Mengenal Al-Faruqi (1): Sebuah Pengantar

Tulisan ini akan sedikit menggali perjuangan seorang intelektual Muslim dari Palestina. Namanya bersanding erat dengan konsep etika dengan berlandaskan pada pengesaan kepada Tuhan. Aktivitas pemikirannya selalu berpijak pada sentralitas trasendental ‘Yang Satu’. Bahkan, tidak sedikit lontaran-lontaran kritikan yang diungkapkannya kepada siapa saja yang memiliki pandangan atau pemikiran yang tidak berdasar pada konsep ketauhidan.

Dalam dunia akademisi cendekiawan ini cenderung dikenal dengan Al-Faruqi. Nama Al-Faruqi diambil dari nama lengkapnya yakni Isma’il Raji Al-Faruqi. Intelektual Muslim yang lahir pada abad 19 awal bulan Januari di Palestina. Awal mula pendidikannya ia tempuh di College Des Freres dan selesai 10 tahun 1926-1936. Al-Faruqi mendapatkan gelar sarjana muda bidang filsafat pada tahun 1941 di Beirut. Pernah menjadi pegawai pemerintahan selama 4 Tahun di bawah pimpinan Inggris dan pernah menjadi Gubernur Galilee yang kemudian pada Tahun 1947 jatuh kepada pemerintahan Israil.

Setahun sesudah jatuhnya provinsi Galilee ke tangan Israel yang sebelumnya dipimpin oleh Al-Faruqi, pada tahun 1948 dirinya memutuskan pindah ke Amerika sekaligus melanjutkan studi magisternya. Sebelum 2 tahun genap, Al-Faruqi telah berhasil mendapatkan gelar MA dalam bidang filsafat dengan tesis ihwal ketuhanan pada tahun 1949. Kemudian ia melanjutkan studi doktoralnya di kampus yang sama dan mendapatkan gelar doktornya selama 3 Tahun yakni pada tahun 1952.

Perjalanan akademisnya tak cukup sampai di situ, setelah kelulusannya beberapa tahun kemudian ia mengajar di beberapa kampus yang populer dengan mendapatkan ampuan matakuliah yang mengharuskannya belajar kembali, layaknya ihwal agama-agama. Proses demi proses ia jalani sampai akhirnya ia mendapatkan gelar Guru Besarnya di Temple University, Philadhelpia tahun 1968. Setelah itu, ia mendirikan Pusat Kajian Islam dan menetap di dalamnya.

Baca Juga:  Kenapa Harus Marhaban Ya Ramadhan?

Al-Faruqi termasuk salah satu cendekiawan Muslim yang amat serius mengupayakan kemajuan peradaban Islam. Hal ini terlihat pada perjuangannya meniti pendidikan dan mendirikan Pusat Kajian Islam. Pengalaman itu menjadikannya berpikir untuk menjadi agen yang mampu membawa Islam maju dalam kejayaan, yang tentunya berlandaskan pada trasendetal ‘Yang Satu’.

Semangat Al-Faruqi yang menggebu-gebu melalui karyanya dan penelitian-penelitiannya secara tidak langsung mengharuskannya hidup di antara kalangan yang kontradiktif dengan keyakinannya hingga over membencinya sekaligus keluarganya. Sehingga, sorotan mata yang menganggap Al-Faruqi sebagai parasit yang dapat memajukan Islam memutuskan untuk menghentikan keintens-an Al-Faruqi dalam mengupayakan kemajuan Islam. Oleh sebab itulah, akhir hidupnya sangatlah mengenaskan. Ia dan istrinya dibunuh secara brutal oleh sekelompok oknum yang diduga sebagai zionis Yahudi. Hal tersebut disampaikan beberapa pengamat. Ia dan istrinya meninggal pada tahun 1986, di umur 65 tahun.

Dari hal ini, dapat kita pahami bersama bahwa Al-Faruqi adalah salah satu contoh Muslim yang dapat dijadikan teladan umat Islam, khususnya dalam optimisme perjuangannya. Dari Al-Faruqi dapat diambil hikmah bahwa Islam dengan berlandaskan tauhid menjadi basis yang harus dipegang erat-erat. Tidak cukup hanya itu, Islam juga harus diupayakan untuk maju dengan berani bersaing di manapun berada. Al-Faruqi juga dapat dijadikan teladan oleh para perantau. Meskipun, tanah kelahirannya begitu jauh bahkan sedang dijajah, perjuangan haram padam dan harus terus berkibar di manapun berada, meskipun bahaya dan kematian mengintai.

Terkait jiwa juang Al-Faruqi akan diulas di part kedua edisi serial Mengenal Al-Faruqi.

0 Shares:
You May Also Like