Tafsir Sufi: Kenal Diri Kenal Allah (3)

Oleh: Ammar Fauzi, Ph.D

(Founder Indonesia Berfilsafat dan Pengajar di Nuralwala)

Di artikel sebelumnya telah dijelaskan terkait Allah akan dan pasti memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya yang bersebaran di segenap penjuru alam termasuk di segenap penjuru diri kita sendiri. Saat kita mempersepsi diri itulah tingkatan yang paling dekat yang bisa dirasakan akan kehadiran-Nya. Saat kita bangun dari tidur hal yang pertama kali membangunkan kita adalah melalui pengetahuan indra. Kita dibangunkan dengan daya dengar, dan kemudian kita melihat, membuka mata dan menjangkau hal-hal yang bisa diindra. Selajutanya, kita bisa merekam apa yang dilihat dan didengar. Lalu, dianalisis terkait apa yang telah direkam dalam imajinasi kita. Tiga tahapan ini—indra, imajinasi, dan akal—menjadi satu rangkaian pengenalan manusia tentang berbagai objek-objek di sekelilingnya.

Allah swt. menginginkan indra yang kita miliki tidak semata-mata melihat apa yang dijangkau oleh mata, tidak berhenti  apa yang didengar oleh telinga, tidak pula hanya sekedar merasakan apa yang disentuh oleh kulit, begitu pula oleh indra-indra lainnya, lebih jauh Allah swt. mengingatkan kepada kita semua;

وَفِيْۤ اَنْفُسِكُمْ اَفَلَا تُبْصِرُوْنَ

“Dan pada diri kamu (hai manusia). Maka, tidakkah kamu melihat?” (QS. Al-Dzariyat [50]: 21)

Kata abshar bukan hanya melihat dengan mata kepala atau dengan mata telanjang (lahiriah), sehingga kita hanya bisa melihat hal-hal yang kasat mata. Tetapi, abshar atau melihat di sini dengan bashirah yakni dengan mata kecil. Ta’ marbutah pada kata bashirah dalam bahasa Arab itu memberikan makna melihat dengan mata kecil. Karena itu pula ketika menerjemahkan kata bashirah, maka berbeda dengan kata bashar yaitu mata kepala yang dengannya kita melihat hal-hal yang konkret (indrawi). Mata bashirah menjangkau hal-hal yang berada di balik yang indrawi itu dalam arti hal-hal yang batin yang bisa ditemukan di balik yang hal konkret—yang abstak tetapi nyata realitasnya. Hal yang batin itu tidak bisa dijangkau kecuali dengan mata bashirah yaitu dengan mata kecil yakni mata hati.  

Baca Juga:  Pergulatan Kaum Sufi dalam Menyingkap Makna Batin Al-Qur'an

Istilah mata kecil dalam bahasa Indonesia juga menyebutnya bukan mata di kepala—sekalipun mata yang di kepala itu kecil—tetapi boleh jadi lebih kecil daripada itu, saking kecilnya maka dia lembut, saking lembutnya maka dia tajam, dia tidak bisa tidak bereaksi. Itulah mata hati yang sangat kuat yang bahkan bisa mengalahkan mata kepala kita.

Contoh yang paling kecil ialah kadang-kadang kita sering mengukur segala sesuatu dengan mata kepala. Kalau tidak konkret maka kita tidak terima, kalau tidak konkret maka kita ragukan, kalau tidak konkret maka kita tidak percaya. Inilah persoalan yang sebetulnya secara tidak sadar orang-orang yang tidak mengakui keberadaan hal yang abstrak—atau hal yang tidak konkret tapi nyata.

Di balik yang konkret sebetulnya mereka bekerja dengan hal-hal yang tidak konkret, tetapi mereka menganggap bahwa itu bukan khayalan, bukan fiksi, bukan semata-mata janji, tetapi sesuatu yang diyakini untuk mereka usahakan, mereka kejar, sehingga mereka raih. Umumnya misalnya kaum ateis yang tidak percaya Tuhan, karena Tuhan tidak bisa dijangkau dengan indra alias Tuhan tidak konkret dan tidak bisa dililihat, maka Tuhan disimpulkan menjadi tidak ada.

Ada dua orang bersaudara, mereka berdua berencana ingin membuktikan keberadaan Tuhan dengan menaiki pesawat dan mengelilingi dunia, selang beberapa masa mereka mendarat dan menyimpulkan ternyata Tuhan tidak ada, karena mereka tidak melihat-Nya di cakrawala alam.

Tentu, Tuhan dalam persepsi mereka adalah Tuhan yang bisa dilihat. Dalam Al-Qur’an disebutkan juga kasus Fir’aun yang hendak mengecohkan masyarakatnya untuk tetap  beriman kepada dirinya sebagai tuhan yang tertinggi dan menolak Tuhan Nabi Musa as. Fir’aun berusaha menyakinkan pengikutnya bahwa khabar Tuhan yang diberitakan oleh Musa ialah Ia pencipta langit dan bumi dan Ia Maha Tinggi. Untuk meruntuhkan khabar tersebut Fir’aun membangun menara yang sangat tinggi. Kemudian Fir’aun membuktikan di atas ketinggian menara tersebut sambil berujar, “Wahai masyarakat! Saya telah membangun menara yang sangat tinggi dan di atas ketinggian itu saya tidak melihat ada Tuhan yang diklaim oleh Nabi Musa”.

Baca Juga:  Menyelami Samudra Alif Lam Mim (Bagian 2)

Kasus Fir’aun ini seperti persepsi dua saudara di atas, mereka menganggap bahwa Tuhan itu bisa dilihat dengan kasat mata. Tetapi, jika diamati lebih lanjut baik Fir’aun maupun dua orang tersebut, ketika mereka sedang membangun menara ataupun menyiapkan pesawatnya untuk membuktikan keberadaan atau ketiadaan Tuhan berarti mereka telah melakukan planning. Planning itu adalah sesuatu belum terjadi (belum kongkret), hasilnyapun belum mereka peroleh, tapi walaupun demikian mereka percaya dengan planning  tersebut. Padahal planning itu adalah  perencanaan. Dan tidak ada perencanaan yang nyata. Kalau planning itu nyata, maka tidak ada perencanaan, tapi semua manusia (termasuk Fir’aun dan dua orang di atas itu) bekerja berdasarkan planning, perencanaan, jadwal, schedule.

Kita amati, semua umat manusia—apalagi di dunia sekarang—mengatur semua jadwal/planning hidup mereka dari pagi sampai malam, satu hari, dua hari, satu bulan sampai bertahun-tahun berdasarkan keyakinan mereka akan mencapai hasil, padahal hasil itu belum mereka peroleh. Maka kaitannya hasil yang akan dijangkau pada masa yang akan datang adalah sesuatu yang tidak konkret, masih abstrak, masih tidak nyata. Tetapi mereka percaya bahwa mereka akan mencapai itu. Kalau kita melihat semua MOU, nota-nota kesepahaman dan kesepakatan antar dua orang, antar dua institusi, antara dua perguruan tinggi, antar dua lembaga bahkan antar negara di tingkat internasioanl, mereka bekerja berdasarkan komitmen pada nota yang tertuang dalam surat-surat tersebut, tapi tidak ada janji-janji yang mereka peroleh secara konkret. Janji itu disebut janji apabila akan jadi berikutnya dalam arti akan mereka peroleh di saat yang belum mereka jangkau. Jadi, ada hal-hal sekalipun tidak dijangku oleh indra, tidak dijangkau oleh pendengaran dan tidak terjangkau oleh kasat mata, tetapi kita bisa menyakini bahwa itu bisa kita peroleh.

Baca Juga:  Alquran Muara Filsuf dan Sufi

Dengan demikian ada hal-hal yang bisa dijadikan acuan—bahkan kalau kita belajar pada orang ateis itu sendiri—kita bisa temukan hal-hal yang tidak konkret, karena yang tidak konkret sesungguhnya itulah yang menjadi harapan kita untuk tetap hidup, untuk tetap bisa bertahan dan bisa berinteraksi, bisa membangun hidup, membangun keluarga, membangun masyarakat dan negeri kita. Jadi, ada hal-hal yang saya yakin bisa ditemukan bahkan orang kafir ataupun para ateis seharusnya bisa menyadari bahwa hidup mereka tidak berdasarkan semata-mata dengan indra, tetapi ada aspek lain yang didominasi oleh hal-hal yang tidak konkret (tidak kasat mata) itulah tentang perencanaan, tentang target yang mereka tetapkan dalam menjalani roda kehidupannya.

Target, perencanaan dan hasil yang akan ditempuh itulah hal-hal yang bisa mendekatkan kita bahwa ada kenyataan selain yang konkret, bahwa ada kenyataan yang tidak bisa diukur dengan kasat mata, tetapi kita bekerja berdasarkan kenyataan-kenyatan yang tidak konkret tersebut. Sungguh nyata dan ada dekat dengan diri kita dan dalam pikiran saat kita mempersepsi dengan indra, kemudian kita merekam dalam imajinasi, lalu diolah oleh pikiran kita.

(Keterangan: Tulisan ini hasil transkip dari video berjudul Pengantar Tafsir Sufi 05 oleh Ammar Fauzi, Ph.D di kanal Youtube Nuralwala dan telah disesuaikan oleh tim Nuralwala)

 

0 Shares:
You May Also Like