Tasawuf Akhlaki Imam Al-Ghazali

Al-Ghazali, nama lengkapnya ialah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Thusi Al-Ghazali, lahir di Thus, dekat Masyhad, Khurasan, tahun 450 H/1058 M, dari ayah seorang penenun wool (ghazzal) sehingga dijuluki Al-Ghazâlî. Pendidikan awalnya di Thus, lalu di Jurjan, dalam bidang hukum (fiqh) di bawah bimbingan Abu Nasr Al-Ismaili (1015–1085 M). Pada usia 20 tahun, ia pergi ke Nisabur untuk mendalami fikih dan teologi pada Al-Juwaini (1028–1085 M). Al-Ghazali juga belajar dan melakukan praktik tasawuf dibimbing Abu Ali Al-Farmadzi (w. 1084 M), tokoh sufi asal Thus (Soleh, 2016). Al-Ghazali pernah menjadi guru besar di Nidhamiyah, Baghdad dan di kota ini lah Al-Ghazali menulis beberapa karyanya, Al-Ghazali semasa hidupnya memiliki lebih dari delapan puluh kitab dan risalah di antaranya ialah Ihya’ ‘Ulumi al-Din. Pada akhirnya Al-Ghazali memutuskan untuk mengasingkan diri dan melakukan pengembaraan diberbagai kota. Setelah uzlah yang dilakukan ia kembali ke kota kelahiranya yaitu Thus untuk mengajar tasawuf dan akhirnya wafat pada tahun 505 H atau 18 Desember 1111 M.

Tasawuf Akhlaki                                   

Tasawuf Akhlaki adalah tasawuf yang mengikatkan diri pada Al-Qur’an dan Hadis, tetapi juga diwarnai dengan tafsir baru serta menggunakan metode baru yang tidak dikenal pada masa generasi awal, salaf. Tujuan akhir dari amalan aliran tasawuf ini adalah pembentukan akhlak yang sempurna dan menuai Ma’rifat Allah (Mashar, 2015). Akhlak atau etika sendiri memiliki pengertian yaitu perbuatan yang muncul dari kehendak dan kesengajaan, dari sisi baik dan buruknya perbuatan tersebut (Bakri, 2020). Kehendak dan kesengajaan tersebut tidak dapat dipisahkan dengan dimensi lahiriah dan batiniah. Maka menurut Al-Ghazali seseorang harus melakukan beberapa riyadhah guna memiliki akhlaqul karimah di antaranya ialah :

Baca Juga:  Apa itu Filsafat Harmonisasi?

Pertama, zuhud. Zuhud bukanlah ketiadaan harta, tetapi kosongnya hati dari keterbudakan duniawi (Bakri, 2020). Dunia ialah materi yang sifatnya sementara, sikap zuhud perlu guna untuk menyikapi hal-hal yang orientasinya pada dunia. Jika dunia sebagai tujuan hidup, maka perilaku dan hidupnya rela dihabiskan untuk mencapainya.

Kedua, ma’rifah. Ajaran ma’rifat menurut al-Ghazali merupakan upaya serius untuk mengenal Tuhan sedekat mungkin. Ajaran ma’rifat dimulai dengan tazkiyyah al-nafs (pemurnian jiwa) dan mengingat-Nya dengan zikir terus menerus dalam setiap situasi dan kondisi (Bakri, 2020). Pada tahap ini sangat cocok untuk mengaktualisasikan konsep takhali, tahali, dan tajjali. Takhali yaitu mengkosongkan dan membersihkan penyakit hati seperti sombong, riya’, kikir, iri, dengki dll. Setelah dikosongkan kesemuanya itu lalu, tahali mengisinya dengan obat hati yaitu seperti sabar, tawakal, taat, syukur, pasrah, cinta, ikhlas dll. Dan yang terakhir tajjali yakni terbukanya hijab dan memperoleh nur yang tersembunyi (gaib) dan terbebas dari sifat-sifat kemanusiaan atau yang  orang Jawa bilang manungso tanpo tenger (manusia sempurna) yang tidak ada keraguaan di hatinya.

Ketiga, iman. Dalam pandangan al-Ghazali, keimanan memiliki makna pembenaran yaitu keyakinan yang harus dibuktikan dengan dalil qath’i, keyakinan yang tumbuh hanya dengan mengikuti sesuatu yang dia bisa yakin dengannya, dan keyakinan yang harus dibuktikan dalam bentuk perbuatan (Bakri, 2020). Seseorang yang mempunyai keimanan yang kuat terhadap agama Islam akan hilanglah rasa khawatir dan menyesal karena semua tindakan yang diperbuatnya berlandaskan iman.

Keempat, kebahagiaan. Al-Ghazali mengatakan bahwa kebahagiaan atau al-Sa’adah terlahir dari cinta dan ma’rifatullah. (Bakri, 2020). Kebahagiaan adalah orientasi pencapaian manusia hidup di dunia, maka terkadang berbagai cara dilakukan untuk mewujudkan kebahagiaan. Perlu dipahami bahwa kebahagiaan itu ada pada diri sendiri yang kata Al-Ghazali terletak di hati, jika seseorang berbuat menurut kata hati bukan nafsu, maka seseorang akan menyadari bahwa sesuatu yang kita inginkan jika kita tidak mendapatkannya, tidak akan terjadi apa-apa pada diri kita. Karena kebahagiaan ialah perjalanan menuju Allah dan dunia ialah peta jalan untuk pulang kepada-Nya.

Baca Juga:  MODEL KAJIAN AL-QUR'AN DARI MASA KE MASA

Kelima, cinta. Cinta terjadi ketika seseorang memiliki pengetahuan tentang yang dicintai (ma’rifah), dan untuk dapat mengetahui yang dicintai maka dibutuhkan alat untuk melihat dan mengetahui. Alat itu adalah beningnya hati (Bakri, 2020). Cinta menentukan akhlak manusia. Seseorang jika melihat sesuatu dengan rasa cinta, maka kedamaian yang akan dirasakan. Karena rasa cinta menentramkan hati, menimbulkan rasa percaya diri, tidak mudah menghakimi orang lain dan berintropeksi (mencari kesalahan dalam diri dan mencari kebaikan yang ada pada orang lain).

Keenam, khauf dan raja’. Dalam perspektif al-Ghazali, pecinta akan dilanda rasa khauf dan raja’, yakni takut hilangnya yang dicintai dan berharap dapat berhubungan dalam cinta (Bakri, 2020). Ketakutan dan harapan akan menimbulkan sikap kehati-hatian dalam bertindak, sehingga apa yang dilakukan berdasarkan pertimbangan yang matang.

Ketujuh, ladunni. Ilmu ladunni adalah ilmu yang langsung datang dari Allah, tidak melalui proses belajar sebagaimana ilmu pada umumnya. Ilmu ladunni didapat melalui tiga jalan, yakni karena given dari Allah, melalui riyadhah dan mujahadah, serta melalui kontemplasi pemikiran (Bakri, 2020).

Kedelapan, akhlak dalam pendidikan. Al-Ghazali menekankan urgensi pendidikan dan keutamaannya. Tujuan paling prinsip pendidikan adalah untuk membangun akhlak dan ketundukan kepada Tuhan. Dalam proses belajar mengajar, diperlukan adab bagi orang yang belajar. Adab harus ditempatkan di atas ilmu (Bakri, 2020). Semakin dalam ilmu seseorang seharusnya semakin bijak dalam bertingkah laku, karena dalam merengkuh ilmu seseorang harus memiliki akhlak yang baik.

Berikut riyadhah dalam tasawuf akhlaki menurut pandangan Imam Al-Ghazali sebagi jalan untuk ber-akhlaqul karimah. Maka seseorang jika mempunyai akhlaq yang baik akan mempunyai seni dalam berperilaku sehingga banyak makna-makna yang dapat diambil dalam setiap tindakanya yang dapat dijadikan ibrah dalam menjalani kehidupan.

Baca Juga:  Tafsir Sufi: Kenal Diri Kenal Allah (1)

Daftar Bacaan

Bakri, S. (2020). Akhlak Tasawuf Dimensi Spiritual dalam Kesejarahan Islam (I). Sukoharjo: Efudepress.

Mashar, A. (2015). Tasawuf : Sejarah, Madzhab, dan Inti Ajarannya. Al-A’raf: Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, 12(1), 97. https://doi.org/10.22515/ajpif.v12i1.1186

Soleh, A. K. (2016). Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer (I). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

0 Shares:
You May Also Like