Oleh: Darmawan
Ketua Program Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf
Di dalam kitab Mukasyafah al-Qulub Imam al-Ghazali menyandingkan kisah yang penuh hikmah yaitu Abu al-Layts meriwayatkan bahwa ‘Umar ra. datang menemui Nabi saw. sambil menangis. Nabi saw. bertanya, apa yang engkau tangisi wahai Umar? “Di pintu ada seorang pemuda yang telah menggetarkan jiwa saya, ia menangis”. Jawab Umar. Nabi pun bertanya kepada pemuda tersebut, mengapa engkau menangis wahai anak muda? “Ya Rasul, saya menangis karena banyak dosa, dan saya takut murka Tuhan kepada diriku”. Rasul pun bertanya kembali, apakah engkau menyekutukan Allah? “Tidak”, kata pemuda itu. Ataukah engkau membunuh seseorang tanpa hak? “Tidak”. Kalau begitu “Allah mengampunimu, walaupun dosamu tujuh langit, bumi dan gunung”. “Dosa saya lebih besar dari pada itu semua”. Rasul bertanya, mana yang lebih besar dosamu atau al-‘Arsy? “Dosaku lebih besar ya Rasulullah”. Jika demikian, lebih besar mana dosamu atau ampunan Allah? “Tentu Allah Yang Maha Besar dan Agung”, tegas pemuda. Rasul bersabda, “Tidak ada yang mengampuni dosamu yang besar kecuali Tuhan Yang Maha Besar, yakni Allah Yang Besar pengampunan-Nya”.
Singkat cerita, Rasullah meminta kepadanya untuk menceritakan perbuatannya. “Saya malu kepada Anda”. Katakan saja apa dosamu, wahai anak muda? Pemuda pun menjawab, “Saya biasa menggali kuburan sejak umur tujuh tahun. Terakhir, ada seorang budak perempuan dari kaum Anshar meninggal dunia. Saya gali kuburannya dan mengambil kain kafannya. Baru saya beranjak beberapa langkah dari tempat itu, setan menggoda saya. Saya pun kembali untuk menyetubui wanita itu, akan tetapi belum jauh aku berjalan dari tempat itu, tiba-tiba mayat itu berdiri dan berkata, “Celaka engkau, hai anak muda. Tidakkah engkau malu kepada Hakim yang mengambil tebusan dari orang zalim untuk orang yang teraniaya? Engkau meninggalkan aku dalam keadaan telanjang, dalam kumpulan orang-orang mati dan engkau menghadirkan aku di hadapan Allah dalam keadaan junub”. Rasullah setelah mendengar cerita itu berkata, “Hai orang fasik, layak bagimu neraka sebagai balasan yang kau lakukan”.
Setelah mendengar jawaban dari Rasul saw. pemuda itu bersedih sambil bercucuran air mata memenuhi pipinya dan bergegas pergi ke padang pasir. Di sana dia bertobat kepada Allah dengan penuh kesungguhan selama empat puluh hari lamanya. Berjalannya waktu Jibril memberikan peringatan kepada Nabi untuk menyampaikan amanat dari Tuhannya, bahwa pemuda itu telah diampuni. Seketika itu Rasul langsung mencari bersama para sahabatnya untuk menyampaikan kabar baik kepada pemudah itu. Ketika berada di hadapannya, Rasul menyampaikan kabar dari Tuhannya. “Wahai anak muda engkau telah diampuni oleh Allah Yang Maha Pengampun”.
Hikmah dari kisah di atas ialah, kita mengetahui bahwa Tuhan yang kita sembah itu ialah Dialah Yang Al-Ghafur, Al-‘Afuww, Al-Ghafar yang rahmat dan pengampunan-Nya itu lebih besar dari pada semua ciptan-Nya. Dan jikalau seluruh dosa umat manusia semenjak Nabi Adam sampai akhir zaman dikumpulkan. Tentu, rahmat dan ampunan Allah jauh lebih besar. Di dalam hadis, disebutkan “Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Ketika Allah telah menciptakan makhluk, Dia tuliskan dalam kitab-Nya yang tersimpan di sisi-Nya di atas ‘Arasy, bahwa kasih sayang-Ku mendominasi murka-Ku.” (HR. Muslim No. 2751). Oleh karena itu, “Katakanlah (Nabi Muhammad saw. sampaikanlah pesan Allah swt.): ‘Hai para hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka (akibat terlalu banyak berbuat dosa)! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya (selama yang berdosa bertobat, menyesali perbuatannya, bertekad tidak akan mengulanginya dan memohon ampun kepada Allah sawt). Sesungguhnya Dia, (dan hanya) Dia Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih'” (QS. Az-Zumar [39]: 53).
Pertanyaannya ialah apa itu tobat? Untuk menjawab pertanyaan di atas mari kita renungkan analogi berikut ini. Salat dalam Islam itu adalah kewajiban setelah beriman (bersyahadat). Salat itu tidak akan sah ketika dalam keadaan tidak suci baik lahir terlebih batin. Dengan demikian, bersuci merupakan kewajiban pertama setelah iman.
Dalam Islam ada tiga term yang sering digunakan untuk menunjuk bersuci yaitu: Pertama, tazkiyah (penyucian batin) sebagaimana firman-Nya, “Sungguh, telah beruntunglah siapa yang mensucikannya (jiwa itu dan mengembangkannya) (QS. Asy-Syam [91]: 9). Kedua, thaharah (penyucian diri secara lahir dan batin) termaktub dalam surat At-Taubah [9]: 103. Ketiga, nazhafah (kebersihan) sebagaimana sabda Nabi, “An-nazhafatu min al-iman (kebersihan itu ialah bagian dari iman)” dalam hadis lain disebutkan, “Buniya al-din ‘ala an-nazhafah: Agama itu dibangun berasaskan kebersihan”.
Cara untuk mensucikan kotoran lahiriah di antaranya dengan mencuci pakaian kita sehari-hari, mandi dengan air yang suci, sehingga di dalam jasad kita tidak ada sedikitpun kotoran yang menempel, sedangkan untuk menghilangkan hadas kecil dengan cara berwudhu dan menyucikan hadas besar dengan cara mandi wajib. Sedangkan mensucikan kotoran spiritual atau batin ialah dengan bertobat.
Imam Al-Hujwiri dalam kitab Kasyf al-Mahjub membagai tiga tingkatan tobat. Pertama, bertobat dengan menghapuskan dosa-dosa besar demi untuk ibadah. Kedua, tobat inaabah yaitu kembali dari dosa-dosa kecil menuju cinta. Ketiga, tobat awwabaat adalah kembali dari ke”akuan” kepada Allah, pada tahapan ini seorang pejalan spiritual akan merasakan manisnya iman.
Tobat secara bahasa berasal dari kata taaba yatuubu yang bermakna kembali. Yakni kembali dari lumuran kotoran menuju kesucian (fitrah) dan dalam rangka untuk kembali bersatu bersama-Nya. Berpijak pada Imam al-Hujwiri menurutnya, “Tobat (mensucikan diri) itu ialah langkah awal untuk menuju kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya, sebagaimana thahara fisik yang merupakan langkah awal untuk melakukan ibadah”.
Singkatnya untuk menggapai maqam kedekatan dengan Dzat Sang Maha Suci (Al-Quddus), maka kita pun harus mensucikan diri, sehingga kita menyandang dan mempunyai ‘kesamaan’ sifat antara kita dan Tuhan (inilah proses berakhlak dengan akhlak Allah). Artinya kita menjadi imitasi-Nya di alam realitas. Jika demikian maka limpahan cinta-Nya akan merasuk ke dalam diri kita, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan mencintai orang-orang yang bersungguh-sungguh menyucikan diri” (QS. Al-Baqarah [2]: 222).
Tobat yang benar adalah kembalinya seorang hamba menuju jalan yang Tuhan terangkan lewat pancaran lisan Nabi dan para pengemban misinya (ulama). Dan tobat yang hakiki adalah tobat dari segala kesalahan masa lalu, yang dalam dirinya bertekad tidak akan mengulangi perbuatan yang membuatnya jauh dari Tuhan. Orang yang sudah merasakan hakikat tobat dalam dirinya akan dipenuhi cahaya Ilahi, sehingga ia merasakan kenikmatan yang tiada taranya. Dan orang yang seperti ini, Allah akan menanamkan dalam dirinya suatu hikmah.
Sebelum saya akhiri penulisan ini. Saya akan mengajak pembaca untuk merenungi nasehat-nasehat hikmah dari sufi besar Ibnu Athaillah As-Sakandari—tokoh Tarekat Syadziliyah yang merupakan salah satu tarekat sufi terkemuka di dunia termasuk di Indonesia—dalam Tajul ‘Arus disebutkan, “Jika ingin bertobat, kau harus terus bertafakur sepanjang hayat. Renungi apa yang telah kau lakukan di waktu siang! Jika berupa ketaatan, bersyukurlah kepada Allah. Namun, jika berupa maksiat, sesali, mintalah ampun dan bertobatlah kepada-Nya. Sebab, tidak ada majlis bersama Allah swt. yang lebih berguna dari pada majlis ketika kau menyesali dirimu sendiri. Jangan menyesal seraya tertawa gembira. Namun, sesali dirimu dengan sungguh-sungguh dan tulus seraya tampakan ketidak senangan, kesedian, dan rasa hina. Jika itu yang kau lakukan, Allah akan menggantikan kesedihanmu dengan kebahagiaan, kehinaanmu dengan kemuliaan, kegelapanmu dengan cahaya, serta keterhijabanmu dengan ketersingkapan”.