FILSAFAT DAN PERADABAN

Peradaban adalah kehidupan yang dibuat oleh manusia di muka bumi. Begitulah para peneliti sejarah dan kebudayaan mengartikan peradaban. Hanya manusia yang kehidupannya bisa menjadi peradaban. Tidak ada yang namanya peradaban semut, peradaban kucing, atau peradaban laba-laba. Meski begitu, kehidupan yang kita buat bisa jadi adalah kehidupan yang baik, bisa juga kehidupan yang buruk. Sejarah mengenal Peradaban Mesir Kuno. Tapi, siapa di antara kita yang akan bilang bahwa peradaban yang dibangun di atas perbudakan manusia oleh sesama manusia itu adalah sebuah peradaban yang baik? Tidak semua peradaban itu baik.

Mengapa Anda dan saya harus peduli pada peradaban yang baik? Ya, itu benar, mengapa kita harus susah-susah membangun sebuah peradaban yang baik? Mungkin ada orang yang baru akan sadar tentang betapa pentingnya peradaban yang baik, nanti, setelah ia tertekan setengah mati di bawah sebuah peradaban yang buruk. Atau, mungkin Anda akan bilang bahwa peradaban kita hari ini baik-baik saja. Tentu saja Anda benar. Tentu saja, bagi Anda yang setiap hari dilayani oleh pendingin udara, listrik berlimpah, air hangat di bathtub, dan jutaan rupiah di dompet, tentu saja peradaban terasa tidak ada masalah.

Haruskah kita membiarkan semua berjalan begitu saja, dan tidak usah kita sok peduli pada kehidupan orang lain? Saya yakin tidak. Kita harus berbuat sesuatu untuk membangun peradaban dan kehidupan yang lebih baik. Mengapa demikian? Bukankah hidup, nyawa, dan nafas yang kita punya adalah pemberian Tuhan? Bukankah Tuhan juga yang memberikan kita petunjuk, hidayah, sehingga bisa mengenal-Nya? Bukankah Dia yang memberi kita rezeki? Bukankah itu artinya Dia sudah berbuat baik pada kita? Bukankah Dia berfirman: “Fa ahsin kama ahsana Allahu ilayka”? Dia berfirman: “Berbuat baiklah seperti Tuhan sudah dan selalu berbuat baik padamu”.

Baca Juga:  Angka Tujuh Angka Istimewa Bagi Agama, Tradisi dan Kepercayaan

Menurut ilmu Manthiq, kata perintah bermakna keharusan. “Ahsin …” dalam ayat di atas adalah kata perintah. Tapi, memangnya siapa yang berhak memerintah Anda? Menurut ilmu Ushul Fiqh: al-amru yadullu bi al-wujubi”. Artinya, perintah Allah menunjukkan kewajiban atas kita. Memangnya siapa Anda, dan siapa Allah? Jika begitu, maka menciptakan peradaban yang baik adalah kewajiban bagi kita semua. Sebenarnya, adalah tugas kita untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Tampaknya, setiap Muslim harus sadar bahwa sebagaimana kita diperintahkan mendirikan shalat, kita juga diperintahkan mendirikan peradaban. Bukankah Tuhan sendiri yang berkata: “inna al-shalata tanha ‘an al-fahsya’i wa al-munkari.” Shalat itu menolak keburukan dan kejahatan. Shalat yang benar membuat kita mampu membangun peradaban.

Intelektual seperti Ali Allawi, Hossein Nasr, Naquib al-Attas, Nurcholish Madjid, dan dosen saya sendiri, Pak Abdul Hadi W.M. sudah mengingatkan kaum Muslim akan pentingnya peradaban Islam dihidupkan kembali. Bacalah dan dengarlah mereka, maka Anda akan ikut merasakan kegelisahan mereka tentang pudarnya semangat peradaban itu dari tubuh kaum Muslim. Berjilid-jilid buku tebal mereka tulis tentang peradaban, dan berbinar-binar matanya tatkala menjelaskan mundurnya peradaban, seolah-olah mereka sudah tahu bahwa Tuhan akan bertanya kepada mereka: “Sudahkah kalian melaksanakan perintah-Ku untuk membangun peradaban yang baik?” Mereka adalah orang-orang berilmu dan beramal dengan ilmunya. Mereka taat dan bertakwa kepada Tuhannya. Tapi, mereka tetap setengah mati mengingatkan kita mengapa peradaban itu penting. Seolah mereka sudah tahu bahwa Tuhan akan berkata: “Kalian kuberi ilmu bukan untuk diri kalian sendiri. Kalian menjadi Muslim bukan untuk menyelamatkan diri sendiri.”

Anda mungkin akan bertanya: mengapa mereka harus susah-susah mengingatkan kita? Apa kita gagal melaksanakan kewajiban membangun peradaban? Betul sekali, kita memang belum berhasil. Sebenarnya kita sendiri yang membuat kegagalan itu terjadi. Itulah inti kegelisahan intelektual di atas. Ada sesuatu yang menghalangi kita untuk bekerja membangun peradaban yang baik. Dan sebenarnya kita sendiri yang membuat penghalang itu. Seringkali penghalang itu kita buat dalam bentuk akidah, mazhab, dan agama. Jika memang itulah penghalangnya, lalu apa yang ia halangi? Seringkali kita membuat akidah kita, mazhab kita, golongan kita, dan agama kita, menghalangi kunci peradaban. Apa kunci peradaban itu? Kunci peradaban adalah kerja sama. Hanya dengan kerja sama, untuk maslahat bersama, peradaban dapat dibangun.

Baca Juga:  Hijrah Milenial: Antara Hasrat dan Kebutuhan

Kita sering pura-pura tidak tahu bahwa hanya dengan bekerja sama dengan manusia lainnya, maka peradaban Islam yang kita dambakan dapat terwujud. Hari ini kita tidak bisa lagi membohongi dunia bahwa kaum Muslim perlu bekerja sama dengan kaum-kaum lainnya, dari agama lain, dari bangsa lain, dari peradaban lain, apalagi, hanya dari mazhab yang lain. Jika para intelektual tadi berusaha membangun kembali peradaban Islam, itu artinya, di masa lalu kita punya preseden peradaban Islam itu. Itu adalah peradaban yang dibangun di atas kerja sama antarmanusia dari beragam agama, suku, dan bangsa. Menurut Ahmet T. Kuru dalam Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment (2019) itu adalah peradaban universal yang dicatat sebagai peradaban emas pada abad ke-8 hingga abad ke-12. Itu adalah masa ketika Kindi, Farabi, Biruni, dan Ibnu Sina hidup dan bekerja. Masa ketika mereka bekerja sama dengan dan berguru kepada ilmuwan lain dari tradisi Yunani, Kristen, Yahudi, Persia, India, dan China.

Nama-nama tadi adalah nama filsuf besar dunia yang disumbang oleh peradaban Islam. Ada hubungan yang sangat erat antara Filsafat dan berdirinya peradaban Islam. Para filsuf itu menjadi filsuf, dan Filsafat menjadi Filsafat, adalah ketika diri mereka sudah siap menyambut keragaman dunia dengan pikiran terbuka dan keinginan bekerja sama. Apa yang melandasi Filsafat adalah apa yang melandasi peradaban Islam, yaitu kebebasan berpikir, keadilan, dan semangat kerja sama. Baca saja kitab-kitab klasik, dan hanya dalam kitab-kitab Filsafat Anda akan temui pikiran dan pendapat asing yang “bukan Islam”, seperti Yunani, Kristen, dan Yahudi, dikutip, dihargai, dan diterima sebagai kebenaran milik bersama. Bukankah Allah sendiri berfirman: Sesungguhnya orang-orang beriman, dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabi’in, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan beramal yang shalih, maka untuk mereka adalah ganjaran dari sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita” ( QS Al Baqarah [2]: 62).

0 Shares:
You May Also Like