Menilik Filsafat Cinta Jean Paul Sartre

Oleh: Rahayu Syahidah Karbela

Mahasiswi Pascasarjana STFI Sadra Jakarta

Setiap orang memiliki filosofi hidup masing-masing, hanya saja tidak semua orang bisa berpikir dan mengungkapkannya seperti filsuf. Seperti filsuf cinta yang diyakini masing-masing. Dalam konteks filosofi, cinta merupakan sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan sayang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi atau kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian dan kasih sayang. Namun, tidak jarang cinta terasa begitu menyakitkan dan bahkan bagi seorang filsuf eksistensial yaitu Jean Paul Sartre cinta diartikan sebagai sebuah konflik.

Jean Paul Sartre (1905-1980) adalah salah satu pemikir yang berpengaruh pada abad ke-20. Banyak tokoh yang terpengaruh oleh gagasan pemikirannya. Selain dijuluki sebagai “Bapak individu Filsafat Eksistensialis”, ia juga merupakan seorang kritikus politik, moralis, novelis dan penulis biografi serta cerita pendek. Dia lahir di Paris pada 21 Juni 1905 dari pasangan Anne Marrie Sartre dan Jean Baptisme. Jean Paul Sartre ditinggal ayahnya ketika ia berusia 2 tahun. Akhirnya, ia tinggal bersama ibu dan kakeknya, yaitu Charles. Charles yang mengajarkan Sartre menulis dan membaca. Sartre tidak menikah tetapi hidup bersama dengan Simone De Beauvoar. Ia meninggal dunia pada tahun 1980.

Menurut Sartre, cinta adalah konflik. Karena ketika seseorang bertemu dengan individu lain, maka yang akan terjadi adalah saling mengobjekkan. Cinta membuat seseorang membelenggu kemerdekaan pasangannya. Karena ketika saya mencintai seseorang, maka saya berhadapan langsung dengan kemerdekaan orang yang saya cintai itu.

Cinta itu paradoksal. Seolah-olah memberikan kebebasan, namun pada hakikatnya membelenggu. Cinta itu subjek yang ingin menjadikan yang dicintai sebagai objek. Dan pada akhirnya dalam cinta tidak ada subjek. Mereka saling bertarung untuk menjadi subjek dan menjadikan pasangannya sebagai objek yang pada akhirnya mereka kalah di dalam dunia paradok cinta. Artinya cinta menghilangkan hak individualitas seseorang. Ketika seseorang mencintai orang lain, maka ia harus mencintai pasangannya itu dengan kemerdekaan penuh, sementara dia tidak menghendaki agar orang yang dicintai itu mempunyai kemerdekaan.

Baca Juga:  Islam Sempalan dan Keharusan untuk Bersikap Terbuka

Seperti halnya Sartre dan Simone De Beauvoir mereka hidup bersama tetapi saling membebaskan, hal itu karena mereka tidak ingin terperangkap oleh paradoksal cinta yang pada akhirnya menghilangkan hakikat dirinya sebagai makhluk yang bebas dan tidak hidup menjadi dirinya sendiri karena ingin terlihat seperti apa yang dicintainya. Karena takut kehilangan yang sebenarnya dalam cinta seseorang sudah kehilangan kemandirian dan individualitasnya sebagai manusia.

Dalam cinta, subjek yang mencinta berusaha menjadikan pihak yang dicintai sebagai objek atau en-soi pemenuh hasrat cintanya. Sebaliknya, pihak yang dicintai pun dengan sadar menjadikan orang lain sebagai objek atau en-soi pemenuh kebutuhannya untuk dicintai. Tidak ada subjek dalam cinta. Masing-masing pihak adalah objek. Oleh sebab itu, tak pernah akan terjadi cinta sejati atau cinta tanpa pamrih sebab masing-masing pihak berusaha untuk saling mengobjekkan pribadi yang lain.

Menurut Sartre cinta adalah tanda kegagalan seseorang untuk mempertahankan diri sebagai subjek. Kerena pada perkembangannya, cinta akan mentransformasi dirinya sebagai entitas yang penuh dengan motif “memiliki”. Hal tersebut tampak melalui berbagai harapan yang dimiliki seorang pecinta atas kekasihnya dan demikian pula sebaliknya. Karna pada puncaknya dalam cinta selalu ada harapan memiliki pada akhirnya. Dan untuk mencapai hal tersebut, maka masing-masing merelakan dirinya sebagai objek.

Cinta adalah pengekangan kebebasan. Seorang akan berharap dirinya untuk terus dicintai dan begitu pula pada pasangannya dengan harapan serupa. Orang yang saling mencintai pada hakekatnya “terpenjara”, hanya saja penjara tersebut sedemikian halusnya hingga tak kasat mata.

Orang yang mencintai pada hakikatnya hendak memiliki dunia orang yang dicintai, mengobjekkannya dan meminta menyerahkan dunia serta dirinya secara “bulat-bulat”. Kondisi demikian dapat diandaikan sebagai, “terjebak pada dunia orang lain”, atau “menjadi bagi orang lain”, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang nausee (memuakkan).

Baca Juga:  Inilah Inti dari Syariat Puasa

Nausee berarti rasa ingin muntah atau mual. La Nausee sebenarnya merupakan sebuah judul roman karya Sartre. Dalam novel tersebut, ia menggambarkan bagaimana seseorang yang dalam hidupnya secara tiba-tiba melihat di sekelilingnya terasa begitu membosankan dan menimbulkan rasa mual. Ketika manusia mengalami kesadaran bahwa dirinya dan seluruh kenyataan yang ada sebagai sesuatu yang membebani, manusia akan merasa tertindas. Mereka tidak menjadi dirinya sendiri. Keadaan inilah yang akan membuat manusia merasa mual.

Bahkan hasrat seksual dalam cinta menurut Sartre merupakan upaya “mereduksi” orang lain sebagai “tubuh” atau “daging” semata. Namun demikian, pada akhirnya hasrat selalu gagal mengingat yang diubahnya menjadi daging bukanlah orang lain semata, melainkan pula “diri sendiri”

Hal tersebut tampak melalui tenggelamnya seseorang dalam kenikmatan hubugan seksual sehingga melupakan motif dan tujuan semula; menguasai pihak lain. Oleh karenanya “hasrat pun gagal untuk memulihkan diri seseorang yang hilang akibat orang lain.

Sehingga tidak semua konsep cinta itu baik, ada juga yang memandang bahwa cinta itu sebagai konflik, paradoksal, membelenggu, memuakkan seperti pandangannya Sartre. Terakhir, ada quotes dari Sartre, yaitu “In Love, One and One are One” artinya kenapa satu? Karena dua-duanya lebur jadi objek, atau tidak yang satu jadi subjek dan yang satu hilang jadi objek. Jadi dalam cinta, satu ditambah satu sama dengan satu, tidak ada kita berdua. Karena yang ada siapa yang dominan yang mampu mengobjekkan yang lain, atau jika tidak, dua-duanya jadi objek, keduanya kehilangan dirinya.

Tentang Penulis

Rahayu Syahidah Karbela adalah mahasiswi Pascasarjana STFI Sadra Jakarta. Pernah menerbitkan buku antologi puisi “The Energy of Love” penerbit Anlitera, dan novel, “Sini Kubisiki Biar Rahasia: Cinta-Nya Tak Ada Dua” penerbit Guepedia. Penulis bisa dihubugi via akun FB: Rahayu Syahidah Karbela, IG: @rahayusyahidah dan Twitter: @SyahidahKarbela.

Baca Juga:  FILSAFAT ISLAM: MENYELAMATKAN DAN MENDAMAIKAN
0 Shares:
You May Also Like