Islam Liberal: Antara Penyesatan dan Pembebasan

Oleh: Bil Hamdi

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra Jakarta

Salah satu perdebatan intelektual dalam wacana keislaman yang telah berlangsung cukup lama adalah mengenai Islam dan liberalisme. Hal ini menyangkut isu penting mengenai perlu atau tidaknya pembaruan dalam ajaran-ajaran Islam. Mengingat, bahwa masyarakat dunia sedang mengalami proses globalisasi dan modernisasi yang begitu pesat. Masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia sering dianggap sebagai warga dunia yang kalah (ketinggalan). Akibat dari ketertinggalan itu masyarakat Muslim pun menghadapi masalah-masalah besar seperti kemiskinan, pendidikan yang tidak memadai, dan keterbelakangan dalam hal-hal berbau modernitas. Keadaan yang demikian, tentu memerlukan solusi sesegera mungkin agar masyarakat Muslim mampu bersaing di pentas global.

Pertanyaannya, apakah Islam merupakan agama yang mementingkan kehidupan dunia sehingga ketertinggalan di bidang duniawi ini mesti kita kejar? Sebagian kalangan Muslim secara ekstrem menganggap bahwa satu-satunya kehidupan yang nyata dan perlu dikejar adalah kehidupan akhirat. Sedangkan dunia hanyalah kehidupan yang semu dan sementara, sehingga tidak perlu diperjuangkan. Pandangan seperti ini bukan tidak berdasar, dalam sebuah hadis Nabi bersabda, “Dunia adalah penjaranya kaum beriman, surganya kaum kafir”. Hadis ini menjadi dasar bagi sebagian banyak kaum Muslim untuk bertahan dalam kehidupan yang penuh keterbelakangan (dalam hal-hal duniawi). Bagi kalangan ini, ceramah-ceramah seputar perlunya sikap sabar dalam menghadapi cobaan, pentingnya bersyukur, qana’ah, rida, atau bahkan zuhud dalam kehidupan sudah cukup membuat hati mereka menjadi tenang. Itu pula yang membuat mereka tegar dalam menjalani kehidupan yang penuh kesulitan dan kepahitan. Mengejar kehidupan duniawi (apalagi bersaing dengan barat di pentas dunia) bukanlah bagian dari cita-cita kelompok yang satu ini. Belakangan kelompok ini dinamai Islam adat/tradisional.

Sebagian lain ada kelompok umat Muslim yang berpandangan bahwa hanya dengan menjalankan Islam secara kaffah (menyeluruh), umat Islam akan mampu bangkit dari keterpurukannya ini. Kelompok ini begitu merindukan masa-masa kejayaan Islam yang dulu (kelompok romantisme) pernah menguasai dunia. Lambang kejayaan yang mereka rindukan tersebut yakni semenjak kekuasaan Khulafa ar-Rasyidin, dinasti Umayyah, dinasti Abbasiyah, hingga kekuasaan terbesar pada masa Turki Utsmani. Kerinduan mereka yang teramat besar akan masa kejayaan Islam itu hendak mereka wujudkan dengan mendirikan kembali khilafah islamiyah lengkap dengan semua atribut masa lalu (mulai dari sistem pemerintahan hingga gaya berpakaian) yang akan mereka hadirkan di masa sekarang. Ciri yang sangat menonjol dari kelompok ini adalah kebencian mereka yang teramat sangat terhadap dunia barat serta segala kemajuannya. Bagi mereka, Barat merupakan lambang kekuasaan iblis dan kafir yang harus dimusnahkan melalui perang suci yang—secara sembarangan—mereka sebut sebagai jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah). Kelompok ini sangat ambisius dalam mewujudkan impian mereka mendirikan negara Islam dan menghentikan hegemoni barat. Segala cara akan mereka lakukan termasuk dengan menggunakan jalan kekerasan bahkan teror. Kelompok ini juga sering dinamai kelompok Islam radikalis-fundamentalis. 

Baca Juga:  Kaidah Tafsir Untuk Awam

Di tengah kemerosotan kaum Muslim tradisional dan kebingungan kalangan romantisme untuk menyeret kejayaan masa lalu ke masa sekarang, hadir sebuah kelompok pemikir yang membawa ide-ide segar dan terkesan realistis bagi kemajuan umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman. Sebuah gerakan pemikiran yang mulai menggejala di seluruh dunia. Yakni kalangan Muslim liberal. Kalangan ini meyakini bahwa Islam adalah agama yang membawa pesan universal, sehingga ajaran-ajarannya akan senantiasa selaras dengan perkembangan zaman yang dinamis (senantiasa berubah-ubah). Alih-alih membenci dan mengutuki hal-hal berbau modernitas, kalangan liberal malah mendukung sepenuhnya kemajuan umat manusia dalam berbagai bidang. Karena bagi mereka, menjadi liberal, artinya menjadi manusia yang bebas. Bebas berkreasi, berpikir, serta bebas dari kungkungan formalisme agama yang kaku dan menjenuhkan. Hanya dengan menjadi manusia yang bebas, seseorang akan mampu mengeluarkan semua potensi terbaik yang ia miliki. Inilah salah satu faktor penting, yang bagi kalangan liberal, menjadi penentu bagi kemajuan umat manusia.

Islam Liberal membedakan dirinya secara kontras dengan Islam adat maupun Muslim romantisme. Meskipun kelompok Islam liberal ini terbagi pula dalam beberapa golongan, namun kesemuanya dapat dipertemukan dalam suatu gagasan yaitu kritik mereka terhadap Muslim romantisme dan Islam adat. Situasi ini membuat kalangan liberal berhadapan secara langsung dengan dua kelompok lainnya yang senantiasa menimbulkan debat sengit. Kerasnya benturan gagasan antara kalangan liberal (di satu sisi) dan kalangan romantisme serta tradisional (di sisi lainnya) itu, tak jarang berujung pada pemurtadan dan pengkafiran. Yang terakhir ini seringkali menimpa para pemikir muslim liberal. Mereka dianggap telah jauh masuk dalam perangkap idealisme barat. Dan, karena itu pula mereka dituduh sebagai pelaku bid’ah serta penyebar paham yang sesat lagi menyesatkan.

Baca Juga:  Siapa Itu Mukallaf?

Namun, di luar semua kontroversi dan isu miring mengenai liberalisme Islam berikut para pemikirnya, kita tetap perlu mengambil beberapa pelajaran penting. Salah satu ciri khas kalangan liberal adalah penggunaan hermeneutika sebagai metode dalam menafsirkan sumber hukum agama Islam yakni Al-Qur’an. Dengan metode ini, kalangan liberal hendak melihat suatu konteks historis yang terdapat dibalik teks Al-Qur’an. Mereka meyakini bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam suatu konteks. Artinya tidak diturunkan begitu saja, melainkan ada sebab-sebab turunnya suatu hukum agama. Dengan demikian, Al-Qur’an diturunkan dalam rangka menjawab suatu permasalahan yang terjadi di masa Nabi. Dengan kata lain, 23 tahun turunnya Al-Qur’an merupakan dialog antara Al-Qur’an dengan realitas yang dihadapi Nabi Muhammad saw. sebagai pembawa risalah Islam. Di masa-masa selanjutnya, Al-Qur’an melalui penafsiran para ulama terus menerus menjawab tantangan demi tantangan zaman yang senantiasa berubah-ubah.

Akan tetapi permasalahan mulai muncul ketika suatu penafsiran terhadap ajaran agama dianggap telah baku dan tetap, sehingga tantangan yang berbeda direspon dengan jawaban yang sama. Hal inilah yang dikritik oleh kalangan liberal dari cara pikir kaum Muslim tradisional dan Muslim yang merindukan masa lalu. Ini merupakan salah satu karakter pemikiran keislaman yang paling populer yaitu melihat masa kini dengan kaca mata masa lalu (al-fahm al-turātsī li al-‘ashr). Pandangan seperti ini akan menghalangi Dunia Islam mengalami modernitas seperti kemajuan ekonomi, demokrasi, hak-hak hukum, dan sebagainya. Oleh karena itu, Islam yang salih li kulli zaman wa kulli makan dipahami oleh kaum liberal sebagai dasar untuk melakukan pembaruan terhadap penafsiran ajaran agama. Sebab, meski Al-Qur’an yang autentik yang berasal dari kalam Allah itu adalah tetap dan final, akan tetapi penafsiran terhadapnya senantiasa terbuka dan boleh jadi berbeda-beda sesuai dengan kadar kebutuhan umat manusia. Hasil ijtihad berupa penafsiran masa lalu yang masih relevan, maka dipertahankan. Sedangkan yang tak lagi sesuai dengan kebutuhan umat, maka diperbarui. Dengan cara seperti inilah Islam akan selalu mampu menyediakan solusi bagi berbagai permasalahan umat manusia kapan pun dan di mana pun.  

Baca Juga:  Telaah Prinsipilitas Hikmah Al-Mut’aliyah (1): Konsep Kemendasaran Wujud Mulla Sadra

Globalisasi dan modernisasi jelas merupakan tantangan baru yang kita hadapi. Pesatnya kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan modern yang dikembangkan barat bukanlah hal yang harus ditakuti atau dimusuhi umat Islam. Umat Islam justru mestinya mendukung kemajuan tersebut—atau bila perlu ikut berkontribusi—sebagai keberhasilan umat manusia menggali ayat-ayat Tuhan di muka bumi. Menolak kemajuan dan perkembangan zaman, karena kemajuan tersebut berasal dari barat, hanya menunjukkan ketidakdewasaan dalam beragama. Oleh karena itu, demi mengejar ketertinggalan ini, umat Islam mau tak mau harus belajar pada barat betapa pun mereka—bagi sebagian pihak—merupakan lambang kekuasaan kafir. Sebab dulunya, barat justru berhasil bangkit dari keterpurukannya dan mencapai pencerahan ketika mereka berduyun-duyun mendatangi negeri-negeri Islam yang saat itu adalah pemimpin peradaban. Dari sisi inilah, sikap liberal, harusnya mendapat dukungan dari setiap pihak demi kemajuan umat Islam khususnya, serta umat manusia umumnya.

0 Shares:
You May Also Like