Qusyairi menganut fikih mazhab Syafi’i dan juga menganut teologi Islam Asy’ariyah atau Ahl al-Sunnah wal Jama’ah.
Sementara dalam ilmu kesufian, al-Qusyairi mempelajari pada ulama’ terkenal di Nisyapur, Syekh Abu Ali ad-Daqqaq wafat sekitar 412 H/1032 M. Bahkan dikatakan bahwa ad-Daqqaq inilah yang banyak mempengaruhi pribadi dan pemikiran sufisme al-Qusyairi dikemudian hari. Bahkan al-Qusyairi dinikahkan dengan putri Syekh Abu Ali ad-Daqqaq.
Risalah al-Qusyairiyyah merupakan karya yang sangat penting dalam dunia kesufian. Isinya menjelaskan panjang lebar tentang konsep tasawuf dan kritiknya atas para pendahulunya. Bahkan, karya ini dapat dikatakan sebagai pegang dan literatur wajib dalam kajian ilmu tasawuf. Karya lain yang dianggap penting dari al-Qusyairi adalah Lataif al-Isyarat merupakan karya tafsir Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan penafsiran sufistik.
Selain dari dua karya al-Qusyairi di atas, ada karya lain yang dikira tak kalah penting, bahkan karya ini jarang dijamah dan disentuh oleh kebanyakan orang, khususnya dalam dunia tawasuf, berupa Nahwu al-Qulub yang terdiri dari dua karya, Nahwu al-Qulub al-Kabir dan Nahwu al-Qulub al-Shaqir. Karya al-Qusyairi ini dapat dikatakan sebagai karya sangat unik dan menarik. Unik dan menariknya karena al-Qusyairi dalam karyanya ini memadukan dan menggabungkan dua unsur keilmuan, antara ilmu nahwu dan ilmu tasawuf menjadi satu kesatuan yang sangat utuh.
Dalam literatur tradisional, pemahaman konvensional terkait nahwu diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang kaidah gramatikal bahasa Arab di mana fungsi setiap kata dan kondisi kata berupa harkat dan bentuk akhir dalam mengenali suatu kalimat tertentu. Pemahaman seperti ini sangat menentukan benar, tidaknya bacaan teks kitab kuning. Sementara, tasawuf secara konvensional, diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang akhlak baik dan buruk, sehingga kita bisa berperangai luhur. Dari pemahaman konvensional ini keduanya memiliki sedikit banyak kesamaan, yang pertama menyelamatkan lidah dari tergelincirnya salah ucap, yang kedua menyelamatkan dari tergelincirnya hati dari yang buruk.
Sama seperti ulama nahwu pada umumnya yang membagi kalam (bukan teologi) pada isim, fi’il dan huruf. Al-Qusyairi dalam Nahwu al-Qulub juga membagi pada tiga bagian ini. Bedanya, al-Qusyairi memberikan pengertian sesuai pendekatan sufisme. Misalnya, ketika menjelaskan tentang kalimat isim, ia membagi pada Isim Shahih dan Isim Mu’tal. Isim Shahih diartikan dalam pandangan ahl al-ibadah dan ahl al-Isyarah sebagai lafaz yang selamat dari celaan atau ilat seperti alif, wawu dan ya. Alif artikan iblis, wawu diartikan waswas, dan ya diartikan putus asa. Oleh karena itu, pengertian sufisme dari isim shahih, seorang dikatakan selamat jika mampu terhindar dari godaan iblis, rasa waswas dan keterputusasaan.
Konsep sufisme lain, ketika menjelaskan tentang mawani’u al-sharf. Di sini al-Qusyairi menjelaskan penyebabnya terjadinya mawani’u al-sharf dari segi tasawuf, seperti, al–jam’u (shighat al-muntaha al-jumu’i) seseorang yang mengumpulkan harta dunia dan pergumulan dengan orang lain. Al-Wasfu, keinginan untuk bisa lebih dikenal dan dibicarakan baik oleh banyak orang. al-Ma’rifah (alamiyah) seseorang yang mengetahui kenikmatan yang diberikan Allah namun tak mau mensyukurinya. Dan, wazan al-fi’il, seseorang yang selalu menimbang amal perbuatannya sendiri, dan menyangka setiap amalnya diterima sehingga menimbulkan kesombongan.
Demikian halnya ketika menjelaskan tentang al-i’rab wa al-bina’, sangat berbeda dengan ulama nahwu pada umumnya. Al-Qusyairi pertama-tama menjelaskan tentang rafa’ yang diartikan tingginya keinginan para sufi untuk sampai kepada Allah. Nashab diartikan kesiapan keadaan jiwa dan raga para sufi untuk taat kepada Allah. Jar diartikan rendahnya derajat kaum sufi di sisi Allah, dan Jazam diartikan tidak berpaling selain pada allah.
Dari bab ini kemudian al-Qusyairi menjelaskan lebih lanjut dimensi sufisme melalui setiap bagian. Pada bagian, ma’arif wa nakirah yang dibagi menjadi dua dimensi kemanusiaan; pertama, manusia yang dikenal, seperti menusia yang diberikan hak seperti sifat jujur. Kedua, manusia yang tak pantas dikenali seperti manusia tak berhak memiliki kenikmatan selain tidur dan makan. Di bagian, al-mubtada’u marfu’un li tajridihi ani al-awamili al-lafdiyyah, mubtada diartikan sebagai orang fakir yang sudah terlepas dari godaan harta dunia, setiap kedudukan akan ditinggalkan.
Di bagian akhir dari pembahasan Nahwu al-Qulub, al-Qusyairi begitu tampak dimensi sufismenya ketika menjelaskan tentang al–Badal. Di sini, al-Qusyairi membagi kedudukan manusia sesuai keadaannya. Missalnya, badal al-kulli min al-kulli diartikan sebagai seorang arif yang meninggalkan kehidupan dunia demi Allah. Badal al-ba’dh, diartikan sebagai orang-orang ahli ibadah yang telah meninggalkan kemaksiatan dan ganti dengan ketaatan kepada Allah. Badal ishtimal, diartikan orang-orang yang beramal murni karena Allah dan rasa takut serta berharap hanya kepada Allah. Terakhir, badal al-ghalat, keadaan orang tak diterima segala amalnya karena mengadaikan ibadahnya dengan kehidupan dunia.
Perpaduan antara ilmu nahwu dan ilmu tasawuf yang dilakukan al-Qusyairi ini merupakan corak dan gaya baru dalam kepenulisan literatur keislaman sepanjang pemikiran Islam. Muhammad Iqbal Maulana dalam tulisannya, Refleksi Sufistik dalam Nahwu al-Qulub Karya Abu Qasim al-Qusyairi, menarasikan temuan dan pengaruh terhadap ulama sesudahnya. Misalnya, mulai dari Ibnu Maimun yang menulis al-Risalah al-Maymuniyyah fi Tawhid al-Jurmiyyah, Abd Qadir bin Ahmad al-Kuhani dengan Maniyyat al-Faqir al-Munjarid wa Sayrat al-Murid al-Mutajarrid, Ibnu Ajibah menulis Khulasah Syarh Ibnu Ajibah ala Matni al-Jurmiyyah fi Tasawwuf, hingga ulama’ Nusantara seperti kiai Nur Iman Mlangi yang menulis al-Sani al-Mathalib.