Inilah Inti dari Syariat Puasa

Melihat pada dinamisasi ilmu dan pola pemikiran, saat ini, bersamaan dengan kemajuan dalam pelbagai bidang, mucul juga kecenderungan untuk menguak apa rahasia di balik perintah dari Yang Maha Esa. Bahkan di era kontemporer ini, berbagai macam bentuk pemberontakan terhadap syariat muncul atas dasar kegelisahan intelektual berbagai pihak, dan ini perlu diberi solusi secara arif.

Dahulu, ragam pertanyaan cukup dijawab dengan konsep ta’abbudi mengikut pada pembawa syariat, sekarang dapat dijawab dengan menggunakan hikmah-hikmah di balik pensyariatan itu. Ini semua muncul berkat ketundukan kepada syariat, kecanggihan dan kritisisme dalam berpikir. Secara tidak langsung ini dapat meningkatkan rasa husn azh-zhan pada Allah, membangkitkan kekaguman kepada syariat, dan menambah semangat untuk beribadah. Jadi, hikmah dapat menjadi stabilizer akal agar tunduk kepada syariat, solusi bagi nafsu yang memberontak, dan obat bagi hati yang sakit.

Puasa sebagai salah satu syariat tertua disamping kurban dan salat, memiliki sekelumit hikmah yang dapat mengendalikan manusia dari berbagai hal yang akan terjadi pada dirinya. Dalam tulisan pendek ini kita akan mencoba menilik apa hikmah (implikasi) di balik disyariatkannya puasa.

Lumrahnya, puasa dimaknai dengan menahan diri dari haus, lapar dan tidak berhubungan badan dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Pemaknaan seperti ini disebut sebagai makna secara normatif (syariat). Kiranya perlu kita melanjutkan kajian untuk menemukan apa hakikat dari makna puasa. Karena pemaknaan dengan diksi menahan, berimplikasi pada praktik masyarakat ada yang berusaha makan banyak-banyak di siang hari sebelum Ramadan (baca:puasa), terkadang ada yang terlalu berlebihan ketika berbuka, sehingga berpengaruh pada ibadah-ibadah lain yang turut perlu dikerjakan. Pada hakikatnya, di balik hikmah-hikmah yang dirasakan dari berpuasa bisa kita tarik bahwa puasa sebagai upaya pengendalian diri di bulan Ramadhan (baca: bulan puasa) ataupun di luar Ramadhan.

Baca Juga:  Syair Sufistik Hamzah Fansuri

Dalam kaca mata spiritual, puasa berimplikasi pada ketakwaan, mawas diri (muraqabah), amanah, bersyukur, dan melatih kesabaran. Sehari penuh kita mengendalikan keinginan makan, minum, nafsu libido, tujuannya ialah untuk melatih diri menjauhi dan menghindari godaan nafsu semata-mata karena taat pada Allah swt.

Puasa juga bertujuan untuk menumbuhkan rasa senantiasa diawasi Allah swt. Ketika siang hari merasakan lapar, haus, dan dalam posisi sepi, tetapi meyakinkan diri kalau diawasi oleh Dzat Yang Maha Melihat. Andaikan sifat ini dipertahankan dan juga dipraktikkan dalam kehidupan bermasyarakat akan berdampak positif terhadap tatanan sosial. Tidak akan terjadi tindakan melawan norma, hukum, dan garis tatanan hidup lainnya, karena merasa diawasi oleh Allah swt. dalam setiap laku hidupnya.

Orang yang berpuasa tidak bisa dinilai secara lahiriah. Orang yang tampak lesu belum bisa dikatakan berpuasa, begitu juga sebaliknya orang yang tampak segar tidak bisa kita tuduh sebagai orang yang tidak berpuasa. Ketika dalam posisi sendiri seseorang bisa melakukan pelanggaran tanpa sepengetahuan orang lain. Maka, puasa menjadi suatu hal yang dipercayakan kepada hamba. Secara tidak langsung, seseorang yang berpuasa telah berupaya mengendalikan diri untuk membiasakan bersikap amanah dalam hidupnya.

Sehari penuh selama Ramadhan seseorang melatih kesabarannya dengan cara menahan dorongan nafsu, makan, minum dan sebagainya. Itu semua dijalankan secara sukarela tanpa ada paksaan. Tentu, ini termasuk latihan kesabaran tingkat tinggi. Upaya ini bertujuan mengendalikan dan melatih seseorang untuk bersabar saat puasa dan di luar puasa yakni mencakup semua lika-liku perjalanan hidupnya. Disamping itu, latihan kesabaran ini meminimalisir penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada masyarakat. Orang mencuri karena tidak mampu bersabar terhadap masalah ekonomi yang dihadapinya, begitu juga orang berzina maupun membunuh karena tidak mampu bersabar terhadap libido dan emosinya.

Baca Juga:  Ilmu Mantik di Dunia Islam (1) : Sebuah Pengantar

Dari beberapa implikasi di atas, tampak dengan nyata bagaimana besarnya pengaruh puasa bagi seseorang ataupun masyarakat secara umum. Maka dapat kita rumuskan bahwa hulu dari hikmah-hikmah yang bisa dipetik dari berpuasa adalah mengajarkan seseorang untuk mengendalikan dirinya.

0 Shares:
You May Also Like