Meneladani Kearifan Nurcholish Madjid dalam Memandang Perbedaan

Oleh: Cusdiawan

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Nurcholish Madjid (selanjutnya disebut Cak Nur) lahir pada 17 Maret 1939 dari keluarga pesantren di Jombang, Jawa Timur.  Cak Nur mendapatkan pendidikan dasar (SR) di Mojoanyar dan Bareng, juga Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar, Jombang. Setelah itu, melanjutkan pendidikan di pesantren (SMP) di Pesantren Darul Ulum, Rejoso Jombang, ia kemudian pindah ke pesantren yang modernis, yakni KMI (Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah), Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo.

Setelah di Pesantren Gontor yang saat itu sudah termasuk sangat modern, Cak Nur kemudian memasuki Fakultas Adab, jurusan Sastra Arab, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan menamatkannya pada 1968. Setelah itu, Cak Nur mendalami ilmu politik dan filsafat Islam  di Universitas Chicago, 1878-1984, sehingga mendapat gelar Ph.D. dalam bidang filsafat Islam dengan disertasi mengenai Filsafat dan Kalam Menurut Ibn Taimiyah. Cak Nur sendiri dikenal berasal dari keluarga NU.

Cak Nur sendiri dikenal luas sebagai cendikiawan Muslim terkemuka di Indonesia, sehingga tidak berlebihan kiranya ketika Budhy Munawar Rachman dalam buku Ensiklopedi Nurcholish Madjid (2005) menyebut pemikirannya bersifat ‘ensiklopedis’, karena pengetahuannya yang memang membentang luas dan dalam. Dengan kata lain, meliputi banyak isu dan sangat komprehensif. Menurut Budhy Munawar, pemikiran Cak Nur dianggap berkecenderunan modern, tetapi sekaligus sosialis-religius.

Cak Nur sendiri meninggal pada 29 Agustus 2005, dan dalam rangka haul 15 tahun Cak Nur ini, saya ingin sedikit mengulas pemikiran Cak Nur, yang sudah barang tentu masih relevan dengan kondisi saat ini. Bagi saya, mempelajari Cak Nur bagaikan menyelami ‘samudera kearifan’.

Kearifan Cak Nur, bisa terlihat salah satunya yakni bagaimana ia memandang Kebenaran. Bagi Cak Nur, Kebenaran (dengan K besar) adalah tujuan, yang boleh dikatakan, karena keterbatasan manusia tak akan dapat dicapai secara penuh, tapi harus terus menerus dicari, dan terus maju ke depan, menguak batas-batas akal budi. Pencarian (dan ‘penyerahan diri’) yang terus-menerus tentang Kebenaran (al-islam) itulah yang disebut Cak Nur sebagai sikap yang modern.

Baca Juga:  Ijtihad Kebangsaan R.K.H. Abdul Hamid Baqir

Dari ungkapan tersebut, terdapat pesan yang begitu luar biasa. Pertama, meski kita menyadari bahwa akal kita amat terbatas, tapi kita tidak akan tahu sampai di mana batasan akal kita, kalau kita tidak senantiasa untuk mencari, mencari dan terus mencari tentang kebenaran itu sendiri.

Kedua, karena kita menyadari kemampuan akal kita terbatas, oleh karena itu, tidak selayaknya kita menganggap ‘kebenaran’ yang berdasarkan hasil pencarian kita tersebut bersifat mutlak. Oleh sebab itu, kita diajarkan pula untuk selalu rendah hati, dan tidak serta merta menganggap pandangan orang lain sebagai suatu yang sesat dan semacamnya.

Ketiga, Islam sendiri, yang bisa diartikan sebagai ‘penyerahan diri’ atau ‘sikap yang tunduk’, harusnya mampu menyadarkan kita, bahwa meskipun kita berkeyakinan pengetahuan yang kita yakini merupakan suatu kebenaran, tapi sudah selayaknya disadari bahwa ‘Tuhan lah yang kelak menjadi hakim untuk kita sekalian.

Artinya kita tidak bisa terburu-buru memandang pandangan orang lain yang berbeda dengan kita sebagai suatu kesesatan dan semacamnya, sebagai derivasi dari arti kata Islam, sikap ‘penyerahan diri’ atau ‘sikap tunduk’ kepada Tuhan itu sendiri, artinya Tuhan-lah yang berhak menjadi penilai sesungguhnya.

Oleh sebab itu, bila kita memahami dan mempraktikkan ajaran Cak Nur tersebut, maka keteduhan dalam beragama akan semakin kita rasakan. Bandingkan misalnya dengan kegaduhan yang beberapa tahun ke belakang yang turut mewarnai ruang publik kita, di mana dengan gampangnya orang menghakimi orang lain sebagai munafik, sesat dan semacamnya, hanya karena pilihan politik.

Secara umum, kearifan dari ajaran Cak Nur pun akan membuat kita tidak mengedepankan semangat sektarian, tidak mudah mengecap praktik-praktik keagamaan tertentu sebagai sebuah bid’ah, sesat, kafir dan semacamnya, karena kita menyerahkan sepenuhnya pada Tuhan. Terlalu mengedepankan semangat sektarian, terlalu fanatik terhadap sebuah pandangan tertentu, justru dapat mengganggu terwujudnya ukhuwah Islamiyah.

Kita sebagai manusia, seharusnya mempunyai kesadaran penuh, bahwa kita hanya bisa berikhtiar mencari kebenaran, tapi tidak bisa memutlakkan bahwa hanya pandangan kita yang benar seakan kita tahu persis apa yang dimaksudkan oleh Tuhan. Sudah selayaknya, kita belajar memandang perbedaan sebagai suatu hal yang memperkaya khazanah pengetahuan, dibanding mempertengkarkan yang menjurus kepada kebencian karena terlalu mengedepankan semangat sektarian. Kita perlu mengembangkan sikap keagamaan secara sehat.

Baca Juga:  Cak Nur dan Semangat Mengukuhkan Intelektualitas dalam Dunia Muslim

Dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban (1992), dengan mendasarkan pada QS Al-Maidah ayat 48, Cak Nur menulis, “Sikap yang sehat itu ialah menggunakan segi-segi kelebihan kita masing-masing untuk secara maksimal saling mendorong dalam usaha mewujudkan berbagai kebaikan dalam masyarakat. Sementara itu, kita serahkan perbedaan tersebut kepada Tuhan semata”.

Lebih lanjut, Cak Nur menegaskan bahwa kemajemukan merupakan sunnatullah yang tidak terhindarkan karena kepastiannya. Meski demikian, perselisihan dalam sebuah kominitas merupakan sebuah kewajaran, yang tidak wajar adalah ketika perselisihan tersebut meningkat sehingga timbul situasi saling mengucilkan dan pemutusan hubungan, dalam bentuk pengkafiran oleh yang satu dan yang lain.

Oleh sebab itu, bila kita mengacu kepada ajaran Cak Nur, maka kita harus mampu mengembangkan kesadaran bahwa secara historis, di dalam intra umat Islam sendiri memang sudah sangat beragam dan diperlukan sebuah sikap penilaian yang proporsional dan seimbang. Cak Nur mengatakan, “Kemampuan dan sikap proporsional itu, pada urutannya, diharap menjadi pangkal bagi pandangan yang lebih apresiatif, yang akan berkembang menjadi sikap-sikap yang respek dan toleran”.

Previous Article

Pergulatan Kaum Sufi dalam Menyingkap Makna Batin Al-Qur'an

Next Article

Wara’: Pilar Ketiga Thariqah Bani Alawi

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨