Lembaga Tahfiz di Indonesia: Upaya Merawat Kemurnian Al-Qur’an

Judul                : Memelihara Kemurnian Al-Qur’an

Penulis             : Muhammad Shohib dan M. Bunyamin Yusuf Surur

Penerbit           : Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an

Tebal               : 681 hlm

ISBN               : 978-602-9306-09-5

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Demikian bunyi ayat Al-Qur’an yang sudah tidak lagi asing di telinga orang-orang Islam. Ayat tersebut menunjukkan bahwa diturunkannya Al-Qur’an tidak terlepas dari keterpeliharan akan tahrif dan tabdil. Al-Qur’an diturunkan kepada manusia untuk dijadikan pedoman hidup. Kandungan Al-Qur’an menjadi sumber rujukan dan sebagai kitab perundang-undangan yang menuntun umat manusia kepada dar al-sa’adah fi al-darain (tempat yang diliputi kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat).

Berbagai cara yang dilakukan oleh umat Islam dalam rangka memelihara dan menjaga kemurnian Al-Qur’an, salah satunya dengan cara menuliskan dan menghafalnya. Tradisi menghafal Al-Qur’an di Indonesia telah lama dilaksanakan oleh para ulama yang belajar di Timur Tengah kemudian disebarluaskan dengan mendirikan lembaga tahfiz Al-Qur’an kepada masyarakat luas dan diminati. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana lembaga-lembaga tahfiz Al-Qur’an di Indonesia mengelola dan mengawal kegiatan para penghafal Al-Qur’an? Bagaimana upaya lembaga tahfiz Al-Qur’an dalam melaksanakan proses pemurnian Al-Qur’an agar tetap terjaga? Serta apa ragam metode tahfiz dan kurikulum kajian Al-Qur’an yang dipelajarinya?

Buku Memelihara Kemurnian Al-Qur’an: Profil Lembaga Tahfiz Al-Qur’an di Nusantara  merupakan hasil riset penelitian tim peneliti Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an—yang segera akan kita review—kiranya menyediakan jawaban dari pertayaan-pertanyaan di atas. Buku ini hadir sebagai hasil penelitian selama 2 tahun (2007-2009). Buku ini menyajikan beragam informasi mengenai lembaga tahfiz Al-Qur’an di Indonesia yang berjumlah 41 lembaga yang kemudian akan diuraikan menjadi tiga bagian; pertama, profil pondok pesantren tahfiz Al-Qur’an di pulau Jawa; kedua, profil pondok pesantren tahfiz Al-Qur’an di pulau Sumatera dan Kalimantan; ketiga, profil pondok pesantren di pulau Sulawesi dan Nusa Tenggara.

Baca Juga:  Kebenaran yang Hilang : Sisi Kelam The Golden Age of Islam

Buku yang disajikan tim peneliti Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an kiranya mencoba membedah dan memotret sejarah perkembangan lembaga-lembaga tahfiz yang ada di Indonesia, hubungan pola sanad antar lembaga, serta ragam metode tahfiz dan kurikulum kajian Al-Qur’an yang dipelajarinya.

Berangkat dari kacamata sejarah, tahfiz Al-Qur’an di Indonesia pada awalnya adalah suatu usaha individu yang mempunyai keinginan untuk menghafal Al-Qur’an melalui seorang guru yang tentunya sudah hafal Al-Qur’an, dan biasanya bertempat di masjid-masjid atau surau-surau. Jadi—pada waktu itu—tidak ada lembaga khusus yang mempunyai program pembelajaran Al-Qur’an secara khusus, walaupun ada lembaga namun pembelajarannya tidak terpusatkan pada program pembelajaran Al-Qur’an.

Lembaga-lembaga yang ada—pada saat itu—mengajarkan mengenai kitab-kitab klasik baik di bidang fikih, kalam, tasawuf, dan tentunya di dalamnya juga terdapat pengajaran Al-Qur’an dan tafsir yang dipimpin langsung oleh pimpinan lembaga tersebut. Melalui pembelajaran Al-Qur’an tersebut—menurut saya—itulah yang akan menjadi cikal penggerak tradisi menghafal Al-Qur’an di Indonesia (lihat: Sejarah Pendidikan Islam).

Membaca buku ini, pembaca akan diajak bertamasya mengenal lembaga-lembaga tahfiz yang ada di Indonesia. Mengesampingkan lembaga-lembaga yang tercantum di buku ini, saya menemukan beberapa catatan yang kiranya menurut saya lebih penting, yaitu terkait kelembagaan, sanad (silsilah seorang hafiz), metode yang digunakan lembaga, dan kurikulum yang diterapkan, yaitu berupa kesamaan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Kiranya itulah yang harus menjadi catatan penting di buku ini.

Pertama, dari aspek kelembagaan. Lembaga-lembaga tahfiz Al-Qur’an yang ada di buku ini pada umumnya memiliki bentuk pesantren yang pengelolaanya sebagian besar di bawah naungan keluarga dengan kiai sebagai pengasuh utamanya. Namun sebagian lain ada juga lembaga yang pengelolaannya dikelola oleh badan yang berbentuk yayasan, seperti PTIQ, IIQ, bahkan UIN-UIN yang ada sudah mulai melebarkan sayapnya ke arah tahfiz Al-Qur’an. Pada bagian awal yang telah disebutkan pembelajaran yang dilakukan umumnya hanya melakukan tahfiz Al-Qur’an, namun ada juga pesantren yang menerapkan program wajib belajar tambahan. Adapun latar belakang dari pendirian lembaga-lembaga tahfiz yang ada di Indonesia secara umum sama, yaitu mengembangkan pembelajaran tahfiz Al-Qur’an dalam rangka mencetak generasi Qur’ani.

Baca Juga:  Inovasi Pengembangan Media Pembelajaran

Kedua, dari aspek sanad (silsilah seorang hafiz) yaitu dilakukan dari Nabi saw, kemudian sahabat, tabi’in, kemudian sampai kepada guru tahfiz yang ada. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh tim riset Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an di Jawa, Madura, dan Bali, ditemukan 5 sanad yang mempunyai peranan dalam penyebaran tahfiz Al-Qur’an di Indonesia. Kesemuanya bersumber dari Makkah, mereka adalah: K.H. Muhammad Sa’id bin Isma’il, Sampang, Madura; K.H. Munawwar, Sidayu, Gresik; K.H. Muhammad Mahfuz at-Tarmasi, Termas, Pacitan; K.H. Muhammad Munawwir, Krapyak, Yogyakarta; K.H. M. Dahlan Khalil, Rejoso, Jombang. Dari lima orang inilah berkembang para huffaz dan pesantren tahfiz di Indonesia.

Ketiga, dari aspek metode yang digunakan para lembaga tahfiz. Secara umum lembaga-lembaga yang ada menggunakan dua metode yaitu bi al-nazar (dengan melihat) dan bi al-ghayb (dengan menghafal). Selain dua cara tersebut ada istilah-istilah lain yang lazim digunakan di lingkungan pesantren. Istilah-istilah tersebut yaitu: nyetor, muraja’ah, mudarasah, sima’an, taikraran, talaqqi, dan musyafahah.

Keempat, dari aspek kurikulum yang diterapkan. Kurikulum  merupakan perangkat pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan, termasuk dalam lembaga tahfiz Al-Qur’an. Pada umumnya kurikulum yang utama dan digunakan di lembaga tahfiz terfokus pada upaya menghafal Al-Qur’an saja. Adapun program-program lain biasanya dilakukan setelah para santri menguasai Al-Qur’an secara bi al-ghayb. Walaupun demikian, ada juga beberapa lembaga tahfiz yang memang memberikan program tahfiz dibarengi dengan pembelajaran disiplin ilmu lainnya.

Demikian garis besar informasi yang ada di dalam buku ini, sebagai salah satu upaya sosialisasi yang berhubungan dengan lembaga tahfiz Al-Qur’an, baik dari aspek kelembagaan, ragam metode, hubungan sanad, dan kurikulum yang digunakannya. Buku ini menurut saya layak untuk dijadikan acuan bagi masyarakat, terkhusus para pengasuh lembaga-lembaga tahfiz Al-Qur’an dalam upaya pembinaan dan peningkatan kualitas kelembagaan Al-Qur’an dalam rangka pemeliharaan kitab suci Al-Qur’an. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri terkait informasi-informasi yang ada di dalam buku ini sudah semestinya melakukan update data untuk mendapatkan data yang lebih aktual.

Baca Juga:  Pancasila dalam Dimensi Praxis: Menyelami Samudera Kebajikan
0 Shares:
You May Also Like