Syekh Muḥammad Amin al-Kurdî (tokoh terkemuka Tarekat an-Naqsyabandiyah) menyebutkan bahwa tubuh Rasulullah saw. dan para Nabi yang lain tetap utuh (tidak rusak) di dalam kubur, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis Rasulullah saw. bersabda, “Ketika seorang hamba membaca salawat kepadaku, maka salawat itu sampai kepadanya meskipun aku sudah wafat. Sebab, Allah mengharamkan bumi memakan (merusak) tubuh para Nabi” (Tanwîr al-Qulûb, hlm. 45).
Oleh karena itu, Syekh Muḥammad Amin al-Kurdî menegaskan bahwa Rasulullah saw. dan para Nabi yang lain senantiasa hidup dalam kuburnya. Makanya, istri-istri Rasulullah saw. tidak punya masa iddah. Sebab, hakikatnya Rasulullah saw. tidak pernah wafat. Selain itu, Syekh al-Wafâ’î (seorang ulama yang ahli makrifat) pernah bermimpi Rasulullah saw. Dalam hal ini, Rasulullah saw. menjelaskan tentang dirinya yang mulia seraya berkata: “Aku bukanlah mayat. Kematianku hanyalah sebuah tanda bagi tersembunyinya diriku dari orang yang tidak mengerti tentang Allah. Namun, orang yang mengerti tentang Allah, maka inilah aku melihatnya dan dia melihatku” (hlm. 45-46).
Hidupnya Rasulullah saw. dalam kubur, banyak dibuktikan oleh beberapa ahli makrifat (‘ârifîn). Mereka bisa bertemu dan berbicara dengan Rasulullah saw. dalam keadaan sadar dan terjaga. Dalam hal ini, wali quṭub Syekh Aḥmad ar-Rifâ‘î senantiasa merindukan sosok Rasulullah saw. Oleh karena itu, ketika beliau haji bersama sembilan puluh ribu jemaah dan ziarah ke Madinah, maka beliau meminta Rasulullah saw. mengulurkan tangan kanannya agar kedua bibirnya bisa mengecupnya. Akhirnya, Rasulullah saw. mengulurkan tangannya yang indah dan diberkahi, dan langsung dikecup oleh Syekh ar-Rifâ‘î. Peristiwa ini disaksikan oleh orang-orang yang hadir pada waktu itu (hlm. 45 dan Habib Zein bin Smith, Al-Fawâ’id al-Mukhtârah, 2008: 596).
Dalam kesempatan lain, Habib ‘Alî bin ‘Alawî Khâli‘ Qasam membaca “As-Salâmu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa raḥmatullâhi wa barkâtuh” (baik saat salat maupun di luar salat, baik di Tarim maupun di luar Tarim) secara berulang-ulang sampai mendengar balasan langsung dari Rasulullah saw. Dalam hal ini, Rasulullah saw. membalas salam Habib ‘Alî Khâli‘ Qasam tersebut seraya berkata: “Wa ‘alaika as-salâm, yâ syekh”. Orang-orang yang hadir pada waktu itu juga mendengar salam Rasulullah saw. tersebut berkat kekariban mereka dengan Habib ‘Alî Khâli‘ Qasam (al-Fawâ’id al-Mukhtârah, hlm. 217).
Selain itu, Habib ‘Abdurraḥmân al-Masyhûr pernah berjumpa Rasulullah saw. dalam keadaan terjaga. Dalam hal ini, beliau memberikan ijazah “lâ ilâha illallâh Muḥammadur rasûlullâh” kepada Habib ‘Abdurraḥmân al-Masyhûr (hlm. 595-596).
Menggapai Martabat Kelelakian Sejati (Maqâm ar-Rujûliyyah)
Sebagian ahli makrifat menyebutkan bahwa melihat Rasulullah saw. dalam keadaan terjaga merupakan kelezatan yang melebihi kenikmatan-kenikmatan surga. Selain itu, sebagian wali Allah menganggap seseorang telah mencapai maqâm (martabat/kedudukan) kelelakian sejati jika bisa melihat Rasulullah saw. dalam keadaan terjaga (al-Fawâ’id al-Mukhtârah, hlm. 595).
Dalam hal ini, Syekh Ibrâhîm al-Matbûlî pernah bermimpi Rasulullah saw. dan mengabarkan kepada ibunya. Namun, ibunya berkata: “Kamu bukan lelaki sejati, dan kamu tidak akan menjadi lelaki sejati jika tidak bisa berjumpa dengan Rasulullah saw. dalam keadaan terjaga”.
Setelah itu, beliau bermimpi Rasulullah saw. lagi dan mengabarkannya lagi kepada ibunya. Namun, ibunya tetap berkata bahwa beliau tidak akan menjadi lelaki sejati jika tidak bisa bertemu Rasulullah saw. dalam keadaan terjaga. Beberapa waktu kemudian, beliau mendatangi ibunya lagi seraya berkata: “Sesungguhnya aku melihat Rasulullah saw. dalam keadaan terjaga semalam”. Sang ibu menjawab: “Sekarang kamu sudah berada dalam maqâm ar-rujûliyyah (martabat/kedudukan kelelakian sejati)” (hlm. 595).
Menurut Habib Zein bin Smith, memperbanyak baca salawat bisa menyebabkan bertemu dan berkumpul dengan Rasulullah saw., baik dalam keadaan tidur (mimpi) maupun dalam keadaan sadar/terjaga. Oleh karena itu, wirid sebagian wali Allah adalah membaca salawat sebanyak mungkin, seperti empat puluh ribu kali, tujuh puluh ribu kali, dan bahkan seratus ribu kali (hlm. 218).
Habib ‘Abdul Qâdir bin Aḥmad menyebutkan bahwa membaca Dalâ’il al-Khairât (kitab salawat pertama karya Imam al-Jazûlî, Maroko) lima kali setiap hari merupakan quṭub (poros) wirid harian. Oleh karena itu, beliau membaca Dalâ’il al-Khairât secara keseluruhan (sampai khatam dari ḥizb hari Senin sampai ḥizb hari Ahad) setiap habis salat fardu (lima kali sehari) setiap hari (hlm. 218-219).
Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam.