Eksistensi Tuhan dalam Mukadimah Bar Jahān Baina Islāmi Murtadha Muthahhari

Oleh: Nurul Khair


Magister Ahlul Bait University, Tehran

Salah satu ungkapan terkenal Murtadha Muthahhari dalam magnum opusnya Mukadimah Bar Jahān Baina Islāmi, ialah “Segala sesuatu bergantung kepada-Nya, tapi Dia tidak bergantung kepada segala sesuatu”. Ungkapan tersebut dilatarbelakangi oleh pandangan para pemikir barat, seperti kaum Deisme yang memandang bahwa alam semesta diciptakan dengan segala kemandiriannya. Adapun posisi Sang Pencipta setelah menciptakan alam semesta tidak memiliki kuasa terhadap keberadaannya. Kaum Deisme menggambarkan proses penciptaan alam semesta ibarat jam yang diciptakan oleh pembuatnya dengan segala sistem di dalamnya. Setelah jam tersebut selesai dibuat, pembuat jam meninggalkan jam tersebut secara mandiri, tanpa melibatkan diri dari segala kerusakan dalam sistemnya.

Berangkat dari permasalahan  tersebut, Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa para pemikir Deisme memiliki 2 kesalahan mendasar, yaitu konsep kuasa dan sebab-akibat untuk mengetahui eksistensi Pencipta dan ciptaan-Nya.

Kesalahpahaman terhadap konsep kuasa dan sebab-akibat dalam pandangan pemikir Deisme disebabkan oleh ketidakyakinan mereka terhadap dimensi immateri dalam lingkup epistemologis, sehingga cendrung mengabaikan seluruh paradigma yang bersifat non-indrawi yang dipandang tidak memiliki nuansa ilmiah di dalamnya. Murtadha Mutahhari, selaku pemikir dan mufasir abad 20, dalam Mukadimah Bar Jahān Baina Islāmi, berusaha memperbaiki ragam kekeliruan para pemikir barat dengan menjelaskan konsep kuasa dan sebab-akibat melalui dua pendekatan, yaitu qurani dan saintis

Murtadha Muthahhari mengawali konsep kuasa melalui surah al-Fatir ayat 15,berbunyi;

“يا ايها الناس انتم الفقراء الي الله و الله هو الغني الحميد”.

“Hai (seluruh) Manusia! Kamulah orang-orang yang butuh kepada Allah; dan Allah, Dialah Yang Maha Kaya, lagi Maha Terpuji (dalam segala sifat dan perbuatan-Nya)”. (al-Fatir 35: 15)

Ayat di atas, dalam pandangan Murtadha Muthahhari menjelaskan kekayaan eksistensi Tuhan yang tidak bergantung pada keberadaan lain, sedangkan keberadaan lain bergantung pada keberadaan-Nya. Murtadha Muthahhari pun mempertegas kekayaan eksistensi Tuhan melalui kata “هو الغني”, bermakna Dia Yang Kaya atas seluruh keberadaan yang berasal dan kembali kepada-Nya. Tak ada keberadaan yang keluar dari-Nya, terlepas begitu saja.

Baca Juga:  Al-Hujwiri: Puasa Memuat Seluruh Metode Tasawuf

Keberadaan-Nya dan ciptaan-Nya itu ibarat matahari dan sinarnya, tidak seperti jam dan tukang jam. Dengan demikian, segala sesuatu tidak dapat mandiri dan hadir di realitas tanpa bergantung kepada-Nya, sebagai bentuk kuasa Tuhan terhadap alam semesta. Pandangan Murtadha Mutahhari terhadap surat al-Fatir ayat 15 juga mempertegas, bahwa tidak ada segala sesuatu yang memiliki kekayaan yang setara dengan-Nya. Sebagaimana kembali dipertegas oleh Murtadha Muthahhari dalam surah al-Ikhlas ayat 4, berbunyi;

“و لم يكن له كفوا احد”

“Dan tidak ada sesuatu pun yang setara (dan tidak serupa)  dengan-Nya”. (QS. Al-Ikhlas 112:4)

Dengan demikian, nampak jelas bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh-Nya tidak memiliki sebuah kemandirian untuk eksis di realitas. Semua berada dalam penjagaan-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Murtadha Muthahhari mempertegas lagi dengan mengutip ayat “…Ingatlah, bahwa hanya kepada Allah kembali semua urusan”. (QS. Asy-Syura 42:53)

Surah asy-Syura ayat 53 dalam pandangan Murtadha Muthahhari merupakan sebuah argumentasi untuk menjelaskan bahwa relasi Tuhan dan ciptaan-Nya —alam semesta maupun manusia—  merupakan hubungan sebab dan akibat. Alam semesta sebagai akibat membutuhkan sebuah sebab untuk hadir di realitas. Sebab yang dibutuhkan oleh alam semesta sebagai akibat, merupakan sebab murni yang tidak bergantung kepada sebab lain, seperti formal dan material. Jika alam semesta bergantung pada sebab lain, maka sebab lain juga membutuhkan keberadaan sebab yang lain. Hal ini pun tidak dapat diterima secara logika. Hubungan sebab dan akibat harus meniscayakan keberadaan suatu eksistensi yang tidak membutuhkan sebab lain, selain dirinya sendiri. Para filsuf Muslim menyebut eksistensi yang tidak bergantung pada sebab lain dengan terma “Sebab Murni”.

Sejalan dengan pandangan para filsuf Muslim, Murtadha Muthahhari dalam Mukadimah Bar Jahān Baina Islāmi menyebutkan kekeliruan kaum Deisme cenderung berfokus pada sebab materialis. Sebagai contoh, kita semua sepakat bahwa unsur  air terdiri dari H2O, hidrogen dan oksiden, sebagai sebab material. Air tidak akan menjadi air sebagaimana mestinya, tanpa adanya dua sebab material dalam keberadaan air. Akan tetapi, hidrogen dan oksigen sebagai sebab material air juga membutuhkan sebab lain untuk menghadirkan dirinya sebagai akibat di eksternal. Begitu pun sebab lain yang mengakibatkan keberadaan hidrogen dan oksigen juga membutuhkan sebab lain hingga semua kembali pada sebab murni yang tidak membutuhkan sebab lainnya. Para logikawan mendeskripsikan hubungan sebab dan akibat ibarat keterhubungan rantai yang memiliki batasan atau akhir.

Baca Juga:  Antara Mujahadah dan Riyadhah

Semua sebab maupun akibat tidak dapat terlepas dari kekuasaan Tuhan. Mereka akan selalu bersama dengan Tuhan di mana pun dan kapan pun mereka berada. Tuhan tidak pernah meninggalkan setiap ciptaan-Nya. Tuhan dalam pandangan Murtadha Muthahhari senantiasa bersama dengan segala sesuatu dan sebab segala sesuatu merupakan bagian dari keberadaan Tuhan,

Berdasarkan ragam penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa eksistensi Tuhan menurut Murtadha Mutahhari dalam Mukadimah Bar Jahān Baina Islāmi, merupakan keberadaan yang mandiri, di mana seluruh ciptaan-Nya bergantung kepada-Nya. Setiap ciptaan (makhluk) tidak memiliki kuasa yang mandiri terhadap dirinya, kecuali atas dasar kehendak-Nya. Karena, relasi keduanya berhubungan secara sebab dan akibat yang senantiasa bersama tanpa meninggalkan satu sama lain, ini jelas berbeda dengan klaim kaum Deisme yang memandang Tuhan meninggalkan alam semesta setelah menciptakannya. Sebab, keberadaan Sang Pencipta dan yang diciptakan itu satu secara eksistensi, sehingga sejauh mana Anda dapat menemukan Tuhan, sejauh mana Anda dapat mengenali siapa Anda dan darimana keberadaannya berasal.

من عرف نفسه فقد عرف ربه””

“Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”

*NB: Dikutip langsung dalam buku Mukadimah Bar Jahān Baina Islāmi, dalam Bab Derajat dan Tingkatan Tauhid,  hal. 87-89

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Ayo Bertasawuf

Oleh: Darmawan Ketua Program Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf Apa itu tasawuf? Apakah tasawuf merupakan bagian dari…