Yusuf Al-Qaradhawi: Upaya Meluruskan Dikotomi antara Agama dan Politik

Oleh: Asep Saepullah

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Dewasa ini, politik menjadi salah satu kata yang paling banyak diperbincangkan oleh masyarakat. Bagi sebagian orang, politik diartikan hanya sebatas hal yang menjadi urusan parpol, atau yang menyangkut dengan pemberian suara atau pemilihan umum. Sebagian orang lainnya, kata politik sering diartikan sebagai perebutan kekuasaan, keculasan, kecurangan, dan segala perilaku buruk yang bertujuan sekadar untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.

Dari kedua definisi politik di atas, muncul karena budaya politik di Indonesia yang ditampilkan ke publik selama ini adalah seperti itu. Sementara itu, sebagian masyarakat Barat mendefinisikan politik sebagai “seni mengatur negara” (Amin Sudarsono, 2010: 59). Akhir-akhir ini bermunculan opini yang menginginkan adanya dikotomi (pemisahan) antara agama dan politik, dengan alasan bahwa negara bukan domain agama.

Agama hanya dipandang sebagai ritualitas yang mengikuti kepentingan tertentu, kepentingan partai, kepentingan kelompok atau tujuan jangka pendek lainnya. Bagi mereka, Allah beserta perintah, larangan, dan ketentuan-Nya, tidak punya tempat dikancah perpolitikan. Gagasan tersebut sebenarnya mengikuti teori Machiaveli yang memisahkan politik dari etika dengan tujuan menghalalkan segala cara demi sebuah kekuasaan (F. Budi Hardiman, 2011: 16-17).

Pemikiran tersebut biasanya dianut oleh para penindas yang diktator dan selalu menyalahgunakan kekuasaan serta memakai kekerasan untuk menghadapi rakyatnya, terutama terhadap kalangan oposisi. Segala cara akan dilakukan termasuk memboikot, ataupun mempidanakan kelompok lain dengan alasan keamanan negara dan stabilitas nasional serta alasan absurd lainnya.

Yusuf Al-Qaradhawi adalah sebuah fenomena di era kontemporer. Ulama kelahiran Shaft Turaab, Mesir, 9 September 1926 silam, ini ibarat jawaban terhadap berbagai persoalan kontemporer yang dihadapkan pada umat, termasuk persoalan dikotomi antara agama dan politik. Pemisahan ilmu secara dikotomi itu, menurut Al-Qaradhawi, telah menghambat kemajuan umat Islam.

Baca Juga:  BERTEMU AL-GHAZALI DI BASEMENT SEBUAH TOKO BUKU DI HARVARD SQUARE (BAGIAN 2)

Dalam pandangan Islam, politik berporos pada penegakan keadilan di tengah manusia dalam pengertian yang seluas-luasnya. Sementara itu, hal penting dalam pemaknaan politik menurut Barat terletak pada dua poros: pertama, kekuatan dan penguasaan; dan kedua, maslahat dan manfaat. Umat manusia tidak akan menjadi lebih baik kecuali dengan menggunakan sistem politik yang mengikuti norma agama dan kaidah-kaidah etika.

Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, apabila dikaitkan dengan agama, politik berarti keadilan bagi rakyat, pemberian hak yang sama, membantu rakyat yang tertindas dan menghukum para pelaku kejahatan, mengambil hak rakyat lemah dari yang kuat, memberikan kesempatan yang sama, melindungi rakyat kelas bawah seperti anak yatim, fakir miskin, para perantau dan yang terpenting memenuhi hak rakyat banyak (Yusuf Al-Qaradhawi, 2008: 78).

Tentu saja, agama yang benar, jika masuk dalam dunia politik, akan memberikan pengaruh positif dan mengarahkan kepada kebaikan, menunjukan jalan yang benar dan menghindarkan dari kesesatan dan kesalahan, serta tidak akan menghukum pencuri kelas kecil sementara membiarkan pencuri kelas berat, seperti para koruptor. Lebih lanjut, ia akan berusaha keras untuk mencapai tujuan manusia yang paling utama, yaitu meng-Esakan Allah dan menjadi khalifah-Nya.

Ajaran Islam yang komprehensif dan mendalam, menurut Yusuf Al-Qaradhawi, akan memberikan sesuatu yang tersembunyi tetapi hidup kepada para pemerintah atau dengan istilah lain, memberikan an-nafs al-lawwamah” (jiwa yang selalu menyesali) yang membuatnya takut untuk menerima suap dengan alasan hadiah (Yusuf Al-Qaradhawi, 2008: 79).

Oleh sebab itu, seorang politikus yang berpegang pada agamanya, berarti dia berpegang pada tali agama yang sangat kuat. Karena, agama akan menjaganya dari segala perbuatan jahat dan kemunafikan yang hina. Jika dia berbicara, dia tidak akan berdusta; jika berjanji saat kampanye, dia tidak akan mengingkari; jika dia diberi amanah, dia tidak akan berkhianat, karena terikat oleh ajaran yang luhur dan akhlak mulia.

Baca Juga:  Sufisme dan Ottoman

Inilah alasan mengapa para reformis, ulama dan tokoh pergerakan Islam akhirnya terjun langsung ke dalam politik praktis dan melakukan perubahan, sekaligus merealisasikan ajaran Islam yang komprehensif (An-Nahl [16]: 89). Maka dari itu, mendikotomikan (memisahkan) agama dari politik, sama saja dengan menghancurkan sebagian besar hakikat agama itu sendiri.

Sumber bacaan:

Amin Sudarsono. Ijtihad Membangun Basis Gerakan. Jakarta: Muda Cendikia, 2010.

  1. Budi Hardiman. Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011.

Yusuf Al-Qaradhawi. Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik: Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme terj. Khoirul Amru Harahap. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.

0 Shares:
You May Also Like