Majelis Ayat Kursi: Keseimbangan Dunia Akhirat & Moderasi Beragama

Judul         : Living Qur’an: Studi Kasus Majelis Ayat Kursi Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D.

Penulis        : Opisman

Penerbit      : Lembaga Ladang Kata

Tebal           : xiv + 138 halaman

ISBN            : 978-623-6600-41-2

Living Quran merupakan kajian yang membahas tentang fenomena sosial yang berkaitan dengan keberadaan Al-Qur’an di tengah masyarakat (komunitas Muslim) atau resepsi teks Al-Qur’an dengan masyarakat. Sederhananya, living quran dapat diartikan sebagai aktivitas manusia untuk “membumikan” Al-Qur’an. Pertemuan masyarakat dengan Al-Qur’an memberikan warna yang berbeda-beda dalam menyikapi atau memperlakukan Al-Qur’an. Praktiknya dalam masyarakat ada yang menggunakan teks Al-Qur’an sebagai aksesoris, bacaan rutin, penangkal penyakit (obat), wirid, dll.

Majelis Ayat Kursi tidak terlepas dari Yudian Wahyudi, Pondok Pesantren Nawesea, dan Tarekat Sunan Anbia. Majelis Ayat Kursi merupakan salah satu amalan dalam Tarekat Sunan Anbia dan sebagai amalan setiap malam para santri di Pondok Pesantren Nawesea. Adapun Yudian Wahyudi adalah tokoh pendiri Majelis Ayat Kursi, Tarekat Sunan Anbia, dan Pondok Pesantren Nawesea. Keterkaitan empat hal itu dapat dijelaskan Opisman dalam karyanya.

Pendirian Majelis Ayat Kursi merupakan kelanjutan dari Tarekat Sunan Anbia sebagai amalan para pengikut tarekat. Tujuan Yudian mendirikan tarekat sebagai aksi untuk mengubah keadaan antara Islam duniawi dan Islam ukhrawi menjadi Islam duniawi dan ukrawi sekaligus. Hal itu karena pada umumnya tarekat hanya mementingkan akhirat dan mengabaikan kehidupan dunia. Menurut Yudian, tarekat merupakan jalan yang  menjanjikan keberhasilan di dunia dan akhirat, sehingga dapat menghadirkan surga di dunia sebelum surga di akhirat. Ia menyebut Tarekat Sunan Anbia sebagai “…tarekat eksistensialis-positivis-kontemporer: tarekat yang mengajarkan bekerja (beramal) setelah berdoa…” (hlm. 46).

Baca Juga:  Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan Dunia Muslim

Prosesi pembacaan Majelis Ayat Kursi diawali dengan salat Hajat dua rakaat dan dilanjutkan doa setelah salat. Setelah itu baru dimulai pembacaan Majelis Ayat Kursi. Resepsi Al-Qur’an pada praktik pembacaan Majelis Ayat Kursi ialah semua bacaan Al-Qur’an pada saat prosesinya, termasuk bacaan Al-Qur’an yang dalam pelaksanaan salat Hajat maupun bacaan doa (hlm. 62). Penggunaan Al-Qur’an dalam Majelis Ayat Kursi berupa satu surat, satu ayat maupun penggalan ayat-ayat yang digunakan untuk zikir. Semua amalan dari salat Hajat hingga pembacaan Majelis Ayat Kursi bermuara agar doa yang dipanjatkan terkabul.

Doa merupakan pola hubungan antara yang lebih tinggi dan yang lebih rendah, ada yang dominan memberi dan ada yang butuh dan memohon (Faiz, 2020: 132 ; Toha, 2020: 101). Dalam berdoa seorang peminta hendaknya tidak langsung “memerintah” atau meminta kebutuhan, sebaiknya menggunakan pendahuluan. Pengantar dalam doa sangat penting dan dianjurkan, biasanya dalam berdoa kita disuruh menggunakan asmaul husna untuk pendahuluan. Hal itu sebagai pujian atau rayuan kita kepada Sang Maha agar permohonan kita berkenan dikabulkan.

Yudian dalam Majelis Ayat Kursi melakukan pendahuluan atau pengantar sebelum berakhir di doa. Ia mengawali dengan salat Hajat, baginya doa yang paling mustajab ialah doa yang diucapkan setelah melaksanakan salat Hajat (hlm. 82). Selain itu, Yudian telah merasakan kenikmatan dari mengamalkan salat Hajat yang rutin ia amalkan sejak 2 Agustus 1982. Ia juga menggunakan asmaul husna yang dirangkai dalam Majelis Ayat Kursi sebagai pengantar doa. Majelis Ayat Kursi substansinya mengandung nilai-nilai moderasi beragama, tidak ekstrem dalam memaknai Islam. Tawasul (perantara) menurut Yudian tidaklah dilarang, ia menyandarkan pandangan itu pada QS. Al-Maidah ayat 2. Ayat tersebut ia maknai bahwa wasilah tidaklah dilarang karena bagian meminta pertolongan dan selama tidak terjerumus kedalam syirik tidak masalah. Di satu sisi ia mengkritik pandangan orang-orang Wahabi dan di lain sisi ia mencoba memahami kritik tersebut. Wasilah boleh digunakan sebagai sarana, namun tidak boleh “wasilah-isme” (hlm. 90). Yudian mengambil jalan tengah antara anti wasilah dan mengkultuskan seseorang sebagai perantara, yaitu menggunakan wasilah dalam Majelis Ayat Kursi tanpa berlebihan (tidak anti wasilah dan tidak mengkultuskan).

Baca Juga:  Fase-Fase Pendidikan Anak dalam Tinjauan Al-Qur’an

Keseimbangan menjalani hidup juga terdapat dalam Majelis Ayat Kursi. Manusia harus seimbang dalam bersikap, tidak boleh hanya memilih salah satu antara materialisme atau spiritualisme. Tidak diperbolehkan hanya khusuk ibadah spiritual lalu meninggalkan urusan dunia atau sebaliknya (hlm. 97). Dalam surat Al-Hadid ia memahami keseimbangan dan kelengkapan ajaran Islam, lalu bisa menjadi bangsa yang maju dan berkembang (hlm. 98).

Yudian memahami Islam sebagai agama yang aktif. Hal itu tercermin dalam buku Living Qur’an: Studi Kasus Majelis Ayat Kursi Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D. Menurutnya orang Islam harus memiliki kekuasaan, hal itu merupakan bentuk meneladani nama Allah al-Fattah (Maha Memberi Keputusan). Melalui kekusaan orang Islam dapat mengambil keputusan bagi dirinya sendiri dan orang lain, melalui kekusaaan juga dapat memberikan kesejahteraan dengan sesama. Selain itu, dalam memaknai rezeki ia beranggapan bahwa lebih baik menjadi konglomerat lalu rajin sedekah daripada miskin lalu meminta-minta. Hal itu dilandasi dari hadis Nabi saw. bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah (hlm. 101). Namun, ketika menjadi konglomerat ada larangan untuk memonopoli dan menumpuk harta.

Kunci pokok dari Majelis Ayat Kursi adalah ayat kursi dan doa. Ayat kursi merupakan bacaan terbaik sebelum berdoa karena dalam ayat kursi mengandung ayat tauhid yang dapat membebaskan diri dari kesyirikan. Yudian menggunakan ayat kursi dimaksudkan sebagai antisipasi penyelamatan dari su’ul khatimah karena syirik bisa hinggap kapan saja dalam diri dan merupakan dosa yang tidak diampuni (hlm. 112-113). Sedangkan doa, ia mengajarkan untuk berdoa secara spesifik karena jika berdoa sifatnya umum, misalnya meminta rezeki bisa saja malaikat memberikan rezeki yang sifatnya umum (hlm. 121). Hal itu sejalan dengan Fahruddin Faiz (2020: 143) bahwa berdoa dengan memohon permintaan secara langsung atau to the point tidaklah dilarang karena Allah suka kalau hambanya meminta, ud’uni atajib lakum.

Secara keseluruhan buku tersebut sangat penting untuk dibaca. Banyak hal yang diungkap oleh Opisman dalam penelitian tentang Majelis Ayat Kursi. Pemahaman-pemahaman Yudian dalam berkeislaman mewarnai buku karyanya. Sudut pandang atau pemaknaan Yudian dalam ayat-ayat Al-Qur’an di Majelis Ayat Kursi sangat menarik, seperti konsep sabar, prinsip kepasangan (dualitas), dll. Sudah saatnya kita luangkan waktu untuk membacanya.

Baca Juga:  Kereta Socrates: Melancong ke Dalam, Mencari Diri

0 Shares:
You May Also Like