Berislam dengan Ilmu

Cara masuk Islam secara ilmu ialah mengucapkan dua kalimat syahadat dan memahami makna yang terkandung serta menjadi muatan di dalam simpulan kalimatnya. Artinya, Islam secara ilmu dapat dimaknai juga dengan Islam dan iman. Ilmu berislam dan ilmu beriman. Dengan demikian tidak cukup bagi seorang Muslim merasa ‘cukup’ mempelajari Islam semata tanpa ilmunya yakni iman. Pun mempelajari iman tidak cukup dengan pengetahuan semata melainkan menuntut mukallaf untuk memiliki bukti yang sesuai dengan kenyataan yakni ilmu iman, sehingga seorang mukallaf dapat membuktikan dalil argumentasinya dalam menjawab terkait keberislaman dan keberimanan.

Secara tidak langsung, cara masuk Islam secara ilmu menuntut mukallaf mencari bukti keimanan yang sesuai dengan keberislamannya. Mengucapkan dua kalimat syahadat dikhususkan untuk orang-orang yang ‘mau’ hijrah memeluk Islam. Sedangkan, bagi Muslim yang lahir dari keluarga Islam ‘umumnya’ telah diajari oleh orangtuanya mengucapkan dua kalimat syahadat dengan dasar ‘mayoritas’ terbentuk oleh ajaran agama orangtua, sehingga cukup untuk menjawab syarat pertama masuk Islam.

Akan tetapi, ada satu syarat lagi yang harus menggenapkan kewajiban sebagai mukallaf yang sadar. Sebab, tidak sedikit yang ‘tidak sadar’ dan ‘tidak mau menyadarkan dirinya’ untuk menyempurnakan keberislamannya. Syarat masuk Islam yang menggenapkan atau menyempurnakan (mengesahkan keberislaman) ialah ilmunya Islam atau ilmunya mengucapkan dua kalimat syahadat yakni iman. Sebab, mau seberapa banyakpun shalat jika tidak dilandasi ilmu shalat maka hanya sebatas olahraga yang tidak dinilai ‘ibadah’. Begitulah pentingnya ilmu.

Pun dalam mengucapkan dua kalimat syahadat, tidak cukup ‘hanya’ mengucapkannya semata tanpa ilmunya dua kalimat syahadat yakni iman. Sebab, dalam muatan dua kalimat syahadat tidak dapat dilepas dari ilmunya iman yakni terkait rukun iman yang 6. Lebih dari itu, persaksian yang tersimpulkan dalam dua kalimat syahadat menuntut siapapun untuk berpikir dan menjawab ‘Mengapa tiada Tuhan selain Allah?’ ‘Apakah Benar Nabi Muhammad Utusan Allah?’

Jika pertanyaan di atas dilontarkan kepada Muslim, seharusnya secara ilmu jawabannya jelas dan nyata dapat dibuktikan secara tartib pun logis, artinya pendengar dan audience (penanya) yang bertanya dan mempersoalkannya dapat menerima jawaban secara nalar hingga tidak dapat mengelak kebenaran yang ditangkap oleh nalar dan kemantapan hati. Segala kebimbangan dan ambigu berhenti ‘di situ’ dengan jawaban-jawaban logis yang benarnya ditangkap oleh nalar, layaknya ketika nalar tidak dapat menolak jika benda memiliki tempat (manggon), pun dalam keyakinan. Meskipun nalar sangat terbatas, akan tetapi fungsinya ialah menetapkan sebuah konsep kebenaran yang logis dan tartib ihwal apapun yang menyangkut dua kalimat syahadat.

Baca Juga:  Teladan Komunikasi dari Kisah Nabi Ibrahim

Perlu diingat bahwa eksistensi pertanyaan ialah untuk memperkokoh sejauhmana pikiran dan hati menetapkan dan memahami kandungan dalam dua kalimat syahadat. Sebab, jika pewajaran atas pengucapan dua kalimat syahadat dianggap tidak perlu dipahami maknanya, maka tentu akan semakin buruk konsep produksi yang dikonsumsi. Bahkan, boleh jadi memunculkan berbagai perkara yang sejatinya dapat diminimalisir dengan menghadirkan nalar kritis.

Dari hal ini, terlihat begitu rumit memasuki Islam secara jasmani dan rohani, secara Islam dan iman; secara ilmu. Tidak cukup Islam semata tanpa dilandasi ilmu. Sebab, akan sia-sia semata jika tanpa ilmu. Ilmu adalah ruh daripada dzahiriyah yang disebut Islam. Islam kaffah dapat dimaknai istikamahnya ihsan. Menempatkan jasmani dan rohani dalam porsi yang sama; adil. Mengejawantahkan Islam dengan ilmu iman, pun memanifestasikan iman dengan bukti argumentasi sebagai bentuk pengetahuan, keyakinan, keimanan dan bukti atas simpulan dalam dua kalimat syahadat yang diucapkan, tidak hanya ucapan tanpa makna, melainkan terkandung dalil aqliyah yang menjadi hujjah atas simpulan-simpulan dalam dua kalimat syahadat.

0 Shares:
You May Also Like