Belajar Kemanusiaan dari Gus Dur

Petang itu, figur sederhana, cerdas, dan pencinta kedamaian menghembuskan napas terakhirnya, tuk menemui Sang Kekasihnya. Doa dan ayat suci dari ribuan bibir dilantunkan penuh sayup. Dari rumah duka, pencinta Gus Dur melepas kepergian sang kekasih dengan mata berkaca penuh keharuan. Bangsa Indonesia kehilangan Bapak Bangsa. Terasa sakit,  namun seperti yang selalu diamanatkan almarhum hanya Allah-lah Yang Maha Abadi sebagaimana firman-Nya, “Semua yang ada di bumi akan binasa, yang kekal hanya Allah, pemilik kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahman [55]: 26-27).

Sejak Gusdur wafat di 30 Desember 2009, sejak itu pula cucu dari pendiri NU ini, Khadratu Syekh K.H Hasyim Asyari oleh pencintanya terus dikenang dan menjadikan “Desember” sebagai “Bulan Gus Dur”. Nama Gus Dur begitu melekat di hati banyak orang sehingga hari wafatnya menjadi hari yang terus dikenang setiap tahun. Berbagai komunitas, pencinta, pengagum dan pengikut Gus Dur terus membincang pemikiran Gus Dur, entah itu di cafe, warung kopi, sampai pada ruang seminar untuk mengenang dan mengambil semangat baru dari sosok Guru Bangsa.

“Gus Dur dicintai manusia, karena mencintai kemanusiaan. Kacamata Gus Dur adalah kemanusiaan. Bukan lagi golongan, kelompok atau agama,” kata Gus Mus. Hal ini pun diamini banyak orang, terbukti setiap hari kita menyaksikan di pusaranya selalu disesaki pengunjung, ribuan orang dari pagi sampai malam dan sampai pagi kembali para peziarah datang silih berganti, tak ada jeda, mereka memanjatkan doa dan berharap keberkahan dari Allah swt. melalui perantara dirinya. Pencinta Gus Dur pun bukan hanya dari orang yang beragama Islam saja, akan tetapi dari penganut agama lain, termasuk dari penganut kepercayaan lokal.

Baca Juga:  Ilmu Mantik di Dunia Islam (1) : Sebuah Pengantar

Gus Dur memang dicintai banyak orang bukan karena identitas agama yang melekat di dirinya, akan tetapi karena aktualisasi nilai ajaran agama yang dia hidupkan, semangat pembebasan dan nilai-nilai kemanusiaan menjadi titik pijak pemikiran dan orientasi perjuangannya, Gus Dur pernah menegaskan, “Tidak penting apa agamamu atau sukumu kalau kau bisa malakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah bertanya apa agamamu”.

Hal inilah yang mulai hilang dari kita, jati diri bangsa yang santun penuh kasih dan toleran terhadap perbedaan dirongrong oleh sikap angkuh dan kepongahan label identitas kelompok atau golongan yang merasa pemilik tunggal kebenaran, ketidak-arifan menyikapi perbedaan menggerus sisi-sisi kemanusiaan.

Di mana-mana kita saksikan orang saling sikut berebut kuasa, berebut surga tak peduli politisi ataupun agamawan. Dengan alasan kuasa menginjak yang lemah, atas nama ketuhanan menggilas kemanusiaan, kelompok minoritas dipersekusi, dihalangi kebebasannya dengan alasan tak sepaham. Cukup ironi memang sebab nilai-nilai kemanusian yang lama diperjuangkan Gus Dur kini banyak ditinggalkan.

Mimbar mimbar ceramah beralih fungsi, dari pelanjut pesan hikmah para Nabi menjadi corong perpecahan, menjadi panggung ujaran kebencian yang memandang semua yang berbeda adalah musuh, jika tak sepaham siapa saja bisa dihantam, jika tak seidiologi seenaknya dipreteli atau dipersekusi. Nabi saw. yang susah payah mengislamkan banyak orang, kini kita melakukan sebaliknya, mengafirkan dan mengeluarkan banyak orang dari Islam.

Oleh karna itu, seharusnya di setiap moment Desember hendaknya kita merefleksikan kembali pesan-pesan kemanusian Gus Dur, bahwa di atas segalanya adalah kemanusiaan. Kita masing masing berusaha mengambil peran terkecil yang bisa kita lakukan dengan mencontoh apa yang pernah diperjuangkan Gus Dur untuk bangsa dan kemanusian.

Baca Juga:  Seni Hidup Ala Sufi

Mari belajar dari Gus Dur, memandang yang lain dari kacamata kemanusiaan sehingga menjadikan diri tak anti terhadap perbedaan dan mengedepankan sikap toleran, melihat yang lain sebagai manusia seutuhnya yang masing-masing tercipta dalam perbedaan. Sehingga dengan demikian kita persiapkan diri untuk melanjutkan perjuangan beliau membawa bangsa ini pada kedamaian, saling menghargai satu sama lain dengan penuh toleran, mengembalikan jati diri bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika.

Gus Dur telah menuliskan kisah panjang hidupnya dengan menjadikan dirinya sebagai tameng kokoh yang berdiri tegap membela kaum yang diperlakukan tidak adil, membela kelompok minoritas yang ditindas, dizalimi, dan diperlakukan secara tidak adil, dirampas hak primordialnya. Gus Dur dan kemanusiaan memang merupakan dua hal yang tidak terpisahkan.

Memang tak mudah mencontoh sosok seperti Gus Dur, dibutuhkan keluasan hati, kebesaran jiwa menerima yang lain sebagai satu entitas yang memang tercipta berbeda dengan diri kita, syaratnya membuka cakrawala berpikir, membuka ruang perjumpaan yang seluas-luasnya dengan identitas yang lain. Inilah yang kita sebut piknik, yakni piknik dengan memperbanyak pengalaman berkumpul atau berinteraksi dengan identitas yang berbeda, maupun piknik intelektual yakni dengan banyak membaca apa saja dari karya para pemikir keagamaan membuka ruang dialog untuk menambah cakrawala pengetahuan.

Pemahaman terhadap ragam pemikiran, mazhab, aliran atau bahkan terhadap agama lain memang perlu didalami agar kita kaya perspektif. Semakin kaya pengetahuan akan semakain toleran kita pada yang berbeda, seperti kata Imam Ali ra. “Manusia cenderung memusuhi sesuatu yang tidak dia ketahui”. Oleh sebab itu, perlu membuka cakrwala pengetahuan yang seluas-luasnya, karena sikap intoleran lebih sering hadir disebabkan ketidak-tahuan.

Jadi, “Kalau kita temukan masih ada orang yang berpandangan sempit kata anak zaman now, itu kurang piknik, Gus Dur sudah piknik ke mana mana”, ungkap Gus Mus diacara haul ke-8 Gus Dur yang disambut tawa ribuan hadirin. Gus Dur memang seorang sosok yang bijak dengan selera humor yang tinggi, tak gampang resah dengan persolan hidup yang menimpanya, dia akan menghadapi dengan penuh canda seperti slogan yang sering dia ungkapkan,  “Gitu aja kok repot“.

Baca Juga:  Dimensi Tasawuf Dalam Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan

Kata orang, dalam krisis, karakter asli seseorang akan muncul. Ketika memikul tanggungjawab menjadi presiden pada masa awal reformasi, kekacauan di mana-mana, optimisme yang awalnya muncul seketika ditutup kabut pesimisme. Gus Dur mempunyai jiwa Indonesia sepenuh-penuhnya. Dia tidak menyalahkan orang lain, tidak juga menyalahkan diri sendiri. Apa yang diperbuat Gus Dur waktu itu menjadi tabungan keindonesiaan saat ini. Kita sekarang selalu menunjuk jasa Gus Dur sebagai teladan, sebagai pengingat, dan sebagai rasa sayang kita pada Indonesia.

Bangsa Indonesia, sejak kepergiannya memang sangat kehilangan tokoh besar yang menjadi panutan, kita rindu sosok yang selalu memberi kesejukan untuk semua. Alfatihah, semoga engkau ditempatkan di sisi Tuhan pada maqam tertinggi para waliyullah.

Terakhir, saya ingin berteriak, “Gus, Tanpamu semua jadi repot”.

0 Shares:
You May Also Like