Etika Politik Islam dalam Pemikiran Hamka

Oleh: Rahmad Tri Hadi

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Etika poltik Islam merupakan kajian filsafat moral atau ilmu akhlak yang berlatar belakang Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Moral dan akhlak mempunyai  arti yang serupa yakni kesusilaan, namun keduanya memiliki batasan yang berbeda. Moral berangkat dari sistem nilai yang dianut oleh sekelompok masyarakat tertentu, sedangkan akhlak berangkat dari ajaran agama Islam (Hamzah, 1993: 13).

Dalam Islam, akhlak mempunyai kedudukan yang tinggi yakni sebagai persoalan ushuliyah (prinsipil), di samping ubudiyah (ibadah). Betapa Islam sangat memperhatikan persoalan akhlak, hal itu dibuktikan dengan diutusnya Nabi dan Rasul ke dunia untuk memperbaiki akhlak manusia, dan itulah misi pertama Islam hadir di dunia ini meluruskan kembali akhlak umat manusia yang telah banyak menyimpang dari kodratnya sebagai manusia.

Seiring perkembangannya, kajian etika politik Islam mengalami perkembangan ruang dan waktu. Kajian etika Islam harus memperhatikan 4 aksioma etika, yaitu tauhid, keseimbangan, kehendak bebas, dan pertanggungjawaban. Demikian halnya etika politik Islam, harus memperhatikan keempat aksioma tersebut sebagai dasar fundamental pengembangan kajian etika politik Islam. Objek kajian etika politik Islam mencakup tiga aspek yang harus ditelaah, yaitu sarana, tujuan, dan aksi politik. (Khaeron, 2013: 131-140)

Hamka merupakan sosok sejarawan, politikus, sastrawan, dan ulama yang dikagumi serta dicintai oleh Bangsa Indonesia, bahkan dari luar Bangsa Indonesia pun, dengan dibuktikan beberapa kali beliau diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum serta beberapa penghargaan dan gelar yang beliau terima. Selama hidupnya, beberapa kali Hamka berkecimpung di dunia politik walaupun tidak sepopuler namanya dalam dunia keulamaan dan kesastrawanan.

Dalam beberapa tulisannya, Hamka menuliskan pikiran-pikiran tentang politik. Landasan moral politik Hamka berangkat dari hak asasi manusia (HAM) atau dalam istilah Hamka disebut dengan hak asli. Hamka menjelaskan bahwa sebagai makhluk yang hidup manusia sudah dibekali hak oleh Tuhan sebagai bekal bagi manusia untuk hidup di dunia. Dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, hak asasi manusia praktis sangat dibutuhkan untuk menuju suatu keadilan (Hamka, 2015: 158).

Baca Juga:  Ahmad Syafii Maarif: Islam dan Masalah Kenegaraan Studi Percaturan dalam Konstituante

Landasan moral pengembangan politik Islam Hamka yang kedua nasionalisme (cinta tanah air). Hamka menyebutkan bahwa nasionalisme adalah sebagai bentuk perwujudan cinta sejati seseorang terhadap bangsanya. Cinta tanah air menurut Hamka dimulai dari cinta terhadap diri sendiri dan sesama manusia. Perbedaan agama, etnis, suku, dan budaya bukanlah penghalang untuk saling mencintai antara satu sama lainnya.

Nasionalisme dibangun atas dasar cinta, bukan kebencian dan perseteruan. Oleh sebab itulah, nasionalisme mengandaikan sebuah toleransi, rasa saling menghormati dan menghargai antar sesama elemen Bangsa Indonesia. Nasionalisme dianggap sebagai fondasi utama dalam pemerintahan. Dengan nasionalisme, maka semangat pembangunan akan berjalan lurus sejauh untuk kepentingan nusa dan bangsa (Hamka, 2015: 311)

Dalam pandangan Hamka, walaupun suatu pekerjaan mendatangkan keuntungan tetapi Tuhan melarangnya, maka mau tidak mau harus ditinggalkan (Hakim dan Thalhah, 2005: 70). Harga seseorang adalah pribadinya. Seseorang dinilai baik dan buruk dilihat dari konsistensi pribadinya (Hamka, 1966: 12). Seorang Muslim yang konsisten dengan keimanannya akan selalu teguh dalam memerangai segala macam kemungkaran.

Persoalan politik lain yang perlu diperhatikan menurut Hamka yaitu bahwa kemerosotan suatu bangsa akan terlihat jelas ketika banyak orang yang bukan ahlinya memegang suatu bidang kekuasan atau pemerintahan. Kemudian, Hamka mensyaratkan seorang pemimpin yang sungguh-sungguh konsekuen untuk menjadi seorang pemimpin, yakni ilmu dan fisik yang memadai.

Hamka juga tidak mempersoalkan gender bagi kepala negara, karena yang menjadi value atau urgensinya adalah fisik yang sehat dan ilmu yang mumpuni dalam bidang politik dan pemerintahan. Tujuan semua pemerintahan di dunia ini adalah menciptakan justice (keadilan), oleh sebab itu, menurut Hamka, jalan terbaik menciptakan keadilan adalah dengan syura atau musyawarah (Hakim dan Thalhah, 2005: 79).

Baca Juga:  Menengok Kembali Semangat Persatuan Soekarno

Manusia dianugerahi akal pikiran untuk menyelesaikan persoalan dunianya, sedangkan urusan akhirat sudah ada ketetapannya dalam Al-Qur’an dan Hadis. Adanya persoalan masyarakat adalah sebuah keniscayaan dan penyelesaiannya dengan musyawarah mufakat dalam ranah maslahat dan mafsadat. Agama dan negara dalam pandangan Hamka memiliki hubungan yang saling berkaitan dan tak dapat dipisahkan, keduanya saling mengisi dan menguatkan satu sama lainnya.

Bagi Hamka, persoalan agama tidak melulu seputar ibadah, tetapi berkaitan juga dengan muamalah. Muamalah tidak sesederhana relasi atau hubungan antara dua orang atau banyak orang saja, tetapi juga berkaitkan dengan etiket, hukum dan lain sebagainya. Islam mengatur itu semua dalam syariatnya, sehingga tidak akan mungkin memisahkan Islam dengan negara (Hamka, 1982: 33). Maka ideologi apapun, seperti komunisme dan sekulerisme tidak dapat diterima. Segala urusan keagamaan dapat berjalan dengan baik di bawah pengawasan negara, dan negara akan semakin kuat dengan dorongan dan dukungan agama (Hamka, 1950: 10).

Dalam kaitannya dengan hubungan internasional, Islam memang tidak memberikan kaidah terperinci, namun yang jelas harus dilandasi dengan semangat persamaan dan keadilan serta kesejahteraan sosial.

Meskipun etika poltik Islam dapat dikatakan bersifat temporal sesuai kreativitas manusia yang membuatnya. Mengaitkan diri kepada pendapat-pendapat terdahulu tanpa melihat situasi dan kondisi historis pada saat itu bukanlah sikap yang tepat. Segalanya berkembang secara dinamis sehingga pengalaman masa lampau bisa jadi tidak dapat diterapkan pada saat ini.

Bukan berarti pemikiran-pemikiran masa lampau harus dilupakan atau diabaikan sama sekali, namun dapat dijadikan pertimbangan dan evaluasi untuk menyelesaikan persoalan yang saat ini terjadi. Akan tetapi, selaku umat Islam tentu landasan yang digunakan tetaplah mengacu kepada Al-Qur’an dan Hadis, di samping pemikiran-pemikiran (ijtihad) para ulama Islam.

Baca Juga:  Ijtihad Kebangsaan R.K.H. Abdul Hamid Baqir

Daftar Kepustakaan:

Hakim, Ahmad dan M. Thalhah. Politik Bermoral Agama Tafsir Politik Hamka. Yogyakarta: UII Press, 2005.

Hamka. Falsafah Ideologi Islam. Djakarta: Widjaya, 1950.

Hamka. Pribadi. Djakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1966.

Hamka. Ghirah dan Tantangan dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.

Hamka. Lembaga Hidup. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2015.

Khaeron, H. E., Etika Politik: Paradigma Politik Bersih, Cerdas, Santun, Berbasis Nilai Islam. Bandung: Nuansa Cendika, 2013.

Ya’cub, Hamzah. Etika Islam: Pembinaan Akhlaqulkarimah. Bandung: CV. Diponegoro, 1993.

0 Shares:
You May Also Like