Lailatul Qadr Bersama Cak Nur
“Lailatul Qadr Bersama Cak Nur” merupakan upaya penulis dalam menyelami kembali pemikiran dan gagasan Nurcholish Madjid atau Cak Nur melalui pembacaan atas karya-karyanya, terutama gagasannya tentang sekularisasi bukan sekularisme, yang pernah menjadi perdebatan sengit di kalangan intelektual Indonesia, serta beberapa diskusi yang diikuti penulis di media Nurcholish Madjid Society.
Satu hal yang sudah pasti, menyelami pemikiran dan gagasan Cak Nur, tidak mungkin tuntas hanya dalam waktu satu bulan selama Ramadhan. Menyelami pemikiran dan gagasan Cak Nur bak menyelami samudra alam pemikiran dan gagasan yang sangat luas, dan hampir semua tema keislaman dan sosial sudah digelutinya. Akan tetapi, ada satu hal yang menarik, penulis mendapati satu yang sangat menarik terkait tulisan Cak Nur yang secara khusus menulis tentang lailatul qadr.
Tentu, narasi lailatul qadr besama Cak Nur ini memang bersamaan dengan momentum terjadinya narasi lailatul qadr yang terjadi di setiap mamasuki atau menjelang sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, yang tentunya juga sudah menjadi pemandangan dan pendengaran umum di pelbagai mimbar-mimbar di langgar, musala dan masjid yang biasanya selalu disesaki dengan semarak dan semangat akan kultum-kultum maupun khutbah, bahkan pengajian yang secara khusus menyajikan tentang keutamaannya hingga pemberian tips-tips mendapatkannya.
Semarak dan semangat untuk mendapat lailatul qadr ini juga terjadi dan berseleweran hingga memenuhi layar di media sosial kita, seperti Facebook, Youtube, Twitter, Blog, dan WhatsApps. Ini tentu pemandangan yang sangat menarik. Sebab, ternyata media sosial selama ini memiliki semacam kemampuan membikin orang mengalami transendensi, keselamatan dan rasa keamanan batin, serta kharisma yang mungkin dapat mengubah eksistensi hidup manusia menjadi baik dan buruk.
Bagi setiap orang Muslim yang beriman, lailatur qadr merupakan satu momen penting yang sangat ditunggu-tunggu, karena malam tersebut dianggap lebih baik daripada seribu bulan.
Dalam berbagai literatur misalnya, lailatul qadr secara harfiah diartikan sebagai malam kepastian. Pengertian ini merujuk pada kata qadr yang menyertai kata lailatul yang banyak dipahami sebagai bagian dari asal kata taqdir. Selain itu, lailatur qadr juga bisa diartikan sebagai “malam kemahakuasaan” Allah, jika kata qadr dipahami sebagai bagian dari asal kata al-qadir yang berarti “Yang Mahakuasa”, di mana ini merupakan salah satu dari sifat Allah.
Dalam Al-Qur’an sendiri, narasi tentang lailatul qadr ini, dinarasikan dalam surat Al-Qadr, yang menyebutkan Allah menurunkan Al-Qur’an pada Nabi saat malam lailatul qadr. Lailatul qadr ini, dianggap memiliki bobot nilai ibadah lebih baik daripada seribu bulan, sekitar delapan puluh tahun maksimal umur manusia.
Kalau dalam tafsir mistik Adullah Yusuf Ali menyebutnya sebagai simbolisasi dari transenden waktu, di mana Tuhan menghilangkan sifat kebodohan dengan adanya wahyu pada Nabi.
Penyebutan ini, karena malaikat jibril memang turun membawa wahyu bagi alam semesta, terutama umat manusia. Terkait waktunya, Al-Qur’an sendiri juga hanya menarasikan malam yang penuh kedamaian yang terjadi hinnga datangnya fajar, yang kemudian diikuti narasi para ulama yang mengatakan terjadi pada tanggal ganjil di sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan.
Namun, kendati demikian, narasi dan penyebutan tentang lailatul qadr ini bagi Nurcholish Madjid atau Cak Nur, menyebutnya sebagai “malam penentuan”. Penyebutan Cak Nur ini, tentu ada erat kaitannya dengan kehadiran Al-Qur’an yang tidak hanya sebatas bagi umat Islam, melainkan juga bagi umat manusia. Sebab, bagi cak nur secara langsung maupun tidak, telah membawa dan mempengaruhi perubahan peradaban manusia.
Bagi Cak Nur, kehadiran Al-Qur’an merupakan momen penentuan yang sebanding bahkan melebih lailatul qadr bagi setiap pribadi yang membaca dan mengerti. Hal ini, sama halnya dengan setiap hidup manusia memiliki momen-momen yang menentukan dalam sepanjang hidup yang dibarengi dengan keadaan damai dan bahagia sebagai dampak dari keruhania karena merasakan kehadiran kebenaran yang didapat di dalamnya.
Keberadaan lailatur qadr sebagai malam mistis ditandai dengan kerohanian yang hening dan damai serta diwujudkan dengan suasana batin setiap pribadi suci sebagai tanda intervensi Tuhan pada setiap insan yang bersangkutan berupa bertambahnya keyakinan dan keteguhan. Saatnya pun bisa berbeda dari seseorang ke orang lain. Oleh karena itu, Nabi sendiri tidak menyebut kapan dan waktu tepatnya malam lailatul qadr itu terjadi.
Bisa jadi, jika ada seorang mahasiswa strata satu, dua dan tiga bisa menyelesaikan skripsi, tesis dan disertasi dibarengi dengan keadaan damai dan bahagia, serta tenang dalam merasakan kehadiran kebenaran di waktu mengerjakan, maka itu bisa jadi merupakan momen penentuan yang sebanding dengan lailatur qadr. Karena itu akan sangat mempengaruhi sepanjang hidup selanjutnya, demikan hal dengan pekerjaan yang lainnya.
Dengan kata lain, sifat lailatul qadr adalah kontinuitas yang terus berlanjut dengan kehidupan selanjutnya, layaknya ajaran yang ada dalam Al-Qur’an yang berlanjut hingga kini, esok dan kelak. Hal ini seperti dengan ajaran agama memberikan arahan agar setiap pribadi lebih baik lagi, tidak hanya pada dirinya sendiri melainkan juga pada kehidupan sosial.