Seorang ayah Muslim, dan seorang ibu Muslim, melahirkan anak bayinya. Ibu dan ayah menginginkan anaknya hidup bahagia. Tertanam dalam ingatan ibu dan ayah, sebuah ajaran, bahwa kebahagiaan terbagi dua: Bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
Sejuk rasanya melihat wajah anak bayinya. Tak ada keraguan bagi ibu dan ayah itu untuk menanamkan pada anaknya, Islam. Dengan Islam, orang tua itu berharap anak bayinya hidup bahagia di dunia dan akhirat.
Tak banyak dari kita yang sadar akan terjadinya hal di atas tatkala kita lahir—sebagai Muslim dan Muslimah, dari orang tua Muslim dan Muslimah. Semua terasa biasa saja. Lahir sebagai Muslim tak punya bekas mendalam.
Bahkan lebih banyak lagi ibu dan ayah Muslim yang tak mengetahui apa peran agama bagi anaknya kelak. Memang benar bahwa kitab suci—seperti Al-Qur’an—punya kekuatan yang khas. Kekuatan untuk mengubah (hidup) manusia. Tapi, selama kita selaku individu manusia tak mengerti akan ia; maka tak akan terjadi apa-apa.
Manusia sebagai Agen Perubahan
Berarti, masalah sebenarnya bukan terletak pada mampukah agama mengubah hidup kita. Bukan pada apakah Islam masih relevan bagi pembangunan peradaban modern kita hari ini. Masalah itu terletak pada kita; alih-alih pada Islam, Katolik, Protestan, Hindu, atau pun Buddha. Manusia sebagai subjek; itulah inti masalah kita.
Sepanjang sejarah; subjek, pelaku, dan agen perubahan adalah manusia. Teori kuantum lebih ekstrem lagi. Baginya, realitas bukanlah realitas obyektif. Realitas bergantung pada subjek pengamatnya. Artinya, bergantung pada manusia. Sebab, hanya spesies ini yang benar-benar mengamati hidup dan lingkungan sekitarnya.
Coba Anda pikirkan sejenak: sepanjang sejarah bumi, hanya ketika spesies penuh kesadaran bernama manusia ini muncul, maka ekosistem pun berubah, dan peradaban pun tercipta. Anda, saya, kita semua—selaku manusia—benar-benar merupakan faktor penentu nasib peradaban.
Untuk itulah, sangat penting bagi kita hari ini untuk mempelajari sejarah. Jika Anda membaca tulisan saya ini, dan Anda seorang yang masih duduk di bangku SMA, maka pertimbangkanlah untuk melanjutkan kuliah di jurusan studi sejarah.
Dari pengalaman manusia-manusia di masa silam, dari ide-ide yang berkembang sepanjang zaman, dan dari jatuh serta bangunnya peradaban yang pernah spesies ini ciptakan; kita bisa menyerap pengetahuan, kita bisa mengerti sebab dan akibat yang spesies ini bisa lakukan di planet bumi. Itu bukan kata saya. Itu kata Ibn Khaldun dalam Kitab al-‘Ibar sekitar enam ratus tahun lalu.
Tapi, tulisan ini tak hendak mengajak Anda berjalan-jalan melihat panorama sejarah. Ada banyak literatur yang wajib dibaca untuk mengerti dan menikmati panorama sejarah. Tulisan ini cukup sebagai pemantik saja bagi kita semua. Memantik kesadaran dasar bahwa realitas sosial, natural, politik, ekonomi, dan sejarah; agen utama bagi semua realitas itu adalah kita, manusia.
Mundurnya Kualitas Pemahaman Kita
Dalam tulisan-tulisan sebelumnya kita telah sama-sama melihat adanya jarak lebar yang menganga antara warisan intelektual Islam, dengan kondisi umatnya hari ini. Warisan intelektual itu kaya, sementara kita hari ini miskin. Tentu, kaya dan miskin bukan dalam dimensi ekonominya. Melainkan kaya dan miskin dalam dimensi kualitas pemahaman dan intelektualitasnya.
Langsung ke poin utama saja. Yang ingin saya katakan adalah: Kita belum cukup serius mempelajari kembali warisan intelektual Islam. Itulah yang membuat umat ini sepanjang sejarah belum mampu berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Kemudian, di antara warisan yang tak kita gubris itu, tercatat banyak sekali hal yang ditulis dalam rangka mengingatkan kita akan hakikat manusia.
Risalah-risalah dari ilmuwan semisal Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Khaldun, tidak lain adalah sepucuk surat bagi generasi-generasi setelah mereka. Ada yang ingin mereka sampaikan pada kita. Ada pesan penting yang mereka tinggalkan. Sebagai manusia-manusia yang hidup lebih dulu—dan hidup dalam usaha intelektual yang luar biasa—mereka hendak menyampaikan sesuatu pada kita dalam setiap warisan ilmiahnya.
Salah satu indikator yang menunjukkan bahwa kita begitu jauh dari warisan intelektual Islam adalah pikiran kita hari ini bahwa simbolisme agama jauh lebih penting daripada apa pun. Kita cukup puas dengan beragama yang menonjolkan simbol-simbol. Kita berusaha memperjuangkan formalisasi agama kita dalam ruang publik. Kita kira dengan simbolisasi dan formalisasi, maka masalah kemanusiaan bisa diselesaikan.
Tak seperti para intelektual Muslim klasik (yang berlatar pendidikan filsafat dan berpikiran terbuka serta hibrida) kita menilai bahwa agama adalah sebatas bentuk formalnya, dan menghilangkan substansinya. Dalam filsafat Islam, substansi ada empat: materi, bentuk, tujuan, dan agensi. Apakah kita sudah mengerti bahwa agama juga punya substansi dalam empat makna ini?
Pemikir seperti Al-Farabi, dalam Kitab Tahshil al-Sa’adah, tak punya keraguan akan kekuatan agama. Tapi, ketika ia berbicara soal al-din (agama), itu tidak sama dengan anggapan formalisme kita. Al-Farabi mendefiniskan agama dengan mengacu pada genus dan diferensia-nya untuk menemukan substansinya. Agama adalah cara manusia mendidik jiwanya menjadi dewasa, beradab, dan beretika. Sangat berbeda bukan, dengan pemahaman kita hari ini.
Jika agama, seperti Al-Farabi katakan adalah cara dan sarana pendidikan jiwa manusia, apakah itu artinya agama lebih kuat dimensi antroposentrisnya daripada teosentrisnya? Ya, tentu saja begitu. Satu lagi indikator mundurnya kualitas pemahaman kita dari apa yang sudah dicapai para filsuf Muslim klasik adalah kita mengira agama itu sebagai urusan yang serba-Tuhan (teosentris).
Agama, kehidupan, dan peradaban, adalah untuk umat manusia, itulah antroposentrisme yang saya maksud. Sementara hari ini, kita, atas nama Tuhan dan atas nama kesucian agama, selalu memaksa manusia lain tunduk pada sesuatu yang tidak berorientasi maslahat bagi manusia-manusia tersebut.
Karena menilai manusia sebagai pendosa, kita mengira agama hanya seperangkat hukuman bagi para pendosa tersebut. Manusia tak lagi dikenal sebagai manusia. Potensi positifnya sebagai makhluk spiritual, sosial dan pencipta peradaban, dikebiri, dipaksa tunduk pada sesuatu yang tak memberikan hak bersuara pada manusia itu sendiri.
Mengenal Kembali Manusia
Kita beralih ke Ibn Khaldun. Seperti Al-Farabi, ia juga melihat agama bukan sebagaimana kita hari ini melihatnya. Ibn Khaldun, misalnya, tak menganggap bahwa manusia harus dibimbing oleh wahyu. Tanpa wahyu sekalipun, manusia tetap bisa membangun peradabannya, dan mewujudkan potensi terbaiknya. Kebaikan tak mengharuskan agama dan wahyu sebagai syaratnya.
Jangan langsung naik darah dulu. Mari kita cermati baik-baik pemaparan para filsuf dan ilmuwan tersebut. Tapi, tentu saja pemahaman terbaik hanya tercapai jika Anda sendiri mau meluangkan waktu membaca buku-buku mereka. Itu juga salah satu indikator mundurnya kualitas pemahaman kita akan agama dan manusia; yakni kurangnya minat membaca. Tak usah berbicara soal formalisasi agama, jika membaca saja Anda masih setahun sekali!
Baik Al-Farabi maupun Ibn Khaldun sama-sama menekankan ide antroposentrisme (atau humanisme) dalam kehidupan sosial-empiris di planet bumi. Tujuan adanya kehidupan, yang disebut Al-Farabi dengan kata al-sa’adah (kebahagiaan), hanya bisa tuntas tercapai jika kita selaku individu dan masyarakat mampu melakukan tugas utama kita. Menurut Ibn Khaldun juga begitu. Hidup ini punya tujuan, dan tugas kitalah untuk menuntaskannya.
Ketika berbicara soal kehidupan—dan, apa lagi tema yang lebih penting daripada kehidupan?—Al-Farabi mengatakan pada kita bahwa silih bergantinya rasa sakit dan rasa nikmat adalah sebuah keniscayaan dalam hidup.
Meski begitu, manusia harus tahu untuk apa dia eksis di dunia ini. Apakah untuk menikmati sebanyak mungkin nikmat biologis dan material? Apakah untuk menyakiti sebanyak mungkin organisme? Jelas sekali, bukan untuk itu semua. Menurut Al-Farabi, manusia harus mengusahakan kebahagiaan terrestrial (al-sa’adah al-dunya) dan kebahagiaan transcendental (al-sa’adah al-qushwa).
Usaha mencapai kebahagiaan ini—dalam dimensi individualitas kita—memiliki langkah dan metode yang jelas. Bagi Al-Farabi, metode tersebut adalah pengetahuan. Pengetahuan (al-‘ilm) adalah satu-satunya jalan bagi manusia mencapai keutamaan (al-fadhilah) dalam hidupnya. Artinya, seutama-utama hal yang bisa manusia usahakan adalah pengetahuan. Itulah mengapa, sejarah manusia juga adalah sejarah mengenai pengetahuan. Sudah jelas pula, bahwa yang membedakan antara kita dengan binatang lain adalah pengetahuan.
Sejalan dengan itu, Ibn Khaldun mengatakan bahwa kemampuan berpikir adalah keunggulan spesies ini dibandingkan binatang lain—termasuk dibandingkan dengan saudara hominid kita yang pernah eksis. Secara ilmiah Ibn Khaldun mengakui bahwa semua organisme hidup punya kesadaran tentang hal-hal di luar diri mereka. Organisme hidup mengenali itu semua melalui indra yang ada; pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecap, dan perasa.
Namun, manusia tidak sekadar itu. Dia punya kekuatan lain dalam dirinya. Kekuatan itu disebut dengan al-quwwah al-nathiqah (kekuatan berpikir rasional). Inilah ciri khas gaya bicara para filsuf Muslim tatkala menjelaskan manusia. Ini pula yang luput dari pemahaman kita hari ini tentang manusia. Ibn Khaldun menegaskan bahwa dalam diri kita ada kekuatan spesial, yang dengannya kita benar-benar menjadi manusia, dan benar-benar bisa menciptakan peradaban. Itulah ia akal pikiran.
Bukan Agama, tapi Manusia
Akhirnya, mari kita kembali pada ide utama tulisan ini, yaitu jatuh dan bangunnya peradaban kembali kepada manusia, bukan pada agama. Mengapa saya mengajukan pandangan-pandangan Al-Farabi dan Ibn Khaldun tentang manusia di atas—walaupun penjelasannya serba singkat? Sebab, saya ingin mengajak Anda melihat bahwa rumus untuk menciptakan kehidupan yang baik bukan dengan langkah-langkah menerapkan agama sebagai undang-undang formal di suatu masyarakat.
Baik Al-Farabi, maupun Ibn Khaldun bukan sekadar ilmuwan spekulatif. Argumentasi yang mereka ajukan seputar manusia sebagai binatang sosial, politik, dan peradaban, berangkat dari pengamatan empiris. Artinya, pengakuan bahwa manusia adalah binatang yang berpolitik, bermasyarakat, dan pencipta peradaban yang maju, diambil bukan dengan dalil-dalil spekulatif saja. Memang secara empiris, kenyataannya adalah seperti itu.
Hari ini, kita tak menggubris potensi kemanusiaan (humanisme) tersebut—yang menjadi poros penjelasan dari Al-Farabi dan Ibn Khaldun. Kita mengira, untuk menciptakan masyarakat dalam sebuah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafurun, maka caranya adalah dengan kembali pada formalisasi agama. Artinya, dengan memaksa manusia tunduk pada polisi-polisi moral dan syariat. Ini semua bukan hanya tak sesuai dengan warisan intelektual Islam—melainkan juga bukti sikap ahistoris kita.
Apakah ini berarti agama tidak penting sama sekali? Nah, itulah mengapa di muka saya jelaskan bagaimana Al-Farabi dan Ibn Khaldun memandang agama sebagai cara dan metode bagi manusia mendidik jiwanya supaya menjadi dewasa. Kita mengira dengan menyeret agama menjadi sebuah undang-undang publik, maka dengan begitu kita telah memulihkan kehormatan agama. Dua ilmuwan yang kita bahas tidak melihat seperti itu.
Agama selamanya akan penting. Sebab, agama adalah bagian integral dan internal dari akal manusia. Yang membuat manusia tunduk pada kebesaran dan keadilan Tuhan, tidak lain adalah akal sehatnya sendiri. Karena kita menggunakan fakultas rasional kita dalam menilai fenomena sosial maupun natural, maka kita pun bersedia menerima keterbatasan manusia, dan bersedia tunduk pada ajaran-ajaran spiritual dan moral dari Muhammad, Yesus, Musa, ataupun Konfusius, misalnya.
Karena agama sifatnya integral dan internal dengan kekuatan rasional kita, itu artinya agama bukanlah sesuatu yang mesti dipaksa-paksa. Jika sudah begini, maka menjadi jelas mengapa wahyu Al-Qur’an, dan akhlak Nabi Muhammad saw. melarang kita memaksa orang lain memeluk agama kita. Tak ada paksaan dalam memeluk agama. Untuk memeluk saja tak boleh dipaksa, apalagi untuk membuat orang lain menerapkan tradisi agama kita sendiri.
Ide utama tulisan ini adalah perlunya kita mengubah apa yang ada di benak kita, bahwa agama itu segala-galanya. Bukan. Agama bukan segala-galanya. Manusialah yang merupakan segala-galanya. Bahkan bagi Tuhan juga begitu. Spesies inilah yang Tuhan utamakan di atas makhluk lainnya. Tentu, di sini saya tak bermaksud mengatakan bahwa manusia lebih utama daripada Tuhan. Meski di Barat mereka sudah lama berpikir seperti itu.
Penjelasan Al-Farabi dan Ibn Khaldun kita kutip untuk memperjelas duduk perkara yang kita bahas ini. Jika selamanya kita selalu melihat manusia sebagai makhluk pendosa, yang harus dipaksa tunduk pada hukum dan undang-undang agama tertentu, maka ketika itu juga kita menghilangkan dua perkara penting. Pertama, hakikat manusia yang luhur, unggul, dan terhormat. Kedua, hakikat agama sebagai jalan penyatuan spiritual dengan Tuhan semesta alam.
Sekian, sampai bertemu di tulisan berikutnya.