Ateis yang Tulus Bukanlah Ateis

Oleh: Faqry Fakhry

Muhib di Jalan Menuju Mahbub

Ateisme berasal dari a-theism. Maknanya, bersifat nirtuhan. Ateis bisa bermakna penolak keberadaan Tuhan, tapi—khususnya di dunia akademik—istilah ini juga bisa dipahami sebagai orang yang berkeyakinan nirtuhan personal. Di sisi lain ada istilah teis. Maknanya, selain terkait dengan keyakinan yang melibatkan kepercayaan kepada Tuhan, juga bisa dipahami sebagai orang-orang memiliki kepercayaan kepada Tuhan yang bersifat personal. Orang seperti ini tak percaya bahwa Tuhan adalah person yang memiliki sifat-sifat manusia. Mereka lebih senang percaya kepada gagasan tentang kebenaran, lebih ingin setia kepada gagasan dan praktik kebaikan serta lebih gandrung kepada dan mempromosikan segala sesuatu yang indah. Yang sebagian ateis sering tak tahu—bahkan juga para teis alias para penganut agama—bahwa bahkan dalam agama, pada puncaknya Tuhan juga dipahami dengan cara seperti pemahaman kaum Ateis jenis ini. Bahwa, dalam segenap tanazul (tindakan turun, descent) Tuhan ke martabat yang lebih rendah/lahir sehingga membuat-Nya mengambil sikap sebagai person—seperti murka, cinta, rela/senang bahkan, dalam beberapa hadis disebutkan “tertawa”, dsb—Allah adalah laysa ka mitslihi syai’.

Dalam martabat-Nya yang paling luhur ini, Dia sepenuhnya impersonal. Tak ada sama sekali sifat makhluk pada diri-Nya. Kalau pun mau diberi atribut, maka paling jauh kita hanya bisa mengatakan bahwa dia al-Haqq (Sang Kebenaran), al-Muhsin (Sang Kebaikan), dan al-Jamaal (Sang Keindahan). Sering tanpa mereka sadari, setidaknya sebagian Ateis juga berbagi kepercayaan yang sama.

Saya sedang berbicara tentang (sebagian) Ateis yang memiliki sifat seperti di atas. Setiap pada kebenaran, baik hati dan dermawan, juga sangat mengapresiasi keindahan. Terkait dengan kaum Ateis seperti ini, kita pun harus bertanya, dari mana sumber kesetiaan mereka kepada kebenaran, kebaikan hati dan kedemawanan mereka, dan bagaimana bisa mereka begitu mengapresiasi keindahan? Menurut saya, akarnya ada dalam fitrah kemanusiaan mereka. Dan seperti disebutkan dalam Alquran.

Baca Juga:  Wasiat Sufistik Imam Khomeini

“Maka, hadapkanlah wajahmu kepada din dalam keadaan lurus. (Yakni) fitrah Allah yang atas (model) itu manusia diciptakan. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Rum [30]: 30).

Pasalnya gagasan tentang Tuhan sudah kandung dimonopoli oleh orang-orang yang beragama secara lebih formal institusional ketimbang spiritual. Dan itu bermakna seolah Tuhan hanya memiliki sifat personal. Padahal justru sifat “asli” Allah adalah impersonal. Jadilah mereka sendiri—orang-orang Ateis itu—berpikir bahwa mereka tak bertuhan. Padahal, jangan-jangan, itulah makrifat ketuhanan, itulah—seperti kata Nabi sendiri—(awal) agama. Bahkan mereka mungkin lebih beragama ketimbang orang-orang beragama yang tuna spiritualitas/kebatinan—termasuk yang kehilangan kesadaran tentang Tuhan Yang Maha Batin/Impersonal. Orang-orang begini sulit untuk disebut sebagai kafir. (Tentang penjelasan makna “kafir” ini lihat Haidar Bagir, “Non-Muslim Tak Identik dengan Kafir”, dalam Islam Tuhan Islam Manusia).

Ateis dalam makna ini, dan bukan orang angkuh yang hanya cari popularitas atau mengikuti hawa nafsu kesombongan yang mendorongnya menjadi pembangkang. Mudah-mudaan Allah terima amal-amal baik mereka.

“Apa lagi balasan bagi orang-orang yang berbuat ihsan (kebaikan yang sempurna) kecuali ihsan (dari Allah) juga?” (QS. Ar-Rahman [55]: 60).

Dan mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepada mereka dan kepada kita semua.

0 Shares:
You May Also Like