Menemukan Tuhan dalam Bait Puisi Rumi

Secara diskursus, kita dapat mengetahui bahwa konsep ketuhanan merupakan salah satu yang isu yang tidak pernah bosan dan tak pernah kadaluarsa untuk didiskusikan. Diketahui bahwa beberapa aliran pemikiran memberikan argumentasi keberadaan dan kenihilan eksistensi Tuhan di realitas. Dalam wacana filsafat Islam, kita ketahui bahwa para filsuf menggunakan burhān-e mumkin untuk membuktikan eksistensi Tuhan di dunia. Salah satu bunyi burhān-e mumkin, ialah ketidakmampuan manusia untuk menciptakan dirinya sendiri, sehingga manusia membutuhkan Tuhan sebagai sebab utama yang menciptakan keberadaannya di dunia. Dan, tentu keberadaan Tuhan tidak membutuhkan penciptaan. Adapun dalam wacana teologi, para ahli kalam menggunakan argumentasi waktu untuk membuktikan keberadaan Tuhan, seperti ketiadaan Soekarno di tahun 1900, kemudian, Soekarno lahir di tahun 1901. Menurut para teolog, keberadaan Tuhan tidak terikat oleh waktu yang menandakan eksistensi-Nya selalu ada di setiap jaman, dari awal hingga akhir.

Dari berbagai pembuktiaan tersebut, para penganut berlomba-lomba untuk mencari keberadaan Tuhan di dunia. Sebagian dari mereka mencari Tuhan di ruang peribadatan, seperti masjid, gereja, dan sinagong dsb. Ada juga yang mencari Tuhan melalui pengalaman indrawi. Namun, di antara mereka ada yang tidak menemukan Tuhan dan cenderung melakukan penolakan terhadap argumentasi ketuhanan, seperti pandangan David Hume yang menjelaskan bahwa Tuhan tidak pernah ada di dunia. Manusia tidak pernah bertemu secara langsung dengan-Nya. Bahkan menurut David Hume, ilmu yang dimiliki manusia tentang Tuhan tidak dapat mengantarkan mereka pada kepastian, dikarenakan aspek-aspek metafisik sangatlah terbatas untuk diketahui manusia. Jika kita memperhatikan pandangan David Hume, maka tidak jauh berbeda dengan kaum sofisme yang juga memandang bahwa tidak adanya kebenaran di dunia. Jikapun realitas itu ada, maka manusia tidak dapat menjangkaunya. Adapun pandangan lain hadir dari kalangan para psikolog Barat, yatu Sigmund Freud. Sigmund Freud menjelaskan bahwa Tuhan adalah hasil proyeksi manusia yang diciptakan untuk menghilangkan rasa khawatir mereka terhadap kematian, sehingga setiap manusia merasakan takut dan sedih atas kematian, mereka menggunakan Tuhan sebagai penawar rasa sedih yang dialami.

Baca Juga:  Suluk Sang Penyair Arak

Menyikapi pandangan di atas, kita perlu ketahui bersama bahwa Tuhan sebagai objek yang dicari bukanlah bersifat fisik atau terikat ruang dan waktu, sebagaimana yang dijelaskan dalam argumentasi waktu. Sehingga sampai kapan pun, kita tidak akan pernah menemukan Tuhan di dunia ataupun konsep tentang Tuhan bukanlah hasil dari proyeksi manusia, melainkan manusia menyadari keterbatasan dirinya di dunia. Kita bisa bayangkan bersama bahwa bagaimana mungkin seorang Sigmund Freud bisa menghadirkan dirinya sendiri tanpa adanya bantuan kedua orangtuannya dan bagaimana mungkin orangtua Sigmund Freud bisa menciptakan dirinya secara mandiri di dunia. Secara rasional, kita dapat menghukumi bahwa segala keberadaan makhluk itu terbatas. Keterbatasan ini yang menjelaskan bahwa manusia membutuhkan Tuhan untuk menciptakan dirinya. Nan tentu, Tuhan tidak membutuhkan penciptaan di luar diri-Nya, sebagaimana dapat kita temukan dalam potongan ayat “… Dan Allah Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS. Fatir: 15). Kata kaya dalam potongan ayat tersebut tidak serta-merta kita nisbahkan kepada sifat yang dimiliki-Nya. Akan tetapi, kata kaya dalam potongan surah tersebut, dinisbahkan kepada dzat atau wujud-Nya yang tidak membutuhkan dzat lain untuk menciptakan-Nya di realitas.

Namun, perlu dipahami bersama bahwa argumentasi yang dibangun oleh para filsuf dan teolog Muslim sekadar merefleksikan pengetahuan manusia mengenai eksistensi Tuhan Yang Maha Terpuji. Sebaliknya, manusia tetap tidak dapat menemukan-Nya dalam meniti kehidupan di muka bumi. Berangkat dari permasalahan ini, penulis mengutip salah satu bait puisi Jalal al-Din Rumi yang dipandang sebagai jawaban atas keraguan sebagian manusia terhadap keberadaan Tuhan.

Salib dan umat Kristen,
Ujung ke ujung, telah kuuji.
Kupergi ke kuil Hindu, ke Pagoda kuno,
Tiada tanda apa saja di dalamnya.
Menuju ke pegunungan Herat kumelangkah,
Dan ke Kandahar kumemandang.
Dia tak di daratan tinggi
Tak pula di daratan rendah.
Ku pergi puncak gunung Kaf yang menakjubkan,
Yang ada cuman tempat tinggal burung Anqa.
Kutanya Bu Ali Sina,
Tiada jawaban, sama saja…
Kupergi ke Ka’bah di Makkah,
Dia tak di sana.
Lalu kujenguk dalam hatiku sendiri
Di situ kulihat diri-Nya. Di situ, tak di tempat lain.

Memahami puisi Jalal al-Din Rumi di atas, kita dapat mengetahui bahwa Tuhan tidak dapat ditemukan, kecuali di hati manusia. Di sini juga diperlihatkan urgensi hati sebagai perbendaharaan tersembunyi yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk bertemu dengan-Nya. Dalam salah satu hadis juga dijelaskan bahwa “Tuhan senantiasa melemparkan (memberikan) cahaya pengetahuan ke hati siapa saja.” Cahaya pengetahuan yang diberikan Tuhan di dalam hati manusia merupakan petunjuk bagi individu untuk terus berjalan menemukan keberadaan-Nya di realitas. Ini ibarat seseorang yang berjalan di gelapnya malam. Jika ia tidak memiliki cahaya penerang, maka tentu ia tidak dapat mengetahui jalan untuk mencapai-Nya. Sebaliknya, seseorang yang memiliki cahaya pengetahuan, tentu dapat mengetahui jalan menuju-Nya dan bertemu dengan-Nya, sebagaimana juga ditegaskan dalam potongan, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengannya itu mereka dapat memahami….” (QS. Al-Hajj: 46).

Baca Juga:  Mengukuhkan Nilai Kemanusiaan: Respon terhadap Terorisme

Dengan adanya hati, manusia dapat memahami setiap petunjuk ilahi yang mengantarnya menemukan Tuhan, “Lalu, kujenguk dalam hatiku sendiri. Di situ kulihat diri-Nya. Di situ, tak di tempat lain”. Suhrawardi dalam kerangka filsafat Israqiyah juga menjelaskan, hati merupakan ruang penyucian jiwa manusia untuk mengetahui jalan menuju Tuhan, sehingga jiwa yang tidak disucikan oleh hati tidak dapat mengenali jalan-Nya. Karena setiap manusia telah dibekali hati oleh-Nya, kita dapat mengetahui bahwa jalan untuk menemukan Tuhan sebanyak jumlah umat manusia di dunia. Setiap manusia memiliki potensi untuk bertemu dan berjumpa kepada-Nya, sebagaimana dipertegas dalam potongan “… Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada…..” (QS. Al-Hadid: 4). Dengan demikian, semua tampak jelas bahwa hati manusia berfungsi untuk membantu manusia memahami dan menemukan keberadaan-Nya. Bahkan dengan hati, manusia dituntut untuk menyucikan dirinya sebelum benar-benar kembali kepada Yang Maha Kuasa, innalillahi wa innailahi rajiun.

0 Shares:
You May Also Like