Wara’: Pilar Ketiga Thariqah Bani Alawi

Oleh: Husin Nabil Assegaf

Pengajar di Nuralwala dan Pengasuh Majelis Rebo Malem

Dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. kita harus terlebih dahulu memiliki ilmu, kemudian mengamalkannya serta harus menyandang sifat wara’. Sifat wara’ itu adalah menjauhi hal-hal yang syubhat—keragu-raguan atau kekurangjelasan tentang sesuatu (apakah halal atau haram dan sebagainya) karena kurang jelas status hukumnya—terlebih hal-hal yang diharamkan oleh Allah swt.

Al-Habib Idrus bin Umar al-Habsyi menjelaskan sifat wara’ itu adalah perbuatan menjaga diri dari hal-hal yang buruk dan berpaling secara syar’i dari segala sesuatu yang meragukan kehalalannya atau meragukan kebenarannya. Lebih lanjut beliau menjelaskan, semuanya itu dilakukan dengan berdiri dan dengan batasan ilmu pengetahuan tanpa disertai takwil—yaitu membuat-buat alasan untuk menutupi keinginan syahwat yang kita lakukan”.  Sebab ada orang yang berilmu tapi dia mengotak-atik ilmunya untuk kepentingan syahwatnya, sehingga apa yang diamalkan dari ilmunya itu tidak menghantarkan dirinya untuk lebih dekat dan semakin dekat kedudukan dirinya kepada Allah swt.

Jika dalam hati seseorang itu telah tertanam sifat wara’, maka ia akan mendisiplinkan syahwatnya untuk mengikuti ilmu yang benar, bukan memanfaatkan ilmunya untuk kepentingan syahwatnya. Itu sebabnya, wara’ merupakan pilar ketiga di dalam Thariqah Bani Alawi, supaya setiap orang yang berada dalam lingkaran Thariqah Bani Alawi mereka selalu memiliki sifat berhati-hati di dalam berucap, bertindak, tidak mendahulukan ego, tidak mendahulukan kepentingan-kepentingan pribadinya juga dalam perbuatannya sehari-hari. Kita akan temukan di dalam jalan hidup para ulama Thariqah Bani Alawi mereka semua mengarah kepada jalan hidup Nabi Muhammad saw. yang sangat berhati-hati dalam setiap ucapan dan perbuatannya.

Sikap kehati-hatian itu bersumber dari Al-Qur’an, Allah swt. berfirman kepada Nabi Muhammad saw.;

Baca Juga:  Sakit sebagai Karunia

يَٰٓأَيُّهَا ٱلرُّسُلُ كُلُواْ مِنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَٱعۡمَلُواْ صَٰلِحًاۖ إِنِّي بِمَا تَعۡمَلُونَ عَلِيمٞ

“Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik dan kerjakanlah amal saleh, Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mu’minun [23]: 51)

Di dalam ayat tersebut Allah tidak menyebutkan hanya dari sesuatu yang halal, tapi dari sesuatu yang baik-baik, yakni sesuatu yang benar-benar murni kehalalannya dan tidak kemasukan hal-hal yang syubhat. Begitu pula perintah Allah swt. kepada orang-orang yang beriman;

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لِلَّهِ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ

“Hai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami anugerahkan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu benar-benar hanya menyembah kepada-Nya” (QS. Al-Baqarah [2]: 172).

Kalimat “hal-hal yang baik” itu bisa ditafsirkan dengan bermacam-macam, tetapi penafsiran yang paling prioritas adalah sesuatu yang halal dan yang murni kehalalannya baik untuk jiwa dan raga atau batin dan lahir. Itulah pentingnya sifat wara’ dalam mendekatkan diri kepada Allah swt.

(Keterangan: Tulisan ini hasil transkip dari video berjudul Wara’ Pilar Thariqah Bani Alawi oleh Habib Husin Nabil Assegaf di kanal Youtube Nuralwala dan telah disesuaikan oleh tim Nuralwala)

 

0 Shares:
You May Also Like