Suluk Sang Penyair Arak

Tulisan ini merupakan terjemahan dari status Facebook (Ghada Omar, 07/07/2020 dan نسيم الحياة, 23/02/2021) yang tergabung dalam grup Facebook (محادثة الارواح في حضرة العشق الالهي) tentang sepenggal kisah istimewa seorang pujangga paling terkenal pada masa Dinasti Abbasiyah dan sufi nyentrik, yang namanya sudah melegenda di bumi Nusantara hingga kini, yaitu Abû Nuwâs asy-Syâ‘ir al-‘Abbâsî (yang memiliki nama asli Ḥasan bin Hânî’ al-Ḥakamî). Di Indonesia nama Abû Nuwâs lebih dikenal dengan sebutan Abû Nawâs yang identik dengan sosok jenaka nan cerdik.

Dikisahkan bahwa Abû Nuwâs asy-Syâ‘ir al-‘Abbâsî (747-806/813/814 M) dikenal sebagai orang fasik, jenaka, dan peminum khamar. Sehingga dia dijuluki sebagai Penyair Khamar (Arak). Salah satu syair Abû Nuwâs yang nyaris membuat kepalanya dipenggal adalah:

دَعِ الْمَسَاجِدَ لِلْعُبَّادِ تَسْكُنُهَا # وَطُفْ بِنَا حَوْلَ خَمَّارِ لِيُسْقِيْنَا

مَا قَالَ رَبُّكَ وَيْلٌ لِلَّذِيْنَ سَكَرُوْا # وَلَكِنَّهُ قَالَ وَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَا

Tinggalkanlah masjid yang dijadikan tempat (ibadah) para abid # Dan kemarilah bersama kami menghampiri para penjual khamar agar mereka menuangkan khamar untuk kita.

Tuhanmu tidak Berkata: “celakalah bagi para pemabuk” # Akan tetapi, Dia Berkata: “kecelakaan bagi orang-orang yang salat” (lihat surat al-Mâ‘ûn (107): 4).

Mendengar syair kontroversial nan gila ini, Khalifah Hârûn ar-Rasyîd berang dan hendak memenggal kepala Abû Nuwâs. Namun, Abû Nuwâs berkata: “Wahai Amirul Mukminin, para penyair itu mengatakan sesuatu yang mereka tidak lakukan/asy-syu‘arâ’ yaqûlûna mâ lâ yaf‘alûna” (lihat asy-Syu‘arâ’ (26): 226). Akhirnya, Khalifah Hârûn ar-Rasyîd mengampuninya.

Ketika Abû Nuwâs meninggal, maka Imam asy-Syâfi‘î (767-820 M) enggan menyalatkan jenazahnya. Saat jasad Abû Nuwâs dimandikan, orang-orang menemukan beberapa bait syair di saku pakaiannya, yaitu:

يَا رَبِّ إِنْ عَظُمَتْ ذُنُوْبِيْ كَثْرَةً # فَقَدْ عَلِمْتُ بِأَنَّ عَفْوَكَ أَعْظَمُ

إِنْ كَانَ لاَ يَرْجُوْكَ إِلاَّ مُحْسِنٌ # فَبِمَنْ يَلُوْذُ وَيَسْتَجِيْرُ الْمُجْرِمُ؟

أَدْعُوْكَ رَبِّيْ كَمَا أَمَرْتَ تَضَرُّعًا # فَإِذَا رَدَدْتَ يَدِيْ فَمَنْ ذَا يَرْحَمُ

مَالِيْ إِلَيْكَ وَسِيْلَةٌ إِلاَّ الرَّجَا # وَجَمِيْلُ عَطْفِكَ ثُمَّ إِنِّيْ مُسْلِمُ

Wahai Tuhanku, meskipun dosaku besar dan banyak # Namun, aku tahu bahwa ampunan-Mu jauh lebih besar.

Jika hanya orang-orang baik yang pantas mengharap rahmat-Mu, # lalu kepada siapa lagi para pendosa meminta tolong dan berharap?

Aku memohon kepadamu, wahai Tuhanku, sepenuh hati dan penuh kerendahan diri sebagaiman Engkau Perintahkan # Jika Engkau Menolak permohonan dan harapanku, lalu siapa lagi yang belas kasih?

Aku tidak memiliki sarana apapun kepada-Mu kecuali harapan # dan keindahan kasih-sayang-Mu, dan aku masih termasuk seorang Muslim.

Imam asy-Syâfi‘î pun menangis tersedu-sedu ketika membaca untaian syair Abû Nuwâs yang sangat tulus memohon ampun kepada Allah tersebut. Akhirnya, beliau menyalatkan jenazah Abû Nuwâs bersama semua umat Islam yang hadir pada waktu itu.

Baca Juga:  Dulu isi, Sekarang Hanya Kulit

Mutiara Hikmah yang Sangat Berharga Bagi Setiap Insan

Disebutkan bahwa kisah Abû Nuwâs tersebut memberikan pelajaran yang sangat berarti bagi setiap insan agar tidak serampangan dan mudah memvonis oran lain durhaka, ahli neraka, sesat, kafir, atau murtad (Ghada Omar, 07/07/2020). Selain itu, setiap Muslim tidak boleh merasa lebih baik daripada orang lain meskipun kafir. Sebab, seseorang dinilai berdasarkan akhir hidupnya (al-‘ibrah bi al-khawâtim). Dalam hal ini, bisa jadi si kafir masuk Islam dan mengakhiri hidupnya dengan kebaikan, dan bisa jadi si Muslim menjadi kafir dan mengakhiri hidupnya dengan keburukan (Habib Zein bin Smith, Al-Fawâ’id al-Mukhtârah, 2008: 407).

Imam ‘Ali bin Abi Thalib as. menyuruh setiap Muslim berlomba-lomba menjadi orang yang paling baik di sisi Allah dan merasa paling buruk di antara manusia. Oleh karena itu, Syekh ‘Abdul Qâdir al-Jailânî mengajarkan setiap Muslim agar memandang orang lain (baik anak kecil, tua renta, bodoh, maupun kafir) lebih baik dan memiliki kedudukan lebih tinggi di sisi Allah daripada dirinya (Imam Nawawî al-Jâwî, Naṣâ’iḥ al-‘Ibâd, hlm. 12).

Di sisi lain, kisah Abû Nuwâs tersebut berkaitan erat dengan kandungan hadis: “al-fâjiru ar-râjî raḥmatallâhi ta‘âlâ aqrabu ilallâhi min al-‘âbid al-muqniṭi (pendosa yang masih mengharap rahmat Allah lebih dekat kepada Allah daripada ahli ibadah yang putus asa terhadap rahmat Allah).” Dalam hal ini, Syekh Muḥammad bin Abî Bakr menyebutkan kisah lelaki fasik yang hidup pada masa Nabi Musa as. Ketika dia meninggal, maka masyarakat langsung membuang mayatnya ke dalam comberan (tanpa dimandikan dan dikafani) karena perilakunya yang buruk.

Namun, Allah menyuruh Nabi Musa asa. mengambil mayat lelaki fasik itu untuk dimandikan, dikafani, disalati, dan dikubur dengan baik. Sebab, lelaki fasik itu adalah wali (kekasih) Allah. Dalam hal ini, meskipun lelaki fasik itu memiliki perilaku buruk, tetapi dia sempat bertobat secara sungguh-sungguh kepada Allah sebelum meninggal. Sehingga Allah Yang Maha Penyayang Mengampuni dosa-dosanya dan Memilihnya menjadi salah satu kekasih-Nya (Al-Mawâ‘iẓ al-‘Uṣfûriyyah, hlm. 3).

Baca Juga:  Penyesalan Tak Bertepi

Menurut KH. Husein Muhammad, Abû Nuwâs pernah berada dalam kehidupan yang gelap sewaktu masih muda, seperti suka mabuk, glamor, dan urakan. Namun, dia akhirnya sadar bahwa hidup glamor, urakan, dan suka mabuk akan membahayakan dirinya, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Oleh karena itu, Abû Nuwâs bertobat kepada Allah dan menjalani hidup sebagai zahid dan asketik di masa-masa akhir hidupnya (Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur, 2012: 127).

Jika Abû Nuwâs Menyindir Ahli Ibadah yang Merasa Paling Salih dan Benar

Jika kita menelan mentah-mentah syair: Tinggalkanlah masjid yang dijadikan tempat (ibadah) para abid # Dan kemarilah bersamaku menghampiri para penjual khamar agar mereka menuangkan khamar untuk kita. Tuhanmu tidak Berkata: “kecelakaan bagi para pemabuk” # Akan tetapi, Dia Berkata: “kecelakaan bagi orang-orang yang salat” (selanjutnya akan disebut Syair Arak) ini, maka besar kemungkinan kita akan marah dan langsung memvonis Abû Nuwâs sebagai orang durhaka yang menodai agama (Islam). Makanya, tidak heran jika Khalifah Hârûn ar-Rasyîd hendak memenggal kepala Abû Nuwâs karena Syair Arak itu.

Namun, saya yakin Syair Arak itu tidak lahir dari ruang yang kosong, tetapi lahir dari kondisi tertentu. Oleh karena itu, jika menggunakan kerangka berpikir maqâṣidî (maqâṣid asy-syarî‘ah), maka barang tentu Syair Arak itu memiliki ‘illah (alasan) dan maqṣûd (tujuan) tertentu. Syair itu hanyalah wasîlah (sarana) untuk merespon realitas tertentu yang sedang meresahkan dan mengganggu pikiran Abû Nuwâs.

Dalam hal ini, bisa jadi Abû Nuwâs merespon dan mengkritik kebiasaan buruk Muslim tertentu melalui syair itu. Semisal kebiasaan buruk beberapa ahli ibadah yang merasa paling benar dan suci sendiri serta paling berhak menghuni surga. Sehingga mereka suka meremehkan, menyalahkan, menyesatkan, memurtadkan, atau mengafirkan orang lain. Konon ‘Abdurraḥmân bin Muljam adalah ahli tahajud, puasa, dan hapal Al-Qur’an. Namun, dia pulalah yang membunuh khalifah keempat umat Islam, Imam ‘Ali bin Abi Thalib as., sepupu sekaligus menantu kesayangan Rasulullah saw.

Padahal Allah mensyariatkan ibadah (seperti salat, puasa, zakat, haji, dan lainnya) salah satu tujuannya untuk membersihkan dan mendidik jiwa manusia (Muḥmmad Abû Zahrah, Uṣûl al-Fiqh, hlm. 364). Ibadah sejatinya mengajarkan setiap Muslim untuk berlaku tawaduk karena merasa hina dan tidak berdaya di hadapan Allah Yang Maha Agung. Bukan sebaliknya, yaitu merasa paling salih dan suci karena mampu melaksanakan salat ataupun puasa. Dalam hal ini, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah berpesan kepada setiap Muslim yang diberikan kemudahan melaksanakan salat malam atau berpuasa agar tidak memandang rendah orang-orang yang sedang tidur atau orang-orang yang tidak berpuasa.

Baca Juga:  Syair Makrifat Kedua Haidar Bagir

Imam Ḥâtim al-Aṣam mengingatkan setiap Muslim agar tidak tertipu dengan banyaknya ibadah yang dilakukan. Sebab, iblis akhirnya menjadi makhluk terkutuk meskipun pernah beribadah kepada Allah sekian lamanya (al-Fawâ’id al-Mukhtârah, hlm. 407). Dalam hal ini, iblis (yang tercipta dari api) merasa lebih baik daripada Nabi Adam as. (yang tercipta dari tanah) sehingga tidak mau melaksanakan perintah Allah, yaitu bersujud kepada Nabi Adam as. Allah mengecam sikap takabur iblis tersebut, dan mengusirnya dari surga (Al-A‘râf (7): 11-13).

Di sisi lain, bisa jadi Abû Nuwâs mengingatkan muṣallin (orang yang melaksanakan salat) agar tidak “mengotori” masjid yang dijadikan tempat ibadah para abid dengan kesombongan, keangkuhan, dan merasa paling salih karena bisa melaksanakan salat fardu secara berjamaah di masjid. Bisa jadi Abû Nuwâs juga mengkritik muṣallin yang lalai terhadap salatnya. Sehingga salatnya tidak memberikan energi positif bagi jiwanya, yaitu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar (Al-‘Ankabût (29): 45).

Rasulullah saw. menegaskan bahwa siapapun yang salatnya tidak bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka dia akan semakin jauh dari Allah. Dengan demikian, salatnya menjadi rusak seperti rusaknya baju yang sudah usang, dan kemudian dilemparkan kepada wajahnya (Nasrullah Ainul Yaqin, Nalar Kaum Sarungan, 2021: 28). Makanya, tidak heran jika Allah berfirman: “Maka celakalah orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat ria, dan enggan (memberikan) bantuan” (Al-Mâ‘ûn (107): 4-7).

Menurut Imam al-Marâgî, ketika salat seseorang tidak memberikan efek bagi kebaikan jiwanya, maka salat itu hanya menjadi ritual lahir semata yang kosong dari ruh dan keagungan ibadah itu sendiri. Dengan demikian, dia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kecelakaan, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Ma‘ûn (107): 4-5 (Nalar Kaum Sarungan, hlm. 27-28). Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…

0 Shares:
You May Also Like