Dosa & Ibadah dalam Bait Puisi Jalal al-Din Rumi

Oleh: Nurul Khair

Ahlul Bait University Tehran, Iran

Allah swt. menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya penciptaan serta agar beribadah kepada-Nya, sebagaimana Al-Qur’an terangkan, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyebah-Ku” (QS. Az-Dzariyat [51]: 56). Dalam argumentasi penciptaan (burhān-e fitrah) juga dijelaskan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan suci, sehingga hendaknya mereka kembali kepada-Nya dalam kondisi yang suci pula. Menyikapi firman QS. Az-Dzariyat [51]:56 dan argumentasi penciptaan, kita mengetahui bersama bahwa manusia memiliki tugas dan tujuan untuk beribadah kepada Allah swt. sebagai proses untuk menuju Eksistensi Yang Maha Suci (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un).

Suhrawardi dalam kerangka filsafat Iluminasi juga menyebutkan bahwa filosofi dari inna lillahi wa inna ilaihi raji’un ialah kembali dalam keadaan fitri atau suci dengan memanfaatkan potensi hati sebagai modal utama yang diberikan Allah swt. kepada manusia di dunia. Akan tetapi, menurut Suhrawardi tidak semua manusia dapat mengaktualkan potensi hatinya, dikarenakan berbagai perbuatan dosa yang ia lakukan. Allah swt. telah menutup mata hati mereka, sehingga mereka tidak dapat lagi melihat petunjuk-Nya sebagai proses kembali dalam keadaan suci.

Selaras dengan pandangan Suhrawardi, Jalal al-Din Rumi juga menyebutkan impak atau bahaya dosa terhadap diri manusia yang dimuat dalam salah satu bait puisinya;

“Jangan remehkan dosa kecil, meski sehelai rambut. Karena jika rambut itu masuk ke dalam matamu, ia akan menghalangi pandanganmu” (Matsanawi jilid 2, bait 17).

Berdasarkan bait puisi Rumi, kita memahami bersama bahwa dosa dapat menutup pandangan manusia untuk mengetahui petunjuk-Nya, sehingga segala yang dilihat oleh manusia terlihat kabur. Ini persis seperti seseorang yang memiliki mata minus, ia tidak dapat melihat realitas secara utuh, melainkan melihat realitas sekitar secara samar.

Baca Juga:  Sabar: Syarat Meraih Cinta-Nya

Perlu dipikirkan bersama bahwa jika seseorang senantiasa melakukan dosa-dosa kecil secara berkelanjutan, maka hatinya akan gelap sehingga manusia tidak mampu mengetahui kebenaran realitas, sebagaimana diperjelas dalam Al-Qur’an “Dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan telinga mereka, agar mereka tidak lagi memahaminya…” (QS. Al-Isra [17]:46)

Perbuatan dosa tidak sekadar menggelapkan hati manusia akan tetapi juga menghilangkan kenikmatan beribadah. Rumi dalam salah satu bait puisinya juga mengatakan bahwa:

“Kita telah berlelah menumpuk puluhan karung gandum. Tapi gandum-gandum itu selalu berkurang. Kita tak pernah merenung apa penyebabnya. Padahal tikus-tikus telah merusaknya” (Matsanawi jilid 1, bait 377-378).

Jika kita menganalisis bait puisi Rumi tersebut, maka diketahui bahwa karung dianalogikan sebagai ibadah yang setiap hari kita lakukan. Sedangkan, tikus diibaratkan sebagai dosa yang kita kerjakan. Dengan demikian, kita memahami betapa banyak ibadah yang kita lakukan, namun semuanya hilang akibat dosa yang kita perbuat di dunia. Kita tidak lagi memikirkan apa penyebab hilangnya ibadah yang kita praktikkan. Bahkan kita tidak merasakan nikmatnya ibadah atas dasar tidak adanya petunjuk dan gelapnya hati, sebagaimana petikan puisi Rumi,

“Begitu banyak doa-doa tertolak, lantaran perbuatan dosa yang menyebabkan hati manusia gelap” (Matsanawi jilid 3, bait 169).

Sampai di sini, kita dapat mengetahui bersama bahwa dosa memiliki impak atau pengaruh yang luar biasa terhadap tujuan penciptaan manusia di dunia. Menurut Rumi, dosa sesungguhnya menggelapkan hati seseorang, meskipun pelakunya tidak merasakan dampak buruknya. Ibarat rokok yang membahayakan kesehatan seseorang. Perokok tentu tidak merasakan bahaya rokok bagi keselamatan dirinya. Mereka justru terus mengisap sehingga pelan-pelan menggerogoti bagian terdalam tubuhnya hingga rusak dan tak berfokus. Begitupun dengan dosa, menggerogoti hati manusia hingga tidak lagi menerima petunjuk-Nya, sebagaimana fungsi hati sebagai perantara ilmu pengetahuan-Nya di realitas.     

Baca Juga:  KENAPA MASIH ADA SAJA ORANG BERAGAMA YANG MEMBENCI AKAL?

Mereka yang telah gelap hatinya, tidak dapat mengaktualkan tujuan penciptaan. Karena, peribadahan tidak terasa nikmat lagi di mata mereka. Sebaliknya, perbuatan dosa adalah sesuatu yang lazim untuk dilakukan di muka bumi. Akibatnya, mereka benar-benar jauh dari petunjuk-Nya. Tak ada  jalan, kecuali mengakui berbagai kesalahan buruk yang ia lakukan di dunia sembari mengetuk pintu taubat sebagai harapan kembali ke jalan-Nya.

 

0 Shares:
You May Also Like