Berbagai term atau istilah yang dilekatkan pada Islam; Islam Fundamental, Islam Moderat, Islam Liberal, Islam Radikal, Islam Aktual dan lain sebagainya, itu semua menghentakkan kesadaran dan sekaligus menyampaikan sebuah informasi bahwa batang tubuh Islam sedang dan telah mengalami sempalan. Yang selanjutnya menghadirkan sebuah lonceng peringatan bagi umat Islam terkait keharusan keterbukaan antarsesama umat.
Dalam pembendaharaan Jawa, sempalan memiliki makna patah dan terpisahnya dahan dari batang pohon, atau cabang dari dahan. Pemilihan kata tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena Islam yang terbagi-bagi dalam jumlah banyak, berukuran kecil, dan berpontensi terus-menerus memecah diri.
Fenomena Islam Sempalan tidak lahir dari rahim modernitas dan westernisasi. Benih itu sudah muncul sejak tanah kuburan Nabi Muhammad saw. belum kering, berlanjut pada masa Khalifah ‘Usman dan ‘Ali, dan diperparah oleh hasrat politis Daulat Umayyah yang menghilangkan kesadarannya atas agama sebagai pemersatu bangsa Arab, sehingga yang terjadi kemudian agama dan negara dipecah-belah.
Demikian terlihat jelas, bahwa motif utama yang menyebabkan Islam mengalami sempalan adalah hilangnya akal sehat, dan hasrat politik yang dominan mengemuka. Dari hasrat itulah lahir pertanyaan teologis yang dibalut kepentingan politik di atas segalanya, yang berbunyi; Apakah seorang Muslim tetap menjadi Muslim jika melakukan dosa besar? Apakah iman saja sudah cukup atau harus dinyatakan juga melalui perbuatan? Dari rahim inilah Khawarij, Murjiah, Jabariah, Muktazilah, Asyariyah, dan Maturidiyah dilahirkan.
Keinsafan dan kesadaran terhadap realitas Islam yang sedang dan telah mengalami sempalan dengan sendirinya mengantarkan pada sebuah pemahaman bahwa hasil interpretrasi terhadap Al-Qur’an tidak tunggal. Kenyataan demikian, menuntut umat Islam harus mengakui kemajemukan dalam tubuh Islam sebagai titik ukur dan titik tolok untuk melakukan rekonsiliasi dan mencari titik temu sesama umat Islam. Di samping itu, harus menghindari hal-hal yang mendukung sempalan dalam tubuh Islam terus berproduksi (terus-menerus mencari perbedaan). Karena dengan membiarkan produksi terus berlanjut akan membawa Islam lebih jauh dari kebangkitan yang selama ini dicita-citakan.
Tentu, klaim atas hasil interpretasi yang absolut kebenarannya harus dihilangkan dan dimusnahkan dalam setiap diri yang telah insaf dan sadar. Karena yang absolut kebenarannya hanyalah Al-Qur’an bukan hasil interpretasi. Keinsafan dan kesadaran tidak akan berfungsi secara efektif. Karena keinsafan dan kesadaran berpangkal dari semangat cinta-kasih Ilahi.
Semangat cinta-kasih Ilahi menghadirkan hakikat manusia ‘kemanusian’ dalam dua kategori, yaitu potensi keberpihakan pada kebenaran dan kebaikan yang membawa manusia pada kesucian yang menjadi fitrahnya, dan kedha’ifan atau kelemahan yang akan membawa manusia pada pengingkaran atas martabat yang telah Tuhan berikan. Keinsafan dan kesadaran yang dimaksudkan di sini adalah sebuah pengakuan manusia akan kekuatan dan kelemahannya. Kekuatannya tercermin dalam fitrahnya, sedangkan kelemahannya muncul dari sikap ‘ajalah—dalam Al-Qur’an secara harfiah dapat dimaknai tergesa-gesaan, tidak tahan uji, tidak tabah, dan keburu nafsu. Sikap ‘ajalah pada akhirnya menanggalkan dan menghilangkan martabat kemanusian. Yang karenanya memilih berpaling dari hadirat Tuhan.
Absennya keinsafan dan kesadaran akan potensi kelemahan yang menghinggapi manusia membuat dirinya paling benar dan conggak atas kebenaran pendapatnya. Sikap ini akan berorientasi pada subjektivitas yang menjadi pangkal dari sikap tiranik, sehingga yang terjadi kemudian keengganan dalam mendengarkan pendapat atau hasil interpretasi yang disuguhkan di luar dirinya dan kelompoknya. Lebih lanjut, sikap ini lebih mementingkan pada ambisi jangka pendek dan kenikmatan semata. Sikap demikian pula akan mendorong manusia menghalalkan berbagai macam cara untuk mencapai ambisinya dan kenikmatannya. Termasuk menjadikan agama sebagai kendaraanya.
Relasi yang dibangun dalam realitas Islam Sempalan semestinya relasi intersubjektif yang hanya ditimbulkan oleh sikap keinsafan dan kesadaran akan kekuatan dan kelemahan dirinya. Pengakuan atas kekuatan yang dimilikinya—fitrah manusia yang memiliki potensi pada kebenaran dan kebaikan. Maka manusia akan menjadi makhluk hanif yaitu yang secara alami cenderung memihak kepada yang benar, yang baik, dan yang suci. Sedangkan pengakuan akan kelemahan melahirkan sebuah sikap rendah hati, tawadhu’, dan adanya kesadaran akan keterbatasan diri sendiri sebagai manusia.
Pengakuan atas potensi kekuatan dan kelemahan menjadi fundamen dasar keterbukaan antar sesama umat, yang selanjutnya melahirkan keintiman dalam musyawarah antarumat. Karena dengan pengakuan manusia sebagai makhluk hanif setiap manusia tidak haram menyampaikan pendapatnya atau hasil interpretasinya. Sementara keinsafan dan kesadaran akan kemungkinan kesalahan dalam logika penalaran (hasil interpretasi) manusia membuka diri untuk mendengarkan pendapat di luar dirinya atau kelompoknya. Sehingga dengan relasi intersubjektif iniakan tercipta keterbukaan, pengakuan atas pluralisme, dan menemukan titik temu.