Meneladani Moh Hatta (1): Konsistensi, Kritisisme, dan Kepedulian pada Penderitaan Rakyat
Oleh: Cusdiawan
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
Mohammad Hatta, salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia. Hatta adalah contoh nyata bagaimana seorang pemimpin yang mempunyai visi besar untuk bangsa yang dicintainya. Ia bukan hanya seorang pemimpin, tapi sekaligus seorang pemikir.
Kecemerlangan Hatta sudah ditunjukkannya sejak masa muda. Menurut Jhon Ingleson dalam buku Mahasiswa, Nasionalisme dan Penjara: Perhimpunan Indonesia 1923-1928 (2018), di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang menimba ilmu di Belanda, Hatta adalah orang yang paling menguasai teori-teori sosial, dalam hal ini marxisme-leninisme. Kecerdasan seorang Hatta, tentu bukan hanya dari sisi teoretis semata, melainkan secara praksis juga. Hatta orang yang cerdas dalam membaca realitas.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan, ketika seorang Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya Mencari Autentisitas dalam Dinamika Zaman (2019) mengatakan, “Di antara sekian banyak tokoh bangsa yang saya hormati dan kagumi, Bung Hatta adalah puncaknya”. Hatta dianggap mampu membuat integrasi yang padu antara berbagai teori dan realitas sosiohistoris masyarakat Indonesia.
Berdasarkan buku Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi I (2011) yang ditulis oleh Hatta sendiri, dikatakan bahwa Hatta dilahirkan di Bukittinggi pada 12 Agustus 1902. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, kota Bukittinggi ini disebut Fort de Kock sebagai nama resminya.
Dalam otobiografinya tersebut, Hatta menceritakan bahwa pada 1908 terjadi Perang Kamang di Bukittinggi. Rakyat saat itu melakukan perlawanan karena kolonialis bertindak sewenang-wenang. Setelah itu, di dekat rumah Hatta, dilakukan penjagaan ketat oleh para serdadu. Hatta kecil pun menanyakan hal tersebut kepada pamannya, dan jawaban pamannya tersebut, yakni Idris, dapat menumbuhkan kesadaran Hatta kecil bahwa “Belanda itu jahat”.
Penting juga untuk diketahui, Hatta merupakan keturunan ulama, sehingga tidak mengherankan, Hatta tumbuh dalam lingkungan yang religius dan banyak belajar soal-soal agama.
Singkat cerita, di masa dewasanya, Hatta berkesempatan menimba ilmu di negeri Belanda. Sebelum ke Belanda, Hatta mengikuti pelajaran di sekolah berbahasa Belanda di Padang dan sekolah tinggi ekonomi di Batavia. Hatta pun tercatat sebagai aktivis Jong Sumatranen Bond.
Hatta tiba di Belanda pada 5 September 1921. Saat itu, di Belanda sudah terdapat perkumpulan mahasiswa Indonesia yang bernama Indische Vereeniging yang kemudian diganti menjadi Indonesische Vereeniging. Hatta sendiri terlibat aktif dalam perkumpulan tersebut, ia menjadi bendahara umum dan kemudian menjadi ketuanya.
Menurut Jhon Ingleson (2018), mulai 1923 dan selanjutnya, Hatta menjadi kekuatan pendorong dalam Perhimpunan Indonesia, perintis dari hampir semua perkembangan, dan organisator utama dari kegiatannya, serta pendorong intelektual bagi teman-temannya.
Hatta dikenal sebagai orang yang begitu gemar belajar, Hatta dikenal memiliki bacaan yang luas dan merupakan mahasiswa yang paling banyak memiliki buku di antara mahasiswa Indonesia lainnya di negeri Belanda. Hatta begitu serius memikirkan masalah sosial, ekonomi, juga politik.
Teman-teman Hatta sesama mahasiswa, mengenang sosok Hatta sebagai seorang yang menghabiskan waktu teramat sedikit untuk hiburan yang biasa dilakukan mahasiswa secara umumnya. Hatta terlalu sibuk dengan keterlibatan politiknya. Karakternya yang kuat dan sikapnya yang menentang ketidakadilan membuatnya dihormati di kalangan sesama mahasiswa.
Hatta beserta pemimpin Perhimpunan Indonesia lainnya, selalu menekankan betapa pentingnya arti persatuan. Hatta selalu menyerukan tentang kesadaran sebagai “orang Indonesia” dibandingkan kesadaran sebagai “orang Jawa, Sumatera dan sebagainya”, karena persatuan itulah modal penting untuk menghancurkan kolonialisme Belanda. Hatta pun selalu menyerukan agar partai-partai yang mengimpikan “Indonesia Merdeka” bisa bersatu.
Penting juga untuk dicatat, di samping banyak mempelajari teori-teori sosial Barat, Hatta pun mempelajari juga tentang gerakan nasionalisme India. Hatta mempelajari ajaran Mahatma Ghandi. Akan tetapi, Hatta selalu menunjukkan kecerdasan dan kekritisannya, dengan tidak menelan secara mentah perspektif-perspektif yang dipelajarinya tersebut.
Mengaktualisasikan Sikap Mohammad Hatta
Berkaca dari pemaparan di atas, saya rasa kita perlu mengaktualisasikan sikap-sikap Mohammad Hatta.
Pertama, soal kecintaan Hatta pada buku, itu menunjukkan kecintaan pada pengetahuan. Dari Hatta kita bisa belajar, dalam sebuah perjuangan ataupun pergerakan, dibutuhkan pula suatu fondasi pengetahuan yang kokoh.
Kedua, dari Hatta kita semestinya menyadari bahwa bangsa ini didirikan dengan semangat intelektualitas. Para pendiri bangsa ini adalah para pecinta buku, bangsa ini didirikan dengan kemegahan pikiran. Oleh sebab itu, tidak selayaknya kita generasi muda yang hidup pada masa kini menjadi generasi yang “anti terhadap pikiran”.
Ketiga, Hatta memperlakukan teori tidak hanya untuk pengembangan teori, atau bukan hanya “teori untuk teori”, melainkan selalu dipertautkan dengan praksis. Dari Hatta kita bisa belajar, teori-teori keilmuan seharusnya digunakan untuk menjadi pembebas, pembebas masyarakat dari struktur yang menindas.
Keempat, soal karakter Hatta yang kuat, yang begitu menjungjung apa yang menjadi “prinsipiel”. Dari karakter yang seperti inilah, kita bisa menjumpai sikap Hatta yang kokoh dalam membela kebenaran dan membuatnya tidak ragu mengkritik siapa saja ketika dinilai bertindak keluar dari koridor.
Kelima, dan ini yang paling mendasar, yakni sikap kerelaan mengubur kepentingan dan kesenangan pribadi untuk kepentingan yang lebih luas lagi, yakni kepentingan sebuah republik. Saya rasa, di tengah krisis keteladanan, sosok Hatta amat ideal untuk diketengahkan. Sikap dan semangat Hatta amat perlu direplikasi oleh para elite politik maupun generasi muda.