Nurcholish Madjid dan Isu Pluralisme Agama di Indonesia

Di Indonesia, banyak tokoh yang berbicara tentang pluralisme agama yang dapat dijadikan rujukan ketika hendak mengkaji seputar tema pluralisme agama. Sebut saja Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Budhy Munawar Rachman, Abdul Moqsith Ghazali, Ulil Abshar, dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya yang telah lebih dulu berkecimpung dengan tema ini.

Pada tahun 1993 Nurcholish Madjid merupakan salah seorang pemikir Muslim Indonesia yang paling terkemuka dalam bidang keilmuan Islam dan demokrasi; pluralisme. Ia menulis artikel berjudul “The Islamic Roots of Modern Pluralism”. Nurcholish Madjid menyadari, bahwa tidak ada problem teologis apapun umat Islam dalam menerima ide-ide demokrasi modern seperti pluralisme. Justru sebaliknya, secara konseptual umat Islam telah menyediakan argumen untuk penerimaan pluralisme itu. Tetapi, menurut Nurcholish Madjid argumen tersebut masih bersifat implisit, oleh karena itu perlu diekspilitkan dan dirumuskan secara sistematis, sesuai dengan kaidah berpikir hermeneutika (interpretasi) modern, sehingga bisa berdialog dengan pengertian pluralisme.

Nurcholish Madjid sepanjang karir intelektualnya, terus menerus menulis argumen pluralisme agama, melalui karangan-karangannya yang tersebar. Nurcholish Madjid hanyalah salah satu contoh dari perkembangan isu global dunia Islam tahun 1990-an (paska runtuhnya komunisme). Dunia Islam pada era itu memang ditandai dengan pergulatan baru Islam dan gagasan demokrasi mutakhir, terutama dengan pluralisme sebagai isu yang paling kontroversial. Pergulatan ini terjadi bersamaan dengan munculnya gerakan-gerakan Islam radikal yang mencoba memurnikan pengertian Islam dari pencemaran ide-ide Barat seperti pluralisme.

Gerakan Islam liberal mulai menemukan momentumnya di Indonesia pada awal tahun 1970-an, seiring dengan perubahan era politik dari era Soekarno ke Soeharto. Gerakan ini dipicu oleh munculnya generasi santri baru yang lebih banyak berkesempatan mempelajari Islam dan melakukan refleksi lebih serius atas berbagai isu sosial-keagamaan. Seperti berulang kali dicatat oleh buku sejarah pemikiran Islam Indonesia kontemporer dan akan banyak dibicarakan dalam tulisan ini, tokoh paling sentral dalam gerakan pembaharuan Islam adalah Nurcholish Madjid, sarjana Islam yang memiliki semua syarat untuk menjadi pembaru.

Baca Juga:  Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan: Ruang Bagi Kemerdekaan Spiritual dalam Bertasawuf

Pluralisme agama menurut Nurcholish Madjid adalah sebuah pertalian sejati dalam ikatan-ikatan keadaban, pluralisme agama sebuah keharusan dalam kehidupan yang beradab. Nurcholish Madjid mengemukakan konsep pluralisme agama dalam berbagai bukunya, di antaranya dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Nurcholish Madjid mengemukakan penjelasan panjang lebar tentang pluralisme agama (kemajemukan keagamaan) sebagai berikut:

 “Al-Qur’an mengajarkan paham kemajemukan keagamaan (religious plurality). Ajaran ini tidak perlu diartikan sebagai secara lansung pengakuan kebenaran semua agama dalam bentuknya yang nyata sehari-hari (dalam hal ini, bentuk-bentuk nyata keagamaan orang-orang “Muslim” pun banyak yang tidak benar, karena secara prinsipil bertentangan dengan ajaran kitab suci Al-Qur’an, seperti misalnya sikap pemitosan kepada sesama manusia atau makhluk yang lain, baik yang hidup atau yang mati). Akan tetapi, ajaran kemajemukan keagamaan itu menandakan pengertian dasar bahwa agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para penganut agama itu masing-masing, baik secara pribadi ataupun secara kelompok. Sikap ini dapat ditafsirkan sebagai harapan kepada semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama, yaitu keharusan manusia untuk berserah diri kepada Yang Maha Esa, maka agama-agama itu, baik karena dinamika internalnya sendiri atau karena persinggungannya satu sama lain, akan berangsur-angsur menemukan kebenaran asalnya sendiri, sehingga semuanya akan bertumpu  dalam suatu “titik pertemuan” (common platform), atau dalam istilah Al-Qur’an “kalimah sawa”, sebagaimana hal itu diisyaratkan dalam sebuah perintah Allah kepada Rasul-Nya Nabi Muhamad saw.: “Katakanlah olehmu (Muhammad): wahai ahli kitab! Marilah menuju titik pertemuan (kalimah sawa) antara kami dan kamu: yaitu, bahwa tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apapun, dan bahwa sebagian kita mengangkat sebagian yang lainnya sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah”.

Baca Juga:  Cak Nur dan Semangat Mengukuhkan Intelektualitas dalam Dunia Muslim

Pluralisme  agama dalam ajaran semua agama menurut Nurcholish Madjid terletak pada sikap “tidak menyembah selain Tuhan”, konsep ini sejalan dengan makna generik Islam. Oleh karena itu, ia mengatakan, meskipun secara eksoterik agama itu berwajah plural, namun secara esoterik, semua agama bermuara kepada satu Tuhan, Tuhan Yang Maha Esa. Lebih-lebih agama monoteisme, Seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, yang kesemuanya berujung kepada garis Ibrahim. Hal ini semakin meneguhkan hakikat dasar tentang keesaan Tuhan (tauhid). Dengan argumen di atas, Nurcholish Madjid menyatakan bahwa pluralisme agama adalah kemajemukan jalan menuju kebenaran yang satu, yaitu kebenaran Tuhan.

Previous Article

Islam Agama "Protes": Membedah Pemikiran Ali Syariati

Next Article

Mengenal Al-Faruqi (1): Sebuah Pengantar

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨